Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Yuk Tukoni: Terangi Remang Pandemik agar Dapur UMKM Terus Mengepul

potret Eri Kuncoro
potret Eri Kuncoro (instagram.com/Eri Kuncoro)

Di Indonesia, Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) bukan sekadar penopang ekonomi. Mereka adalah denyut kehidupan itu sendiri. Dari warung kecil di sudut gang hingga dapur rumahan yang memasak resep turun-temurun, usaha-usaha ini menghidupi jutaan keluarga. Namun, ketangguhan itu diuji keras kala pandemik COVID-19 singgah tanpa mengetuk pintu. Banyak UMKM kehilangan pasarnya seketika. Mereka yang biasanya menyapa pelanggan hanya bisa menatap pintu yang tertutup seakan dunia memerintahkan mereka berhenti. Distribusi terhambat, pelanggan menghilang, dan ruang gerak menyempit bersama rasa cemas yang menebal tiap hari. Para pelaku usaha bertahan sebisanya. Namun, ketidakpastian memaksakan banyak dari mereka untuk merelakan impian yang telah dibangun selama bertahun-tahun.

Dalam remang itu, sosok Eri Kuncoro berdiri sebagai tetangga yang tidak tega tinggal diam. Ia melihat UMKM di Jogja, khususnya di ranah kuliner, bukan hanya kehilangan kesempatan berjualan, tapi juga arah untuk melangkah.

“Waktu itu mereka (pelaku UMKM) bukan hanya kehilangan omzet, tapi juga harapan,” kisah Eri Kuncoro membuka sesi Workshop Menulis Online dan Bincang Inspiratif Astra 2025.

Bagi Eri, situasi tersebut bukan sekadar krisis ekonomi. Ini termasuk krisis manusia. Di sana ada wajah-wajah yang makin redup, dapur yang berhenti mengepul, dan tangan-tangan yang biasanya sibuk kini tak lagi punya sesuatu untuk dikerjakan. Dari keresahan dan empati itulah ia semai gerakan yang terlahir langsung dari kebutuhan paling mendesak:menyambung napas sesama.

1. Ketuk pintu yang mengubah arah kisah

ilustrasi lockdown
ilustrasi lockdown (pexels.com/null xtract)

Sumber inspirasi terbesar sering muncul dari hal-hal yang tampak sepele. Bagi Eri, semuanya berawal dari pertemuan singkat dengan tetangganya, Pak Amin, penjual mi ayam yang selama bertahun-tahun menjadi bagian dari rutinitas lingkungan Baciro, Gondokusuman, Yogyakarta. Pada masa Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM), Pak Amin sowan membawa kegelisahan yang sulit disembunyikan. Ia tak bisa lagi masuk ke perumahan untuk berjualan. Ia kehilangan pendapatan harian yang menjadi tumpuan keluarganya. Suaranya lirih saat menyampaikan rencana ingin pulang kampung saja karena tak tahu lagi bagaimana strategi bertahan.

Percakapan itu menggaung kuat dalam benak Eri. Dari sana, ia bertanya pada diri sendiri, “Jika situasi seperti ini dibiarkan, bagaimana nasib ratusan Pak Amin lainnya di Jogja?”

Pertanyaan itulah pemantik langkah awal gerakan yang ia beri tajuk Yuk Tukoni. Ia mengajak Pak Amin untuk mencoba bentuk baru mi ayam menjadi komponen-komponen yang bisa dikemas dalam bentuk frozen food. Ia bungkus komoditas baru ini lengkap dengan panduan memasak, difoto ulang, dijaga estetikanya, lalu mengirimnya langsung ke rumah-rumah.

