Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi kegiatan belanja
ilustrasi kegiatan belanja (Pexels.com/Sam Lion)

Intinya sih...

  • Belanja adalah mekanisme pertahan diri yang instan terhadap kesepian

  • Konsumen kesepian cenderung membeli barang dengan benefit sosial atau pola konsumsi destruktif

  • Kamu mungkin menikmati sensasi dari proses berburu barang belanjaan, namun sebenarnya hanya butuh membangun relasi sosial

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Pernahkah kamu merasa banyak barang menumpuk di rumah atau kamar? Parahnya lagi, barang-barang itu ternyata bukan kebutuhan. Kebanyakan justru hal-hal remeh temeh yang kalau hilang atau absen dari hidupmu, tak bakal membuatmu merasa kehilangan atau menyesal. Hati-hati, bisa jadi kamu sudah menjadikan belanja alias konsumsi sebagai hobi.

Memang ada beberapa kemungkinan yang mendasari dorongan untuk belanja. Bisa jadi karena pendapatan naik, sehingga kamu bisa mengalokasikan anggaran lebih besar untuk konsumsi. Namun, bisa jadi pula kebiasaan belanjamu yang berlebihan ternyata mengindikasikan sebuah kondisi psikis tertentu, yakni kesepian.

Bagaimana bisa hobi belanja berkaitan dengan kesepian? Ini penjelasannya yang mungkin terasa relate denganmu.

1. Belanja adalah salah satu mekanisme pertahan diri yang dampaknya instan

ilustrasi kegiatan belanja (Pexels.com/Craig Adderley)

Sebelum kita beranjak ke relasi kesepian dan pola konsumsi, ada baiknya kita menyatukan definisi kesepian dulu. Merujuk tulisan Jiawei Wang berjudul ‘The relationship between loneliness and consumer shopping channel choice: Evidence from China’ dalam Journal of Retailing and Consumer Services, kesepian adalah perasaan terisolasi secara sosial.

Kesepian juga bisa diartikan sebagai defisiensi relasi sosial yang bersifat subjektif dan objektif. Frekuensi interaksi sosial bahkan tidak bisa jadi tolok ukur rasa kesepian. Ini karena secara subjektif, bisa jadi ada jarak antara partisipasi sosial dengan ekspektasi individu. Seseorang bisa saja sehari-harinya dikelilingi banyak orang, bahkan berinteraksi langsung, tetapi tak punya perasaan terhubung yang dibutuhkannya untuk merasa puas atau nyaman.

Kesepian sangat erat kaitannya dengan stres, karena memberikan rasa tak nyaman, tertekan, bahkan terancam. Ketika kondisi ini terpenuhi, manusia secara naluriah akan mencari cara untuk melakukan upaya mitigasi atau pertahanan diri. Ada banyak cara yang bisa dilakukan, tetapi membelanjakan uang untuk produk atau jasa adalah salah satu yang paling sering dipilih. Alasannya tak lain adalah dampaknya yang instan. Setelah membeli barang atau jasa yang kita inginkan, kebahagiaan dan kelegaan biasanya akan langsung menyelimuti. Impulsi belanja yang datang dari rasa kesepian atau terisolasi ini amat mudah diamati pada era pandemik COVID-19. Coba ingat, benda gak jelas apa yang kamu beli saat itu?

Masalahnya, dampak instan ini tak langgeng. Setelah beberapa waktu, rasa tak nyaman dari kesepian itu akan kembali. Mirisnya, ketika manusia tak menyadari pola ini, mereka akan terjebak dalam adiksi belanja tak berujung demi dapat kebahagiaan instan.

2. Ada pola tertentu yang bisa dibaca dari konsumen yang kesepian

ilustrasi kegiatan belanja (Pexels.com/Mia)

Masih merujuk tulisan Wang, konsumen kesepian punya alasan kuat mengapa mereka pergi berbelanja. Salah satunya kebutuhan untuk berinteraksi dengan manusia lain, yakni lewat pegawai toko. Namun, seiring dengan kehadiran toko daring, ada pola konsumsi lain yang bisa dilihat dari konsumen yang kesepian. Yakni, jenis produk atau jasa yang mereka beli.

Huang dalam riset berjudul ‘Consumer loneliness: A systematic review and research agenda’ yang dipublikasikan jurnal Frontiers in Psychology berargumen kalau konsumen kesepian akan cenderung membeli barang yang bisa memberikan mereka benefit sosial. Benefit sosial yang dimaksud adalah perasaan terafiliasi atau terhubung dengan kelompok atau komunitas tertentu.

Produk atau jasa yang bisa memberikan benefit itu bisa berupa media sosial (memberikan kesan terhubung dengan orang lain meski tak harus hadir secara fisik), benda atau momen yang punya kesan nostalgia (jajanan masa kecil, konser musisi favorit era remaja), barang bekas dengan nilai emosional tinggi (misal milik figur publik atau berlabel langka). Itu mungkin masih terdengar normal. Ironisnya, ada juga konsumen kesepian yang pola konsumsinya destruktif, yakni dengan mengonsumsi makanan, zat terlarang, atau alkohol berlebihan.

3. Kamu mungkin tidak butuh barang atau jasa itu, kamu menikmati sensasi dari prosesnya

ilustrasi boarding pass (Pexels.com/Natã Romualdo)

Pernahkah kamu merasa kecewa atau mati rasa setelah berhasil membeli satu barang atau jasa? Padahal, sebelumnya kamu merasa begitu menggebu-gebu dan bersemangat. Ini ternyata umum terjadi, karena sebenarnya kita menikmati sensasi dari proses berburu barang belanjaan itu. Dalam kasus orang yang kesepian, belanja bisa jadi momen yang melegakan, karena memungkinkanmu kabur dari dirimu sendiri: mengalihkan perhatian dan melupakan tekanan hidup.

Menariknya, riset Zhao, dkk ‘Escape from self: Stress increase consumers' preference for experiences over material possessions' dalam jurnal Frontiers in Public Health menemukan kalau banyak orang mulai beralih dari pola konsumsi berbasis materi (material consumption) ke konsumsi berbasis pengalaman (experiential consumption), seperti menonton film, pergi ke konser musik, berlibur dan cafe hopping. Mengejar pengalaman kognitif menurut kesimpulan mereka bisa jadi cara lebih positif dan manjur untuk mengatasi stres.

Bisa jadi bahan refleksi, nih. Jangan-jangan kamu sebenarnya gak butuh belanja, tapi hanya butuh membangun relasi sosial dengan orang sekitar? Siapa pula yang diuntungkan dari epidemi kesepian global saat ini?

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team