Beberapa waktu belakangan kamu mungkin sering mendengar kata “performative” dikombinasikan dengan sejumlah kosakata lain. Misalnya “performative male” atau “performative activism”. Keduanya punya arti berbeda, tetapi ketika ditambahi keterangan performatif artinya jadi mirip.
Kalau merujuk tulisannya Fischer-Lichte berjudul ‘Culture as Performance’ dalam jurnal Modern Austrian Literature, performatif pada dua frasa itu merujuk pada kata “performance” atau penampilan. Yakni, sesuatu yang eksis hanya pada waktu dan tempat tertentu tanpa ada tujuan untuk melanggengkan atau memanifestasikannya di luar itu. Dengan begitu, performative bisa dilihat sebagai sebuah aktivitas menciptakan sesuatu untuk tujuan tertentu (seperti menarik perhatian, memamerkan, membuktikan) tanpa ada intensi untuk mengabadikannya dalam bentuk lain yang lebih konkret.
Budaya performatif ini menariknya makin marak dengan kehadiran media sosial dan platform digital secara umum. Coba ingat apakah kamu pernah ikut tren membagikan Spotify Wrapped dan Letterboxd Four Favorites? Urgensi atau dorongan untuk membagikan film, musik, atau ide yang menurutmu bagus ke khalayak bisa pula disebut sebagai bagian dari kultur performatif, lho. Bagaimana bisa dan mengapa kita tergerak melakukannya?