“Keperawatan itu tidak hanya memberikan hasilan keperawatan pada orang yang sakit, tapi bertajuk pada kebutuhan dasar manusia,” ujarnya dengan mata berbinar.
Dari Kekeringan Jadi Kehidupan, Reza Riyady Hadirkan Air ke Desa Ban

Di tengah geliat pariwisata Bali yang terkenal di seluruh dunia, masih tersimpan realitas lain yang jauh dari kemewahan: krisis air bersih di beberapa desa terpencil. Desa Ban, Kubu, Karangasem, Bali, jadi salah satu yang terdampak. Dari sinilah, hadir seorang perawat, Reza Riyady Pragita, yang menjadi inspirasi. Melalui inisiatif programnya bertajuk Sumber Air untuk Sesama (SAUS) pada 2019, ia mendekatkan air untuk Desa Ban.
Penulis berkesempatan berbincang dengan Reza. Sosok pemuda ini mungkin tidak terlalu dikenal oleh khalayak luas. Namun, dedikasinya untuk memastikan akses air bersih di desa terpencil Bali telah mengubah hidup banyak keluarga. Reza merupakan penerima 13th SATU Indonesia Awards 2022 tingkat provinsi di bidang kesehatan. Ia merupakan sosok di balik SAUS, sebuah program yang mengedepankan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) di Desa Ban.
1. Dari perawat, lalu mengabdi pada masyarakat

Reza memulai kariernya sebagai perawat, sebuah profesi yang dianggap hanya fokus pada tindakan kuratif di rumah sakit, seperti memberi suntikan atau menjalankan instruksi dokter. Namun, ia merasa peran perawat seharusnya bisa lebih luas, yakni preventif, promotif, kuratif, dan kolaboratif.
Ketika penulis melihat Reza, ada kesan hangat dan tenang dari senyumnya. Namun, di balik itu ada keteguhan yang luar biasa. Dia ingin memastikan setiap tetes air bersih bisa sampai ke tangan masyarakat yang membutuhkan. Dari tutur katanya, terlihat jelas bahwa perjuangan ini lahir dari hati nurani seorang perawat yang percaya bahwa kesehatan masyarakat tidak hanya soal menyembuhkan penyakit, tetapi juga memenuhi kebutuhan dasar manusia, salah satunya air bersih.
Dari data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan Kementerian Pekerjaan Umum (PU) per Maret 2025, ada sebanyak 28 juta warga Indonesia yang masih kesulitan untuk mengakses air minum layak setiap hari. Statistik dan kondisi nyata tersebut menunjukkan urgensi program pengadaan akses air. Hal ini pun terjadi di Bali. Walau Bali dikenal sebagai destinasi wisata maju, masih banyak wilayah yang kesulitan mengakses air bersih, terutama saat musim kemarau. Ini jadi kenyataan pahit. Banyak keluarga harus membeli air dari luar dengan harga mahal atau menunggu bantuan dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), yang tidak sering ada.
2. Motivasi awal Reza membangun SAUS muncul saat ia melihat krisis air dari dekat

Reza menjelaskan bahwa selama kunjungannya ke Bali timur pada 2019, ia melihat banyak ibu yang harus menempuh jarak jauh hanya untuk mendapatkan air. Mereka harus membawa pulang air yang berat tersebut menggunakan jeriken. Situasi ini membuatnya terbayang bilamana ibunya sendiri yang melakukan.
“Ibu itu harus masukin air ke jeriken begitu, kan, ya, berdrum-drum, terus dorong dengan jarak berkilo-kilo meter. Itu sekitar 5 kilometerlah,” ungkapnya menahan tangis.
Dari situ, ia memutuskan untuk tidak hanya memberikan bantuan darurat. Namun, ia juga ingin menciptakan solusi yang bisa masyarakat rasakan secara langsung. Dengan analogi seorang perempuan yang membawa lampu sentir di medan perang, Reza ingin membawa cahaya harapan melalui akses air bersih.
Reza menjelaskan bahwa masyarakat Desa Ban bukan tidak peduli dengan kebersihan, melainkan karena kurangnya akses air bersih. Selama musim kemarau, BPBD hanya memberi air secara insidental (sewaktu-waktu). Sementara, membeli air dengan harga Rp100 ribu per drum sangat memberatkan. Dengan kondisi topografi yang curam dan jalan belum beraspal, upaya membawa air ke desa menjadi tantangan logistik yang serius.
3. Ide awal SAUS hingga realisasinya untuk masyarakat Desa Ban

