Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi perempuan lelah
ilustrasi perempuan lelah (pexels.com/cottonbro studio)

Intinya sih...

  • Budaya hustle culture glorifikasi lembur, menyebabkan kelelahan kronis dan menekan diri untuk produktif setiap waktu.

  • Tidak adanya batas antara kerja dan kehidupan pribadi dapat membuat ruang pribadi hilang dan memicu burnout.

  • Meeting berlebihan yang tidak efektif serta micromanagement bisa menguras energi mental karyawan dan mematikan kreativitas.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Pernah merasa lelah secara emosional meski pekerjaanmu terlihat baik-baik saja? Banyak orang gak sadar kalau sumber kelelahan itu bukan cuma beban kerja, tapi juga budaya di tempat kerja yang gak sehat. Tanpa disadari, pola kerja yang dianggap “normal” justru bisa jadi pemicu utama stres dan burnout jangka panjang.

Beberapa budaya kerja yang sering dianggap produktif ternyata malah menggerus kesehatan mental secara perlahan. Kalau terus dibiarkan, dampaknya bisa bikin motivasi menurun bahkan memicu keinginan resign. Yuk simak lima budaya kerja yang diam-diam bisa bikin burnout dan penting untuk segera kamu waspadai.


1. Hustle culture yang glorifikasi lembur

ilustrasi perempuan lembur bekerja (freepik.com/DC Studio)

Budaya hustle culture sering dianggap keren karena identik dengan ambisi dan kerja keras tanpa henti. Tapi nyatanya, pola pikir ini bisa bikin tubuh dan pikiran kehilangan keseimbangan karena terus menekan diri untuk produktif setiap waktu. Akibatnya, banyak pekerja merasa bersalah saat istirahat dan akhirnya kelelahan kronis.

Hidup bukan cuma soal kerja, tapi juga soal menjaga diri agar tetap waras dan bahagia. Tanpa batas waktu istirahat yang cukup, performa malah menurun karena otak gak sempat pulih. Ingat, bekerja keras boleh, tapi bukan berarti kamu harus mengorbankan kesehatan mental demi terlihat sibuk.

2. Tidak adanya batas antara kerja dan kehidupan pribadi

ilustrasi perempuan menelepon (freepik.com/benzoix)

Banyak Milenial dan Gen Z yang akhirnya terjebak di pola kerja tanpa batas karena selalu online dan siap dihubungi. Pesan kerja yang masuk malam hari atau saat libur sering dianggap hal sepele, padahal itu tanda work-life boundary kamu mulai kabur. Kalau ini terus terjadi, kamu bisa kehilangan ruang pribadi dan makin cepat burnout.

Menetapkan batas waktu kerja adalah bentuk penghargaan terhadap diri sendiri. Kamu berhak punya waktu untuk beristirahat tanpa rasa bersalah atau takut dinilai tidak loyal. Dengan menjaga keseimbangan ini, produktivitas justru meningkat karena mentalmu tetap segar.

3. Meeting berlebihan yang tidak efektif

ilustrasi meeting di kantor (freepik.com/freepik)

Pernah merasa seharian rapat tapi gak ada hasil konkret? Budaya meeting yang terlalu sering dan gak terarah bisa menyedot energi mental tanpa memberi manfaat nyata. Waktu yang harusnya dipakai untuk menyelesaikan pekerjaan malah habis untuk diskusi yang berputar di tempat.

Sebuah meeting idealnya singkat, jelas, dan punya tujuan yang spesifik. Jika terlalu sering dilakukan tanpa kejelasan, itu justru jadi bentuk pemborosan energi dan fokus. Belajar bilang tidak pada rapat yang tidak penting bisa jadi langkah awal untuk menjaga kesehatan mental di kantor.

4. Micromanagement yang bikin karyawan kehilangan kepercayaan diri

ilustrasi berdiskusi dengan rekan kerja (pexels.com/Alena Darmel)

Atasan yang selalu ingin mengatur setiap detail pekerjaan bisa membuat karyawan kehilangan rasa percaya diri. Micromanagement bukan cuma melelahkan secara mental, tapi juga mematikan kreativitas dan inisiatif. Karyawan merasa tidak dipercaya sehingga akhirnya bekerja dengan rasa cemas terus-menerus.

Kepercayaan adalah fondasi utama dalam tim yang sehat. Saat manajer memberi ruang bagi karyawannya untuk berkembang, mereka justru lebih termotivasi dan merasa dihargai. Lingkungan kerja yang suportif lebih efektif membangun produktivitas dibanding pengawasan ketat yang mencekik.

5. Budaya “selalu sibuk” yang dianggap prestasi

ilustrasi perempuan sibuk (freepik.com/benzoix)

Banyak orang di tempat kerja bangga terlihat sibuk, seolah itu tanda dedikasi dan kinerja tinggi. Padahal, sibuk belum tentu produktif, apalagi kalau semua dilakukan tanpa arah yang jelas. Gaya kerja seperti ini sering bikin karyawan lupa istirahat dan merasa bersalah saat tidak bekerja.

Sibuk bukan tolok ukur keberhasilan, tapi cara kerja yang efisienlah yang menentukan. Belajar mengatur prioritas dan tahu kapan harus berhenti justru menunjukkan kedewasaan profesional. Jadi, jangan biarkan dirimu tenggelam dalam ilusi sibuk yang hanya membuatmu kelelahan.

Burnout bukan terjadi tiba-tiba, tapi hasil dari budaya kerja yang gak sehat dan terus diabaikan. Mulailah mengenali tanda-tandanya sejak dini dan jangan takut menolak pola kerja yang merugikan kesehatan mentalmu. Yuk, jaga keseimbangan hidup dan pastikan kamu bekerja untuk hidup, bukan hidup untuk bekerja.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team

EditorAgsa Tian