2. 12 hari tanpa tidur yang krusial

logo Yuk Tukoni
logo Yuk Tukoni (instagram.com/yuktukoni)

Gerakan yang kini dikenal luas itu tidak lahir dari rencana besar. Ia tercipta lewat situasi yang serba mendesak. Mulai dari freezer pinjaman, gudang kecil, hingga semangat gotong royong yang berjalan lebih cepat dari kemampuan mereka sendiri. Eri Kuncoro bersama dengan Revo Suladasha, rekannya, bekerja selama 12 hari tanpa jeda untuk menyusun alur kerja. Mereka memotret ulang produk-produk UMKM menggunakan peralatan seadanya. Mereka buat katalog digital, menuliskan deskripsi produk, dan mengumpulkan pesanan dari masyarakat yang mulai mencari aman dengan membeli makanan beku. Dalam prosesnya, mereka mendatangi banyak pelaku usaha, menanyakan tantangan yang mereka hadapi, mencatat kebutuhan paling mendesak, dan mempelajari mana usaha yang benar-benar kehilangan akses pasar.

“Kami bergerak sambil melihat langsung dapur-dapur yang sepi. Dari sana, kami paham masalahnya bukan kualitas produk, tetapi akses,” kenang Eri.

Tepat 12 April 2020, Yuk Tukoni resmi meluncur. Tidak ada selebrasi, hanya catatan kecil di media sosial. Namun, dari unggahan sederhana itu, pemesanan mulai berdatangan. Masyarakat merespons antusias karena mereka merasa turut terlibat membantu nyala api UMKM meski situasi sedang berjarak. Sementara bagi UMKM, sistem distribusi baru ini menjadi angin segar untuk membuat dapur-dapur yang hampir padam kembali mengepul.

3. Kepul asap dapur dan jejak perubahan yang menggugah

poster Yuk Tukoni
poster Yuk Tukoni (instagram.com/yuktukoni)

Mempertahankan harapan bukan tugas yang mudah, terutama ketika semua orang sedang menghadapi ketidakpastian. Di awal pergerakan, banyak UMKM yang pesimis. Mereka merasa usaha apa pun tidak akan membawa perubahan. Namun, Eri dan timnya menekankan dua hal, yaitu higienitas dan kemudahan. Mereka menyampaikan bahwa makanan yang dikirim dalam bentuk frozen dapat disiapkan sendiri di rumah tanpa risiko tinggi. Seluruh komunikasi dilakukan dengan empati dan kejelasan sehingga UMKM merasa bahwa mereka tidak berjalan sendirian.

Seiring waktu, makin banyak UMKM ingin bergabung. Jika ingin mengambil jalan mudah, Eri bisa saja melakukan kurasi ketat dan hanya menerima produk terbaik. Namun, ia memilih jalur lain dengan membeli produk terlebih dahulu, mencicipinya, lalu memberikan umpan balik.

“Kami bukan ingin menyaring siapa yang layak, tapi membantu kualitas mereka meningkat,” katanya.

Pendekatan Yuk Tukoni membentuk dinamika baru. UMKM yang awalnya segan jadi berani memperbaiki kualitas produk, kemasan, hingga branding. Mereka belajar membuat label sederhana, memikirkan nama produk, dan memotret makanan dengan pencahayaan yang lebih baik. Jika ada yang perlu diperbaiki dalam aspek rasa, Eri dan tim menyampaikannya lewat empati. Lelaku ini perlahan mengubah cara pelaku UMKM memberikan value terhadap produk mereka sendiri.

Lebih dari itu, Yuk Tukoni juga turut menyusuri lapisan-lapisan masalah yang dihadapi pelaku, mulai dari minimnya standar higienitas, ketidaktahuan terkait strategi pemasaran dan pemanfaatan media sosial, serta kelemahan dalam distribusi dan jaringan. Pemetaan masalah tersebut lantas mereka rumuskan dalam pola pendampingan yang relevan. Curahan tenaga kecil itu dalam jangka panjang menjadi fondasi penting bagi keberlanjutan banyak usaha kecil.