Melaksanakan program SAUS tidaklah mudah. Reza dan timnya harus menempuh medan sulit. Mereka harus jalan kaki untuk survei air, bahkan sampai luka-luka. Dari survei tersebut, terciptalah ide untuk membuat cubang (bak) penampungan air. Namun, keputusan tersebut tidak datang dari dirinya sendiri, melainkan dari musyawarah dengan desa setempat. Reza menekankan pentingnya musyawarah desa untuk menentukan prioritas. Akses air dipilih dibandingkan pembangunan kembali rumah, seperti yang selama ini sering dilakukan. Itu karena kebutuhan dasar air bersih lebih utama dan mendesak serta merupakan syarat PHBS.
Reza menjelaskan bahwa mereka tidak ingin menjadikan masyarakat sebagai objek, tetapi sebagai subjek yang aktif menyelesaikan masalah sendiri. Ia dan tim memperkenalkan ide dengan pendekatan sederhana, tidak menjanjikan “surga” yang muluk-muluk. Yang ditekankan ialah manfaat nyata yang bisa dirasakan langsung.
Pembangunan fasilitas dilakukan bersama warga setempat. Mereka ikut menyiapkan bak penampungan air, menghubungkan pipa, dan memelihara infrastruktur. Pendekatan partisipatif ini menimbulkan rasa memiliki dan memastikan keberlanjutan. Reza menekankan bahwa masyarakat yang membangun dan mereka yang akan menjaga. Jadi, ini bukan proyek sekali pakai. Akhirnya, pembangunan bak penampungan air ini diresmikan pada Januari 2020.
“Saya masih ingat banget kelian adat itu bilang kayak gini. Ini bakal kami jaga banget. Kami berharap bak penampungan air ini gak kayak, apa namanya, bantuan-bantuan lainnya yang terbengkalai. Karena ini memang benar-benar mereka yang membangun.” ujar Reza
4. Tantangan sosial dan budaya selama Reza menjalankan program SAUS

Menjalankan SAUS bukan tanpa rintangan. Masalah utama yang ia dapatkan ialah bagaimana mencari sumber air dan menyalurkannya ke Desa Ban. Reza mengingat pengalaman dirinya terluka saat survei menelusuri sumber air lewat jalan setapak.
“Itu [sumber air] ternyata sudah pernah juga diteliti sama organisasi sebelumnya, tapi gak saya sebutkan, ya. Terus juga sama katanya kerja sama sama dinas lingkungan. Jadi sudah dicek bahwa ternyata air ini layak digunakan, setidaknya untuk mandi.” tuturnya.
Perjalanan Reza untuk membangun bak penampungan air tak mudah. Menurutnya, tantangan terbesarnya ialah komitmen diri sendiri dan tim. Banyak orang yang punya ide besar, tapi tidak berani memulai atau menyelesaikannya. Reza harus memastikan semua langkah terencana dengan baik, mulai dari riset sumber air, membangun kolaborasi dengan masyarakat, hingga menggalang dana melalui platform donasi, seperti Kitabisa.
Keterbatasan pendanaan juga menjadi ujian. Saat kampanye penggalangan dana di Kitabisa, donasi stagnan pada angka Rp2,8 juta. Reza merasa terpuruk karena khawatir proyek tidak bisa berjalan. Namun, melalui keajaiban jejaring sosial, ia mendapat donasi dari Medan mencapai Rp28–30 juta. Dana ini cukup untuk membangun bak penampungan dan sisanya untuk sembako yang dibagikan saat peresmian. Baginya, ini seperti mukjizat. Keajaiban ini menjadi bukti bahwa niat baik yang tulus akan menemukan jalan.
Selain itu, keterbatasan teknis menjadi tantangan lain. Reza bukan ahli teknik sipil atau lingkungan sehingga pembangunan fasilitas harus mengandalkan kolaborasi dengan pihak lokal, termasuk kepala desa dan kelian adat. Dukungan pemerintah daerah terbatas sehingga keberhasilan program sangat bergantung pada pemimpin desa dan donatur luar.
5. Dampak dan perubahan yang terjadi dengan hadirnya SAUS

Pembangunan bak penampungan air membawa perubahan nyata. Akses air lebih mudah bagi beberapa dusun sehingga memudahkan praktik kebersihan dasar, seperti mandi, cuci tangan, dan gosok gigi. Reza mengenang interaksi dengan warga lansia yang berterima kasih dan menunjukkan rasa memiliki terhadap fasilitas yang dibangun. Ada juga orang tua yang memberikan hasil kebun padanya.
“Ada keladi, ubi rambat yang warna putih itu, sampai saya dibungkusin disuruh bawa pulang”, kata Reza tersenyum. Menurutnya, hal sederhana ini terasa begitu berkesan.
Selain aspek sosial, dampak kesehatan juga terlihat. Beberapa kasus dehidrasi berat pada anak-anak berkurang, terutama pada bayi. Sebelumnya, mereka kerap dirawat di rumah sakit karena kekurangan cairan. Hal ini juga menunjukkan kontribusi terhadap indikator PHBS di tingkat provinsi meski desa lain tetap memiliki tantangan serupa.
Hal sederhana seperti air ternyata berdampak besar. Reza merasa senang karena masyarakat merasa memiliki, bukan hanya menerima bantuan yang ada. Program ini juga meningkatkan kesadaran akan perilaku hidup bersih dan sehat, yang menjadi indikator penting kesehatan masyarakat di daerah terpencil.
6. Filosofi Bali menguatkan Reza untuk terus memperjuangkan SAUS

