Cerita Insan Musik di Bali Bertahan Selama Pandemik COVID-19 

Hilangnya pendapatan dari musik selama pandemik

Ingar bingar pertunjukan musik ternyata memberikan gemericik rupiah bagi insan-insan yang terlibat di dalamnya. Semakin artis atau band itu populer tentunya semakin sering mendapat job pentas sehingga semakin besar penghasilan yang didapat.

Profesi sebagai seniman musik ternyata sudah bisa dijadikan sumber penghasilan yang bisa menghidupi diri dan keluarga mereka. Contoh saja, penghasilan untuk personel band sekali pentas paling sedikit mendapat Rp1 juta. Kemudian dalam seminggu minimal ada 2 jadwal manggung, dalam sebulan sudah mendapatkan penghasilan di atas UMR (Upah Minimal Regional) bahkan di atas gaji seorang ASN golongan III.

Namun saat badai pandemik COVID-19 menerjang, semua itu sirna yang hanya meninggalkan nestapa bagi insan-insan yang bergelut di dunia musik.

1. Tidak ada lagi jadwal pentas atau pertunjukan musik 

Cerita Insan Musik di Bali Bertahan Selama Pandemik COVID-19 Penanyi pop Bali Widi Widiana di salah satu pertunjukan musik di Bali (dok. pribadi/Ari Budiadnyana)

Di dalam masa pandemik ini otomatis kegiatan berkumpul atau kegiatan yang bisa menimbulkan keramaian dilarang untuk diadakan tidak terkecuali untuk pertunjukan musik. Konser-konser atau pertunjukan musik khususnya yang bisa melibatkan penonton dengan jumlah yang banyak sudah ditiadakan. Hal ini tentunya menyebabkan para insan musik tidak mendapatkan job pentas lagi.

2. Pendapatan nol dari job pentas 

Cerita Insan Musik di Bali Bertahan Selama Pandemik COVID-19 Lanang Botax saat dijumpai di warungnya (dok. pribadi/Ari Budiadnyana)

Tidak adanya konser tentunya berimbas kepada insan musik baik penyanyi, band atau lingkaran di sekitarnya. Tidak ada job pentas sama saja dengan tidak ada penghasilan masuk. Perlu diketahui, untuk insan musik ini, penghasilan terbesarnya adalah dari job manggung.

"Pendapatan di musik nol, saat ini bisa dikatakan pendapatan di musik sudah habis, perlu putar otak lagi untuk mendapatkan penghasilan dari bidang yang lain," ungkap Lanang Botax, personel Lolot Band saat ditemui di warungnya.

3. 'Everything I Brush' ungkapan yang cocok untuk bertahan di kala pandemik

Cerita Insan Musik di Bali Bertahan Selama Pandemik COVID-19 Gus Bim saat ditemui di studio mini miliknya di daerah Gatsu Denpasar (dok. pribadi/Ari Budiadnyana)

"Everything i brush, apa pun pekerjaannya saya lakoni dari menjadi ojek daring, mengantar barang, bersih-bersih atau lainnya. Hal ini agar saya bisa bertahan di tengah pandemik ini. Daripada berdiam diri, lebih baik saya mengambil pekerjaan serabutan," ujar Bagleg yang merupakan crew backstage dari Band Dialog Dini Hari.

Dalam masa pandemik ini memang harus lebih kreatif memanfaatkan peluang-peluang ada. Begitu juga dengan Widi Widiana seorang penyanyi pop legendaris di Bali yang masih eksis sampai saat ini. Ia mencoba untuk lebih serius menggarap kanal YouTubenya sembari mencoba bisnis property bersama rekan-rekannya.

"Kalau untuk pendapatan dari YouTube memang masih belum bisa melebihi dari penghasilan manggung atau konser. Yang penting tetap berusaha dan tetap berkarya, saya mencoba untuk setiap bulan ada lagu yang dirilis di kanal YouTube saya Widi Widiana Official," tandas penyanyi yang memiliki ciri khas tidak menggunakan alas kaki saat manggung ini.

Lain lagi cerita Gus Bim, manajer Lolot Band yang juga sebagai crew backstage dari Superman Is Dead (SID), di masa pandemik ini, ia mulai membuka studio mini di rumahnya untuk proses rekaman.

"Sebelum pandemik studio mini saya ini tidak pernah dipakai. Namun saat pandemik ini karena saya lebih banyak di rumah, saya aktifkan lagi studio mini ini untuk proses rekaman sehingga bisa menambah penghasilan saya," cerita Gus Bim yang merupakan rekan bersepeda dari Bobby, vokalis Band SID.