Dampak Yuk Tukoni akhirnya mulai terasa dalam bentuk cerita, bukan grafik pertumbuhan atau laporan statistik. Banyak pelaku usaha yang sebelumnya hampir menyerah mulai menemukan lagi ke mana arah melangkah. Chef-chef hotel yang kehilangan pekerjaan karena ketiadaan tamu memanfaatkan dapur hotel untuk mengkreasikan kudapan dalam bentuk frozen food. Masakan khas Jogja, seperti Mangut Lele Mbah Marto, Mie Ayam Bu Tumini, gudeg, hingga olahan panggang lainnya mulai dikemas rapi untuk langsung dikirim ke rumah-rumah. Keluarga-keluarga yang sama-sama berada di ambang ketidakpastian pandemik mulai merasakan lagi sepiring nikmat kehidupan saat makanan khas yang dirindukan tetap bisa hadir di meja makan.

Banyak pelaku UMKM yang tergabung dalam gerakan ini mulai melihat apa yang mereka anggap sederhana ternyata memiliki nilai lebih ketika dikemas dengan baik. Berkat bantuan Yuk Tukoni, para pelaku belajar melihat bisnisnya dari sudut yang baru. Ini bukan hanya soal bertahan hidup, tetapi juga tentang bagaimana menguatkan identitas produk di tengah era yang terus berubah.

4. Asa Yuk Tukoni menjaga relevansi ketika dunia mulai bergerak

salah satu produk di Yuk Tukoni
salah satu produk di Yuk Tukoni (instagram.com/yuktukoni)

Ketika pandemik mereda dan dunia mulai kembali bergerak, banyak gerakan sosial terhenti karena kehilangan urgensi. Tapi, situasi itu tidak berlaku di Yuk Tukoni. Gerakan ini memang tidak pernah dirancang sebagai respons sementara. Api kecil yang dinyalakan pada masa krisis itu justru berkembang menjadi bentuk komitmen yang konsisten. Sampai 5 tahun pasca pandemik, Yuk Tukoni masih menjaga api tetap menyala dan tak kehilangan makna.

Era pasca pandemik menggeser tantangan UMKM. Para pelaku memang tak lagi harus menghadapi pembatasan mobilitas. Namun, persaingan pasar jadi lebih padat, perilaku konsumen berubah, dan tuntutan kualitas semakin tinggi. Keberadaan Yuk Tukoni tetap relevan dalam lanskap baru ini karena mereka masih menjadi jembatan yang menawarkan kurasi, pendampingan, dan wadah pemasaran yang bersahabat untuk UMKM. Platform ini bukan hanya tempat berdagang, tetapi tempat membangun kesadaran bahwa kualitas, pengemasan, dan branding adalah bagian tak terpisahkan dari keberlanjutan usaha. Bagi UMKM, relevansi bukan soal menjadi besar, tetapi soal mampu terus bertahan di tengah perubahan. Di situ juga Yuk Tukoni tetap berdiri sebagai ruang aman tempat mereka memperbaiki diri tanpa merasa terintimidasi oleh standar industri yang sering kali terlalu jauh untuk dijangkau.

5. Yuk Tukoni hari ini

produk-produk di Yuk Tukoni
produk-produk di Yuk Tukoni (instagram.com/yuktukoni)

Berangkat dari semangat gotong royong, Yuk Tukoni menerapkan model kerja sama berbasis titip jualan. Calon mitra UMKM mengisi formulir daring melalui Instagram, mengirim sampel produk, kemudian tim Quality Control (QC) Yuk Tukoni mengevaluasi dari segi kebersihan, kemasan, dan branding. “Kalau packaging dan brand masih kurang, kami akan bantu revisi dahulu,” kata Eri. Setelah perbaikan dan kurasi, barulah produk dipotret ulang dan dipasarkan melalui kanal Yuk Tukoni.

Setelah masa-masa awal yang sangat bergantung pada solidaritas spontan, Yuk Tukoni kini telah menapaki fase operasional yang lebih stabil dan terstruktur. Meski begitu, api semangat gotong royong masih tetap menyala. Berdasarkan riset laporan e-book resmi SATU Indonesia Awards, Yuk Tukoni telah bekerja sama dengan sekitar 60 UMKM kuliner yang tersebar di Jawa Tengah, Madiun, dan Semarang. Jumlah produk terjual melalui saluran Yuk Tukoni sendiri sudah mencapai kurang lebih 1.800 jenis item. Bahkan, lebih dari separuh pemesanan dilaporkan berasal dari daerah lain di luar Yogyakarta, mulai dari Jabodetabek, Bandung, hingga Surabaya. Ini adalah satu lompatan besar dari awalnya sekadar kumpulan warung menjadi ekosistem kuliner beku siap kirim.

