Andika saat beraktivitas di Kredibali (andikawirateja.com)
Berbekal ilmu yang ia tekuni semasa kuliah, Andika menjalani riset tentang dampak pandemik di Desa Pemuteran. Pengukuran data secara sains, seperti dengan cost benefit analysis, ia lakukan selama dua bulan.
"Ternyata, masalahnya bukan ekonomi saja. Ada masalah yang tidak teramati secara data makro," kata sosok yang pernah berorganisasi di BEM PM Universitas Udayana tersebut. Masalah itu adalah kebijakan pemerintah terkait pembelajaran daring.
"Sebagian anak di Pemuteran tidak bisa sekolah daring. Salah satunya karena kepemilikan gawai. Diperparah dengan kondisi pandemik, jadi orangtuanya tidak bisa beli gawai dan tidak bisa beli kuota," Andika memaparkan faktanya.
Berangkat dari sini, Andika segera membuat model pendidikan alternatif. Terlebih dari data makro, daerah Buleleng memiliki angka putus sekolah yang tinggi. Dan lagi, sebagian besar penduduk di Pemuteran berasal dari kelas ekonomi menengah ke bawah dan bergantung pada sektor pariwisata.
Ia pun menggagas Kredibali, singkatan dari Kreasi Edukasi Bahasa dan Lingkungan. Hal ini untuk mengatasi adanya gap year karena terhenti sekolah selama pandemik atau potensi tidak sekolah sama sekali kelak.
Di sini, anak-anak Desa Pemuteran dapat mengikuti les Bahasa Inggris. Biaya yang perlu dibayarkan pun bukan dengan uang, melainkan dengan sampah plastik.
"Anak-anak bisa bayar dengan sampah plastik yang sudah dipilah. Bukan yang bercampur dengan sampah lain karena ini bagian literasinya. Jadi, anak dilatih untuk memilah sampahnya," kata pria berkacamata itu.
Bekerja sama dengan lembaga nirlaba Plastic Exchange, sampah plastik yang terkumpul akan ditimbang, ditabung, dan ditukar dengan beras. Beras yang didapat akan diserahkan pada lansia yang kurang mampu di sekitar Desa Pemuteran. Penyerahan beras dilakukan setelah tes kemajuan kompetensi di tiap semester.