Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

5 Pola Asuh Hindari Perilaku Performative Male pada Anak Lelaki

ilustrasi orangtua dan anak (pexels.com/rdne)
ilustrasi orangtua dan anak (pexels.com/rdne)
Intinya sih...
  • Anak lelaki perlu diajarkan bahwa setiap emosi adalah hal yang wajar, bukan tanda kelemahan.
  • Memberikan contoh maskulinitas yang sehat kepada anak lelaki agar mereka tidak hanya melihat dominasi sebagai standar normal.
  • Dorong anak untuk menghargai pendapat dan hak orang lain, serta ajarkan konsep kepemimpinan yang inklusif.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Banyak anak lelaki tumbuh dengan tekanan sosial dan doktrin untuk selalu terlihat kuat. Sering kali, hal ini justru memicu munculnya perilaku performative male. Sikap di mana laki-laki merasa harus selalu tampil gagah dan mendominasi demi pengakuan orang lain, bukan karena kebutuhan atau keinginannya sendiri.

Pola ini biasanya mulai terbentuk sejak kecil melalui didikan keluarga, lingkungan pertemanan, hingga tontonan yang mereka konsumsi setiap hari. Mendidik mereka agar terhindar dari perilaku ini penting agar mereka tumbuh lebih sehat secara emosional dan sosial. Berikut lima pola asuh yang bisa dilakukan!

1. Ajarkan bahwa emosi itu normal, bukan tanda kelemahan

ilustrasi anak menangis (pexels.com/Mikhail Nilov)
ilustrasi anak menangis (pexels.com/Mikhail Nilov)

Penyebab anak lelaki terjebak dalam perilaku performative male adalah karena sejak kecil sering diberi pesan bahwa menangis atau menunjukkan perasaan adalah kelemahan. Akibatnya, banyak laki-laki dewasa kesulitan mengungkapkan emosi dengan jujur karena takut dianggap cengeng.

Kamu bisa mulai mengubah pola ini dengan mengajarkan bahwa setiap emosi adalah hal yang wajar. Misalnya, ketika anak merasa kecewa, beri ruang untuknya bercerita tanpa langsung menyuruhnya berhenti nangis. Anak akan belajar untuk gak selalu menekan perasaan, melainkan mampu mengenali dan mengelolanya dengan baik.

2. Berikan contoh maskulinitas yang sehat

ilustrasi berbicara dengan anak (unsplash.com/silverkblack)
ilustrasi berbicara dengan anak (unsplash.com/silverkblack)

Anak-anak cenderung meniru perilaku orangtua, itu pasti. Terutama anak lelaki kepada figur laki-laki di sekitarnya seperti ayah, abang atau kakeknya. Jika mereka hanya melihat contoh maskulinitas yang penuh dominasi dan tak pernah menunjukkan kelembutan, mereka akan menganggap itu sebagai standar normal.

Memberi teladan maskulinitas bisa dilakukan dengan cara menunjukkan sikap peduli pada keluarga, berani meminta maaf ketika salah, atau berbagi tugas rumah tangga secara setara. Anak akan memahami bahwa menjadi laki-laki tak berarti harus selalu menjadi yang paling berkuasa, melainkan mampu bekerja sama, menghargai orang lain, dan gak takut terlihat rentan.

3. Dorong anak untuk menghargai pendapat dan hak orang lain

ilustrasi pola asuh anak di Jepang (pexels.com/pavel-danilyuk)
ilustrasi pola asuh anak di Jepang (pexels.com/pavel-danilyuk)

Perilaku performative male akan sering muncul dalam bentuk ingin selalu mendominasi percakapan atau keputusan. Untuk mencegah hal ini sejak dini, biasakan anak belajar mendengar dan menghormati pendapat orang lain, termasuk dari teman perempuan atau adiknya yang lebih kecil.

Kamu bisa melatihnya lewat diskusi keluarga yang memberi kesempatan setiap anggota untuk berbicara, atau memberi contoh bagaimana menghargai keputusan bersama. Jika anak terbiasa dengan pola ini, ia akan memahami bahwa tak perlu menguasai pembicaraan atau menjadi yang paling lantang untuk dihormati.

4. Ajarkan stereotip gender lewat aktivitas sehari-hari

ilustrasi anak belajar memasak (pexels.com/Kampus Production)
ilustrasi anak belajar memasak (pexels.com/Kampus Production)

Anak lelaki sering dihadapkan pada stereotip seperti “main bola lebih macho daripada belajar memasak” atau “laki-laki gak boleh main boneka”. Stereotip ini bisa mendorong anak merasa harus berperilaku tertentu hanya untuk membuktikan dirinya sebagai laki-laki sejati.

Nah, kamu bisa menantang pola pikir ini dengan membiarkan anak mencoba berbagai aktivitas tanpa batasan gender. Misalnya, mendukungnya ikut kelas seni, memasak, atau bermain musik, selain kegiatan fisik seperti olahraga. Semakin luas pengalaman yang dimiliki, semakin besar kemungkinannya bisa berekspresi sesuai dengan batasan yang sehat.

5. Ajarkan konsep kepemimpinan yang inklusif

ilustrasi anak bermain (pexels.com/cottonbro)
ilustrasi anak bermain (pexels.com/cottonbro)

Terakhir, banyak anak lelaki tumbuh dengan pemahaman bahwa pemimpin harus selalu paling berkuasa dan tak boleh terlihat ragu. Padahal, kepemimpinan yang baik justru melibatkan kemampuan untuk mendengarkan, bekerja sama, dan memberi ruang bagi semua anggota tim.

Kamu bisa mulai mengajarkan konsep ini dengan memberi contoh dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, ketika anak bermain bersama teman-temannya, dorong ia untuk berbagi peran dan mendukung ide orang lain. Dengan pemahaman ini, anak akan belajar bahwa menjadi pemimpin bukan berarti harus mendominasi, tapi mampu menciptakan lingkungan yang adil.

Mendidik anak lelaki agar tak terjebak dalam perilaku performative male butuh konsistensi dari orangtua. Dengan membangun fondasi ini sejak dini, kamu akan membentuk karakter anak lelaki yang lebih sehat untuk dirinya sendiri maupun orang lain.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Merry Wulan
EditorMerry Wulan
Follow Us