Kini, Yuk Tukoni sudah membuka toko fisik di Yogyakarta yang beroperasi sebagai titik temu antara produsen lokal dan pembeli yang merindukan cita rasa asli. Dalam upaya menjaga kesinambungan gerakan sosial yang mereka usung, Yuk Tukoni banyak merekrut pekerja dari mereka yang terdampak PHK selama masa pandemik. Mulai dari admin, kurir, dan staf packing yang dulu kehilangan pekerjaan kini bisa menemukan ruang penghidupan kembali.

Model aktivitas Yuk Tukoni menunjukkan keseimbangan antara misi sosial dan mekanisme komersial. Pendekatan semacam ini membuka potensi keberlanjutan jangka panjang, terutama di masa pasca pandemik ketika permintaan mungkin menurun dibanding puncak krisis, tetapi kebutuhan pendampingan dan pasar masih tetap ada. Yuk Tukoni membuktikan diri bukan sekadar gerakan temporer. Mereka adalah entitas sosial-bisnis yang akan terus relevan dan bermanfaat bagi banyak pelaku UMKM yang belum mampu mandiri sepenuhnya dalam aspek branding, fotografi produk, dan logistik.

“Jangan mulai dari ingin menang, tapi mulai dari ingin berdampak. Lihat di sekitar dengan hati terbuka. Tiap masalah bisa jadi cerita yang menggetarkan,” kata Eri Kuncoro.

6. Cahaya apresiasi untuk lilin kecil menyala lebih lama

potret Eri Kuncoro dan Revo Suladasha Yuk Tukoni
potret Eri Kuncoro dan Revo Suladasha Yuk Tukoni (instagram.com/yuktukoni)

Di tengah perjalanan menyulam harapan bagi UMKM itu, langkah Eri Kuncoro dan Revo Suladasha makin terang berkat pengakuan nasional. Gerakan Yuk Tukoni mendapat anugerah SATU Indonesia Awards 2020 kategori Pejuang Tanpa Pamrih di Masa Pandemik COVID-19. Penghargaan ini diselenggarakan oleh PT. Astra International Tbk melalui ajang Semangat Astra Terpadu Untuk (SATU) Indonesia Awards yang pada tahun itu membuka kategori khusus apresiasi generasi muda yang berkontribusi menghadapi krisis sosial.

Uniknya, momen itu tidak direncanakan. Eri mengaku Yuk Tukoni tidak mendaftarkan diri secara mandiri. Salah satu media lah yang mendaftarkan gerakan ini tanpa sepengetahuan mereka. Baginya, apresiasi ini bukan sekadar trofi, tetapi pengakuan bahwa benih gotong royong yang mereka tanam tumbuh menjadi pohon harapan. “Bukti kalau gotong royong masih relevan dan kuat di masa sulit,” tuturnya penuh inspirasi.

Api kecil Yuk Tukoni mungkin tidak berkobar seperti sorot lampu jalan-jalan di Baciro. Namun, sinarnya yang hangat berhasil menjangkau banyak tempat. Berawal dari freezer pinjaman hingga bisa membuka toko, gerakan ini terhubung oleh satu benang merah ketulusan untuk saling menjaga.

Penghargaan SATU Indonesia Awards adalah simpul harapan. Penghargaan itu bukan akhir cerita, tetapi awal babak baru di mana gerakan sosial berdansa dalam harmoni. Yuk Tukoni tebarkan benih inspirasi, bahwa empati bisa menjadi strategi dan kolaborasi bisa berbuah kekuatan yang terus menjaga api kehidupan.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Izza Namira
EditorIzza Namira
Follow Us

Latest in Life

See More

4 Tren Desain Rumah di Tahun 2026, Makin Homey!

18 Nov 2025, 17:03 WIBLife