Bagi Reza, program SAUS bukan sekadar pembangunan bak penampungan air, tetapi juga simbol bahwa tindakan kecil bisa membawa perubahan besar. Ia terinspirasi oleh filosofi Bali bahwa niat baik akan direstui semesta. Saat peresmian bak air, misalnya, hujan turun dengan deras dan menyirami daerah tersebut. Ini menandakan restu alam.
Ia juga menekankan bahwa pekerjaan sosial bukan tentang kehebatan individu, tetapi tentang memberdayakan masyarakat. Reza pun mengutip sabda rasul bahwa sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat bagi makhluk lainnya. Kata-kata ini yang mendorongnya untuk terus bergerak meski tantangan datang silih berganti.
7. Penghargaan SATU Indonesia Awards membuka relasi baru bagi Reza

Melalui SAUS, Reza berhasil mendapatkan penghargaan 13th SATU Indonesia Awards 2022 tingkat provinsi di bidang kesehatan. Ini menjadi pengakuan atas dampak nyata yang diberikan Reza lewat program SAUS. Namun, bagi Reza, penghargaan bukan tujuan utama. Dampak terbesar ialah relasi yang terbentuk dengan berbagai organisasi, pemerintah desa, dan masyarakat. Harapannya, hal ini bisa menginspirasi orang lain agar ikut bergerak.
Penghargaan ini juga membuka akses baru untuk berkolaborasi dengan berbagai lembaga, seperti Bali Sehat yang memberikan edukasi tentang gosok gigi dan kesehatan anak. SATU Indonesia Awards pun mendekatkan Reza pada wartawan dan pihak yang bisa memberi solusi terkait masalah air bersih di Bali. Tak bisa dimungkiri, masalah akses air bersih ini masih menjadi PR besar.
8. Reza berharap desa bisa semakin mandiri, syukur-syukur menjadi potensi wisata

Ke depannya, Reza berharap program SAUS bisa memberdayakan masyarakat secara mandiri. Ia ingin agar desa-desa tidak hanya memiliki akses air bersih, tetapi juga mampu mengelola potensi lokal, seperti perusahaan air mineral atau potensi desa wisata. Program ini diharapkan menjadi percontohan bagi desa lain yang menghadapi krisis air, termasuk wilayah seperti Kintamani yang juga memiliki masalah akses air.
Ia menekankan pentingnya partisipasi masyarakat muda agar tidak selalu pergi ke kota untuk kerja di hotel atau kapal pesiar. Namun, mereka tergerak untuk kembali ke desa dan mengelola sumber daya lokal. Mereka bisa memanfaatkan tradisi budaya, seperti melukat, untuk menarik wisatawan.
“Indonesia, tuh, butuh jutaan orang yang mau memulai untuk melakukan perubahan. Sedikit sekali orang yang mau memulai untuk berubah dan mari kita bergerak dari hal yang kecil saja,” tutur Reza.
9. Pelajaran dari SAUS

Program ini membuktikan bahwa tindakan sosial yang tulus dan konsisten bisa menyentuh banyak hati, bahkan dengan sumber daya terbatas. Selain itu, program SAUS menekankan filosofi pemberdayaan masyarakat, bukan sekadar memberikan bantuan sementara. Reza ingin masyarakat memiliki kemampuan mandiri, mengelola sumber daya mereka, dan menjadi contoh bagi desa-desa lain. Ini adalah bentuk nyata dari konsep sustainable development: masyarakat tidak hanya menerima, tetapi juga berpartisipasi aktif dalam solusi.
Dari perjuangan Reza, kita bisa meneladani semangat pengabdiannya yang tulus, mulai dari perannya sebagai perawat hingga menjadi relawan yang memastikan air bersih sampai ke tangan mereka yang membutuhkan. Reza menunjukkan bahwa perubahan sosial tidak harus menunggu dukungan besar. Dengan niat baik, keberanian, dan kolaborasi, hal sederhana seperti air bersih bisa menjadi sumber kehidupan, harapan, serta inspirasi bagi banyak orang.
Perjalanan SAUS masih panjang dan tantangan masih ada. Namun, semangat Reza menjadi bukti bahwa aksi nyata dari individu peduli bisa membawa dampak besar bagi masyarakat. Dari desa terpencil di Karangasem hingga penghargaan nasional, perjalanan ini membuktikan bahwa tindakan kecil dengan hati besar mampu mengubah dunia. Reza menutup sesi wawancara dengan mengatakan, “Hidup seperti pohon. Hidup untuk menghidupi.”

















