ilustrasi kegiatan belanja (Pexels.com/Craig Adderley)
Sebelum kita beranjak ke relasi kesepian dan pola konsumsi, ada baiknya kita menyatukan definisi kesepian dulu. Merujuk tulisan Jiawei Wang berjudul ‘The relationship between loneliness and consumer shopping channel choice: Evidence from China’ dalam Journal of Retailing and Consumer Services, kesepian adalah perasaan terisolasi secara sosial.
Kesepian juga bisa diartikan sebagai defisiensi relasi sosial yang bersifat subjektif dan objektif. Frekuensi interaksi sosial bahkan tidak bisa jadi tolok ukur rasa kesepian. Ini karena secara subjektif, bisa jadi ada jarak antara partisipasi sosial dengan ekspektasi individu. Seseorang bisa saja sehari-harinya dikelilingi banyak orang, bahkan berinteraksi langsung, tetapi tak punya perasaan terhubung yang dibutuhkannya untuk merasa puas atau nyaman.
Kesepian sangat erat kaitannya dengan stres, karena memberikan rasa tak nyaman, tertekan, bahkan terancam. Ketika kondisi ini terpenuhi, manusia secara naluriah akan mencari cara untuk melakukan upaya mitigasi atau pertahanan diri. Ada banyak cara yang bisa dilakukan, tetapi membelanjakan uang untuk produk atau jasa adalah salah satu yang paling sering dipilih. Alasannya tak lain adalah dampaknya yang instan. Setelah membeli barang atau jasa yang kita inginkan, kebahagiaan dan kelegaan biasanya akan langsung menyelimuti. Impulsi belanja yang datang dari rasa kesepian atau terisolasi ini amat mudah diamati pada era pandemik COVID-19. Coba ingat, benda gak jelas apa yang kamu beli saat itu?
Masalahnya, dampak instan ini tak langgeng. Setelah beberapa waktu, rasa tak nyaman dari kesepian itu akan kembali. Mirisnya, ketika manusia tak menyadari pola ini, mereka akan terjebak dalam adiksi belanja tak berujung demi dapat kebahagiaan instan.