Baca Juga: 7 Industri  Kreatif  Di Pandeglang, Celah Usaha di Tengah Pandemik

dm-player

4. Konser daring menjadi solusi atau hanya sekedar melepas kangen? 

Cerita Insan Musik di Bali Bertahan Selama Pandemik COVID-19 Bayu Copletz saat pentas musik daring (instagram.com/adayinmylifetime_)

Saat awal pandemik, banyak insan musik yang mencoba berkreasi dengan menciptakan konser atau pertunjukan secara daring atau virtual. Sempat menjadi tren saat awal pandemik, namun seiring berjalannya waktu, tren ini kurang mendapat sambutan yang positif, baik dari pihak band maupun masyarakat umum.

"Saat konser virtual ini saya benar-benar tidak nyaman, suasana riuh penontonnya tidak ada otomatis adrenalin di tubuh ini tidak bergejolak. Biasanya ikut lompat-lompat bersama penonton namun saat konser virtual keinginan untuk lompat-lompat itu tidak ada," ujar Lanang Botax, Bassist Lolot Band ini.

Menurut Gus Bim, secara pendapatan dari konser virtual ini juga jauh dari konser offline.

"Susah untuk mendapatkan sponsor untuk konser virtual, karena pihak sponsor lebih suka dengan keramaian penonton yang hadir ke lokasi," tandas Gus Bim saat ditemui di studio mininya di bilangan Gatsu Denpasar.

Berbeda dengan penuturan Bayu Copletz, penabuh drum Band Painful By Kisses (PBK), konser daring ini bisa digunakan sebagai ajang pelepas rindu personel band dan fans mereka dan selain itu band tetap bisa berkarya walaupun di masa pandemik.

5. Rindu pentas musik yang melibatkan banyak penonton 

Cerita Insan Musik di Bali Bertahan Selama Pandemik COVID-19 Suasana penonton di salah satu pentas musik saat sebelum pandemi (dok. pribadi/Ari Budiadnyana)

Setahun lebih tidak pernah lagi ada pertunjukan atau konser musik yang melibatkan penonton dengan jumlah yang banyak. Tentunya hal ini membuat para insan musik sudah sangat rindu tampil di atas panggung lagi.

"Rindu akan teriakan penonton, penonton bernyanyi bersama yang membuat adrenalin saya meningkat sehingga saya sangat menikmatinya dengan cara berjingkrak-jingkrak di atas panggung," ujar Lanang Botax.

"Sangat-sangat rindu, rindu akan keriuhan saat sound check, harus bangun pagi, jalan-jalan dari satu kota ke kota lainnya, pokoknya rindu banget. Walupun saya sebagai crew backstage, namun saat para penonton ikut bernyanyi saya menjadi sangat bersemangat di atas panggung," ungkap Bagleg.

6. Harapan insan musik di Bali kepada pemerintah 

Cerita Insan Musik di Bali Bertahan Selama Pandemik COVID-19 Suasana pertunjukan musik di Bali sebelum pandemi (dok. pribadi/Ari Budiadnyana)

Di tengah situasi pandemik yang penuh ketidak pastian ini, tentunya para insan musik memiliki harapan kepada pemerintah agar mereka bisa lagi menjalankan geliat pertunjukan musik ini. Baik Widi Widiana, Lanang Botax, Gus Bim, Bayu Copletz dan Bagleg sepakat, dimana mereka berharap agar pemerintah membuat sebuah keputusan, agar para insan musik ini bisa pentas lagi di hadapan penggemar mereka.

Perlu adanya penetapan protokol yang diperlukan jika nantinya izin untuk mengadakan pertunjukan yang melibatkan penonton dengan jumlah yang banyak diberikan. Protokol kesehatan yang bagaimana yang diperlukan dimana hal ini perlu adanya diskusi bersama para pemangku kebijakan dan para insan musik di Bali.

Saat ini situasi pandemik COVID-19 sudah mulai membaik. Kegiatan yang melibatkan orang dalam jumlah yang banyak sudah mulai dilonggarkan. Beberapa pertunjukan-pertunjukan musik di Bali sudah mulai ada walaupun dalam jumlah penonton yang masih terbatas.

Walaupun masih terbatas, namun antusias insan-insan musik dan masyarakat yang sudah kangen menonton idolanya secara langsung sangat tinggi. Terbukti, pertunjukan-pertunjukan yang diadakan tidak pernah sepi penonton. Semoga keadaan ini semakin membaik sehingga roda perekonomian khususnya bagi insan-insan musik di Bali kembali bergeliat.

Baca Juga: Kisah di Balik Usaha Empon-empon, Berinovasi di Masa Pandemik

Ari Budiadnyana Photo Verified Writer Ari Budiadnyana

Menulis dengan senang hati

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Agustin Fatimah

Berita Terkini Lainnya