Fenomena Kontes Performative Male, Tulus atau Sekadar Gimik?

- Kontes Performative Male digelar di Taman Langsat, Jakarta Selatan pada 2 Agustus 2025
- Performative male adalah pria yang menampilkan gaya progresif tanpa pemahaman atau nilai yang benar-benar diyakini
- Kontes ini memuat kritik sosial terhadap tren pria progresif di media sosial dan budaya pop sebagai alat untuk membentuk persona
Pernah lihat cowok yang suka bawa tote bag, baca buku feminis, minum matcha, dan ngobrolin soal “safe space” bareng cewek? Nah, tipe cowok seperti ini lagi ramai dibicarakan sebagai performative male. Bahkan di beberapa kota, tren ini sampai dijadikan lomba untuk mencari siapa cowok yang paling "performatif".
Istilah performative male mulai viral di media sosial. Banyak yang baru sadar kalau gaya seperti ini bukan sekadar soal penampilan, tapi juga menyimpan pertanyaan tentang kejujuran sikap. Di Indonesia, tren ini diwujudkan dalam bentuk kontes bernama Performative Male Contest yang digelar di Taman Langsat, Jakarta Selatan pada 2 Agustus 2025. Para peserta tampil dengan gaya yang dianggap “lembut”, lengkap dengan tote bag, buku feminis, boneka Labubu, hingga minuman matcha.
Tapi, kontes ini bukan cuma soal tampil beda. Di balik suasananya yang santai dan lucu, ada obrolan penting tentang bagaimana laki-laki zaman sekarang membentuk citra diri mereka. Apakah mereka benar-benar peduli soal kesetaraan dan isu emosional, atau hanya ikut tren demi terlihat menarik di mata orang lain? Yuk, simak ulasannya lebih lanjut!
1. Asal muasal kontes performative male
Setelah viral dan menarik perhatian ribuan pengguna TikTok dan Instagram di Amerika Serikat, kontes “Performative Male” kini hadir di Indonesia. Acara ini digelar pada Sabtu, 2 Agustus 2025, di Taman Langsat, Jakarta Selatan, dan dipelopori oleh akun X (Twitter) @alergikiwi serta melibatkan sejumlah kreator perempuan, termasuk TikTok user @radomiredzen.
Dalam ajang ini, para peserta laki-laki tampil dengan gaya unik. Mereka membawa berbagai atribut yang dianggap mewakili identitas performative male, seperti tote bag, boneka Labubu, buku feminis, hingga minuman matcha. Aksi para peserta ini mengundang tawa sekaligus diskusi karena gaya mereka dianggap sebagai bentuk sindiran terhadap tren pria yang tampil progresif hanya sebatas pencitraan.
Kompetisi berlangsung santai dan kompetitif. Para peserta berlomba menunjukkan sisi “paling performatif” mereka demi memperebutkan gelar Most Performative Male. Keenan Avalokita, anak dari penulis ternama Dewi Lestari, keluar sebagai pemenang dan membawa pulang hadiah berupa 1 liter matcha dan uang tunai Rp300.000.
Acara ini juga sempat diunggah oleh akun Instagram @ussfeeds dan langsung menarik perhatian warganet. Banyak yang menganggapnya sebagai hiburan segar. Namun, tak sedikit pula yang melihatnya sebagai bentuk kritik sosial terhadap gaya maskulinitas yang tampak progresif dan belum tentu mencerminkan nilai yang sebenarnya diyakini.
2. Apa sebenarnya maksud dari performative male?

