Jejeran warung makan yang biasanya dipenuhi oleh langkah kaki pelanggan tiba-tiba berubah sepi. Meja-meja yang dulu selalu terisi oleh mereka yang menunggu pesanan kini berubah kosong dalam diam. Aroma masakan yang sering menguar ke jalanan pun ikut menghilang. Tak ada lagi wajah sumringah para pedagang yang sibuk menjajakan dagangannya setiap hari.
Ketika pandemi COVID-19 melanda pada 2020, denyut sektor kuliner Indonesia, termasuk Yogyakarta merosot begitu cepat. Di balik pintu-pintu warung yang tertutup rapat, para pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah atau UMKM berjuang mempertahankan usahanya. Turunnya daya beli akibat pembatasan sosial membuat pendapatan mereka menurun, sementara biaya operasional masih terus berjalan. Akhirnya, tak sedikit dari mereka yang dengan berat hati harus merapikan peralatan masaknya karena tak lagi mampu bertahan.
Dari kegelisahan melihat banyaknya usaha kuliner lokal yang tumbang, Eri Kuncoro dan rekannya, Revo Suladasha, memutuskan untuk melakukan dukungan sosial. Mereka percaya bahwa gerakan kecil bisa memberi dampak besar jika dilakukan bersama-sama. Dari keyakinan itulah lahir gerakan sosial, Yuk Tukoni. Dalam bahasa Jawa, "tukoni" berarti "belilah". Namun makna gerakan sosial ini sebenarnya lebih dari sekadar ajakan membeli.
Yuk Tukoni hadir untuk menyalakan kembali semangat gotong royong, membantu UMKM kuliner agar tetap terlihat dan memiliki kesempatan untuk bertahan. Lalu, bagaimana kisah perjuangan Eri Kuncoro dan rekan-rekannya dalam memperdayakan para UMKM selama masa pandemi? Yuk, kita simak lebih lengkapnya di bawah ini!
