proses penggalangan dana untuk SAUS (dok. pribadi/Reza Riyady Pragita)
“Kalau ngomongin orang pintar, mah, di Indonesia banyak, banyak banget. Namun, ada satu hal di mana Indonesia butuh jutaan orang yang mau memulai untuk melakukan perubahan.”
Kedatangan Reza ke Desa Ban saat itu sebenarnya hanya ingin berjalan-jalan, berlibur, dan menghilangkan penat sejenak dari rutinitas harian dengan berkeliling ke desa-desa sekitar Bali. Di Desa Ban, ia mendapati kenyataan lain. Alih-alih pemandangan pedesaan yang meneduhkan dan menyegarkan jiwa, ia justru menjumpai kenyataan-kenyataan yang memilukan.
Ia merasakan udara kering, panas, akses jalan yang masih berupa tanah dan kerikil, hingga rumah-rumah warga yang jauh dari kata layak. Belum lagi, ia menyaksikan ibu-ibu dengan basah dan kuyup penuh keringat, tertatih-tatih mendorong gerobak berisi berliter-liter air dari jarak yang sangat jauh. Pemandangan ini sangat mengejutkan baginya dan bikin mengelus dada saking tak teganya. Ia tak mengerti mengapa masyarakat desa berduyun-duyun menimba air dari sumber air yang sejauh itu, sementara ini adalah daerah pegunungan.
Reza Riyady Pragita adalah seorang perawat di sebuah Rumah Sakit Daerah di Kabupaten Klungkung. Setiap harinya, ia menangani dan merawat pasien-pasien yang datang dari daerah-daerah sekitar, termasuk dari Desa Ban. Sebagai seorang abdi kesehatan, jiwanya seolah sudah terasah terhadap isu-isu sosial di masyarakat. Adapun, empati dan kesadaran sosial yang ia memiliki begitu mendalam.
Kenyataan yang terjadi di Desa Ban, membuatnya tercengang. “Bayangkan, Bali yang seoke itu ada kisah sepilu ini?” terangnya. Tak butuh waktu lama, ia kemudian mencoba melakukan pendekatan pada masyarakat di Desa Ban. Ia mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi di sana hingga menyebabkan kehidupan sosial yang begitu memprihatinkan.
Mulanya, ia mengira faktor bencana alam, yang merusak rumah-rumah warga, jadi dasar permasalahan di Desa Ban. Reza pun terpikir untuk menginisiasi program bedah rumah. Namun, ia ternyata salah. Setelah berdiskusi dengan masyarakat dan kelian adat (kepala adat) setempat, Desa Ban memiliki masalah dasar yang lebih kompleks: ketiadaan sumber air bersih.
“Masyarakat, tuh, bilang bahwa, oh, permasalahan yang besar di kami, tuh, sebenarnya kalau bedah rumah sudah ada dari pemerintah daerah, provinsi, dan juga kabupaten, sudah sering gitu. Nah, kita butuhnya itu air. Air biar bisa lebih dekat ke tempat kami biar kita gak dorong-dorong air,” ungkapnya menjelaskan keresahan warga Desa Ban.
Meski punya tekad yang kuat, di sisi lain Reza juga merasa bukan siapa-siapa. Ia tak memiliki banyak sumber daya untuk bisa membantu. Berkali-kali, ia terus mempertanyakan diri. Rasa takut dan cemas pun turut menghantui. Namun, empati dan tekadnya yang kuat terus mendorongnya untuk melangkah. “Ah, ayo, bikin aja, bikin aja!” kisahnya mencoba berpikir positif.
“Saya, tuh, adalah perawat honorer pada waktu itu statusnya. Saya gak punya duit, gitu, kan. Tapi, saya punya tekad yang kuat. Saya bisa coba bantu,” ucapnya mengenang perjuangannya memulai SAUS.
Dengan langkah yang sedikit gamang, Reza lalu beranjak. Ia mulai mengajak warga untuk mengeksplorasi sumber air. Ia berjalan kaki melewati jalan-jalan setapak yang curam dan menanjak. Pengalaman ini memberikan pengalaman tersendiri bagi Reza. Ia tak membayangkan begitu besar perjuangan masyarakat Desa Ban selama ini.
Di dekat desa, ada sumber air bersih yang seolah tak pernah terjamah. Setiap tahunnya, warga hanya menerima bantuan demi bantuan air bersih yang sifatnya kondisional, sementara akar permasalahan tak pernah tersentuh sama sekali. Padahal, jika diperhatikan sedikit saja, sumber air ini sangat potensial untuk membangun kesejahteraan warga di Desa Ban yang selama ini sekarat akibat kekurangan air bersih.
Untuk membiayai program SAUS, Reza melakukan penggalangan dana dari berbagai kalangan. Ia mendekati politikus, membuat kampanye di media sosial, hingga menggalang dana (crowdfunding) melalui lembaga seperti Kitabisa. Namun, hasilnya ternyata nihil alias tak membuahkan hasil. Dari jumlah dana yang ditargetkan, tak terkumpul sepuluh persen pun. Adapun, target awal adalah sekitar Rp100 juta.
“Di Kitabisa.com itu, dana saya cuma mentok di Rp2,8 juta. Padahal, itu hari terakhir donasi. Nah, emang dari donasi ini saya bisa nyiptain apa? Kan, udah janji mau nolong. Tapi, segini doang, duh!” terangnya menceritakan kesedihannya ketika merasa gagal menggalang dana untuk program air bersih tersebut.
Lagi-lagi, hasil penggalangan dana ini membuatnya berkecil hati. Ia sempat teruruk, tak tahu lagi harus bagaimana. Itu karena ia berpikir satu-satunya jalan untuk realisasi air bersih ini ialah melalui penggalangan dana ke khalayak lebih luas. Namun, kalau sudah menjangkau kampanye nasional saja nilai yang terkumpul segitu, lalu jalur mana lagi yang harus diupayakan?
Tak bisa dimungkiri, kejadian ini menjadi titik terendahnya selama membangun program air bersih SAUS. Ia seakan kehilangan optimismenya lagi. Namun, ia mencoba terus mencari petunjuk. Ia mengambil air wudu, salat, dan mencurahkan segala keresahannya tentang program yang digagasnya. Antara berhenti atau lanjut, ini membuatnya sangat dilema.
“Saya tumben-tumbenan salat sampai nangis. Terus saya, tuh, bilang, 'Ya, Allah, bila program ini baik, lancarkanlah. Bila program ini gak baik maka bantu hamba untuk legawa dengan semua ini.' Saya waktu itu sampai gak enak makan. Mikir gitu,” ungkapnya mengisahkan kegelisahannya.
Bukan ambisi, tapi ia hanya tak ingin mengecewakan warga. Kedatangannya ke Desa Ban sudah seperti memberikan angin segar bagi masyarakat desa. Apalagi, ini adalah program yang sangat dinanti-nantikan selama puluhan tahun lamanya untuk mendapatkan akses air bersih, kebutuhan dasar mutlak bagi kehidupan.