Istilah performative male merujuk pada pria yang menampilkan gaya atau perilaku yang dianggap progresif, tetapi belum tentu mencerminkan pemahaman atau nilai yang benar-benar diyakini. Mereka bisa saja terlihat mendukung feminisme, menyukai musik alternatif, atau membaca buku-buku bertema kesetaraan, namun semua itu bisa jadi hanya bagian dari pencitraan. Fenomena ini menunjukkan bagaimana identitas bisa dibentuk secara sadar demi mendapat validasi sosial.
Menurut laman Elle, performative male kerap kali hanya berpura-pura menampilkan sesuatu yang sudah dirancang sedemikian rupa untuk menarik perhatian, terutama dari perempuan. Mereka bisa terlihat manis dan cerdas di luar, tetapi dalam dirinya masih tersimpan keinginan untuk mengontrol, mendapat pengakuan, dan mempertahankan status.
Ciri-ciri performative male bisa dikenali dari gaya berpakaian mereka yang cenderung bergaya klasik atau vintage. Mereka lebih sering mengenakan celana longgar dan pakaian bernuansa retro yang dianggap estetik dan ‘berkarakter’. Alih-alih membawa backpack, mereka biasanya memilih memakai tote bag berwarna putih, lengkap dengan buku feminis di tangan dan headset tali yang menjuntai dari telinga. Musik yang mereka dengarkan pun menjadi bagian dari citra seperti Clairo dan Laufey sering masuk ke playlist mereka.
Penyelenggara kontes Performative Male di Seattle, Lanna Rain, dalam wawancaranya dengan Fox13 Seattle, menggambarkan sosok ini sebagai pria yang “memakai” citra feminisme dan kelembutan tanpa sungguh-sungguh memahami atau menjalani nilai-nilainya. Hal ini kemudian memicu perdebatan mengenai apakah ini tanda munculnya generasi pria baru yang lebih sadar isu? Atau justru bentuk lain dari manipulasi estetika demi tampak keren di mata publik?
3. Performative male memunculkan kritik sosial dan hiburan massal

Meskipun dikemas secara ringan dan jenaka, kontes ini sebenarnya memuat kritik sosial yang cukup tajam. Banyak peserta datang membawa atribut simbolik, seperti buku The Will to Change karya Bell Hooks, boneka Labubu, hingga pemutar piringan hitam. Benda-benda ini dianggap sebagai simbol visual dari sosok pria yang tampil seolah sadar sosial—gaya yang kini populer di media sosial.
Menariknya, publik juga ikut menyuarakan pendapat mereka. Di Seattle, misalnya, sejumlah penonton membawa papan sindiran bertuliskan “Tarifkan laki-laki yang suka Clairo” atau “Laki-laki dulu membangun rumah.” Ini memperlihatkan bahwa kontes ini bukan sekadar hiburan, melainkan juga bentuk kritik terhadap tren pria yang terlihat progresif di luar, tapi belum tentu memahami atau menjalani nilai-nilai tersebut secara mendalam.
4. Budaya pop dan identitas gender jadi aset digital

Di era digital, citra diri sangat mudah dikurasi. Tak heran kalau budaya pop seperti musik, buku, hingga gaya berpakaian sering dijadikan alat untuk membentuk persona yang terlihat menarik di mata publik. Bagi sebagian pria, tampil sebagai sosok "woke" dan soft boy bisa jadi strategi agar tampak sensitif dan progresif, meskipun belum tentu memahami nilai-nilai yang sedang mereka tampilkan.
Fenomena ini menunjukkan bagaimana media sosial mendorong individu untuk tampil sesuai ekspektasi, bukan tampil sebagai diri sendiri. Bahkan dalam urusan maskulinitas, muncul standar baru yang dianggap keren dan layak diikuti demi terlihat relevan. Sayangnya, jika semua hanya permukaan, kita bisa kehilangan ruang jujur untuk membicarakan emosi, identitas, dan dinamika hubungan manusia.
Meski terkesan lucu dan ringan, kontes Performative Male sebenarnya membuka ruang dialog yang penting. Acara ini mempertemukan orang-orang dari berbagai latar belakang untuk sama-sama mengkritisi bagaimana citra dibentuk dan dipertontonkan di era media sosial. Di Seattle, Amerika Serikat, kontes ini jadi cara menyenangkan untuk melawan “Seattle Freeze”, istilah lokal yang menggambarkan suasana sosial yang dingin dan kurang ramah.
Tantangannya sekarang adalah bagaimana menjaga agar momen seperti ini tidak hanya jadi tren sesaat. Jika ingin menciptakan ruang yang lebih sehat, inklusif, dan jujur, baik laki-laki maupun perempuan perlu menyadari apa yang sebenarnya mereka yakini, bukan sekadar apa yang ingin mereka tunjukkan. Karena menjadi lembut itu bukan masalah, asal datang dari niat yang tulus bukan sekadar tampil menarik di depan orang lain.
Kontes Performative Male bisa menjadi pengingat bagi kita semua. Bukan hanya untuk para pria. Kadang kita pun terjebak dalam keinginan tampil seolah percaya pada sesuatu, padahal sekadar ingin mendapat validasi. Jadi, yuk, refleksi bersama-sama. Selama ini kita hidup sebagai diri sendiri atau sedang memainkan peran seperti yang diharapkan orang lain?