5 Pola Asuh Hindari Perilaku Performative Male pada Anak Lelaki

- Anak lelaki perlu diajarkan bahwa setiap emosi adalah hal yang wajar, bukan tanda kelemahan.
- Memberikan contoh maskulinitas yang sehat kepada anak lelaki agar mereka tidak hanya melihat dominasi sebagai standar normal.
- Dorong anak untuk menghargai pendapat dan hak orang lain, serta ajarkan konsep kepemimpinan yang inklusif.
Banyak anak lelaki tumbuh dengan tekanan sosial dan doktrin untuk selalu terlihat kuat. Sering kali, hal ini justru memicu munculnya perilaku performative male. Sikap di mana laki-laki merasa harus selalu tampil gagah dan mendominasi demi pengakuan orang lain, bukan karena kebutuhan atau keinginannya sendiri.
Pola ini biasanya mulai terbentuk sejak kecil melalui didikan keluarga, lingkungan pertemanan, hingga tontonan yang mereka konsumsi setiap hari. Mendidik mereka agar terhindar dari perilaku ini penting agar mereka tumbuh lebih sehat secara emosional dan sosial. Berikut lima pola asuh yang bisa dilakukan!
1. Ajarkan bahwa emosi itu normal, bukan tanda kelemahan

Penyebab anak lelaki terjebak dalam perilaku performative male adalah karena sejak kecil sering diberi pesan bahwa menangis atau menunjukkan perasaan adalah kelemahan. Akibatnya, banyak laki-laki dewasa kesulitan mengungkapkan emosi dengan jujur karena takut dianggap cengeng.
Kamu bisa mulai mengubah pola ini dengan mengajarkan bahwa setiap emosi adalah hal yang wajar. Misalnya, ketika anak merasa kecewa, beri ruang untuknya bercerita tanpa langsung menyuruhnya berhenti nangis. Anak akan belajar untuk gak selalu menekan perasaan, melainkan mampu mengenali dan mengelolanya dengan baik.
2. Berikan contoh maskulinitas yang sehat

Anak-anak cenderung meniru perilaku orangtua, itu pasti. Terutama anak lelaki kepada figur laki-laki di sekitarnya seperti ayah, abang atau kakeknya. Jika mereka hanya melihat contoh maskulinitas yang penuh dominasi dan tak pernah menunjukkan kelembutan, mereka akan menganggap itu sebagai standar normal.
Memberi teladan maskulinitas bisa dilakukan dengan cara menunjukkan sikap peduli pada keluarga, berani meminta maaf ketika salah, atau berbagi tugas rumah tangga secara setara. Anak akan memahami bahwa menjadi laki-laki tak berarti harus selalu menjadi yang paling berkuasa, melainkan mampu bekerja sama, menghargai orang lain, dan gak takut terlihat rentan.
3. Dorong anak untuk menghargai pendapat dan hak orang lain

Perilaku performative male akan sering muncul dalam bentuk ingin selalu mendominasi percakapan atau keputusan. Untuk mencegah hal ini sejak dini, biasakan anak belajar mendengar dan menghormati pendapat orang lain, termasuk dari teman perempuan atau adiknya yang lebih kecil.
Kamu bisa melatihnya lewat diskusi keluarga yang memberi kesempatan setiap anggota untuk berbicara, atau memberi contoh bagaimana menghargai keputusan bersama. Jika anak terbiasa dengan pola ini, ia akan memahami bahwa tak perlu menguasai pembicaraan atau menjadi yang paling lantang untuk dihormati.
4. Ajarkan stereotip gender lewat aktivitas sehari-hari

Anak lelaki sering dihadapkan pada stereotip seperti “main bola lebih macho daripada belajar memasak” atau “laki-laki gak boleh main boneka”. Stereotip ini bisa mendorong anak merasa harus berperilaku tertentu hanya untuk membuktikan dirinya sebagai laki-laki sejati.
Nah, kamu bisa menantang pola pikir ini dengan membiarkan anak mencoba berbagai aktivitas tanpa batasan gender. Misalnya, mendukungnya ikut kelas seni, memasak, atau bermain musik, selain kegiatan fisik seperti olahraga. Semakin luas pengalaman yang dimiliki, semakin besar kemungkinannya bisa berekspresi sesuai dengan batasan yang sehat.
5. Ajarkan konsep kepemimpinan yang inklusif

Terakhir, banyak anak lelaki tumbuh dengan pemahaman bahwa pemimpin harus selalu paling berkuasa dan tak boleh terlihat ragu. Padahal, kepemimpinan yang baik justru melibatkan kemampuan untuk mendengarkan, bekerja sama, dan memberi ruang bagi semua anggota tim.
Kamu bisa mulai mengajarkan konsep ini dengan memberi contoh dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, ketika anak bermain bersama teman-temannya, dorong ia untuk berbagi peran dan mendukung ide orang lain. Dengan pemahaman ini, anak akan belajar bahwa menjadi pemimpin bukan berarti harus mendominasi, tapi mampu menciptakan lingkungan yang adil.
Mendidik anak lelaki agar tak terjebak dalam perilaku performative male butuh konsistensi dari orangtua. Dengan membangun fondasi ini sejak dini, kamu akan membentuk karakter anak lelaki yang lebih sehat untuk dirinya sendiri maupun orang lain.