Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi bercermin melihat diri sendiri (freepik.com/freepik)

Menerima diri sendiri itu penting, tapi bukan berarti kamu harus selalu merasa “baik-baik saja” sepanjang waktu. Kadang, kita terlalu memaksakan diri untuk tetap positif meski sedang tidak baik-baik saja. Padahal, hidup itu penuh warna, ada sedih, marah, kecewa, dan itu semua valid untuk dirasakan. Yang terpenting adalah bagaimana kamu jujur terhadap diri sendiri, bukan menutupi perasaan dengan senyum palsu.

Self-love yang sehat bukan berarti kamu harus suka dengan semua hal tentang dirimu setiap saat. Menerima diri itu proses yang panjang, dan kamu boleh merasa tidak suka terhadap beberapa bagian dari dirimu—itu wajar. Tapi jangan biarkan rasa itu berubah jadi benci yang merusak. Yuk, pelan-pelan belajar menerima diri tanpa terjebak dalam jebakan “toxic positivity”.

1. Jangan paksa diri untuk selalu positif

ilustrasi merenung (freepik.com/tawatchai07)

Kadang kamu merasa sedih, lelah, atau kecewa, dan itu sah-sah saja. Nggak perlu buru-buru bilang “aku harus tetap bersyukur” kalau kenyataannya kamu butuh ruang untuk merasa gak baik-baik saja. Justru dengan mengakui perasaan yang muncul, kamu jadi lebih jujur dan terhubung dengan dirimu sendiri. Gak semua rasa harus langsung “dibenarkan” dengan kata-kata manis.

Menerima emosi yang datang bukan berarti kamu menyerah, tapi memberi dirimu hak untuk beristirahat sejenak. Perasaan negatif juga bagian dari pengalaman manusia, bukan sesuatu yang harus kamu lawan terus-menerus. Jadi, jangan merasa bersalah kalau kamu gak bisa selalu ceria. Emosi itu bukan musuh, tapi sinyal dari dalam yang butuh kamu dengarkan.

2. Validasi perasaanmu, sekecil apa pun itu

ilustrasi merenung (freepik.com/freepik)

Pernah gak kamu merasa kecewa tapi malah bilang ke diri sendiri, “ah, ini masalah kecil, lebay banget sih aku”? Nah, itu bentuk self-invalidation yang diam-diam bisa menyakiti diri sendiri. Kamu berhak merasa sedih walaupun menurut orang lain itu hal remeh. Ukuran rasa itu nggak bisa disamakan untuk semua orang.

Validasi bukan berarti kamu membiarkan diri larut dalam kesedihan, tapi mengakui bahwa apa yang kamu rasakan itu nyata dan pantas diakui. Setelah kamu mengizinkan perasaan itu ada, barulah kamu bisa berdamai dan pelan-pelan pulih. Jangan bandingkan luka atau prosesmu dengan orang lain. Semua orang punya kapasitas masing-masing dalam menghadapi sesuatu.

3. Bedakan antara menerima dan menyerah

ilustrasi merenung (freepik.com/freepik)

Menerima diri bukan berarti kamu berhenti berkembang atau merasa cukup dengan semua kekurangan. Tapi itu tentang berdamai dengan kenyataan tanpa terus menyalahkan diri. Misalnya, kamu sadar belum terlalu pandai dalam sesuatu, dan itu tidak membuatmu jadi orang yang gagal. Kamu tetap bisa belajar tanpa harus menolak keadaanmu sekarang.

Kalau kamu merasa stuck, itu bukan berarti kamu gagal, bisa jadi kamu sedang butuh waktu untuk istirahat. Gak semua fase harus kamu lawan dengan ambisi. Kadang yang kamu butuhkan justru penerimaan, supaya kamu bisa melangkah lagi tanpa beban. Menerima artinya kamu menyadari bahwa kamu tetap layak dihargai, bahkan dalam proses.

4. Hindari kalimat “yang penting tetap positif” saat kamu sedang terpuruk

ilustrasi merenung (freepik.com/freepik)

Ucapan seperti ini kelihatannya baik, tapi bisa jadi bentuk toxic positivity kalau diucapkan tanpa empati. Saat kamu sedang terpuruk, yang kamu butuhkan bukan nasihat manis, tapi pelukan atau sekadar didengarkan. Kalimat itu bisa membuat kamu merasa bersalah hanya karena sedang tidak bahagia. Padahal merasa sedih itu bagian dari proses penyembuhan.

Cobalah ganti dengan “gak apa-apa kalau kamu belum bisa merasa lebih baik sekarang.” Kalimat seperti itu terasa lebih menenangkan dan tidak memaksa. Ketulusan datang dari penerimaan, bukan dari tuntutan untuk “cepat move on”. Kamu boleh butuh waktu lebih lama, dan itu bukan tanda kelemahan.

5. Rayakan hal-hal kecil dalam hidupmu

ilustrasi self love (freepik.com/prostooleh)

Kamu gak perlu menunggu momen besar untuk merasa cukup dan layak bahagia. Rayakan hal-hal kecil yang berhasil kamu lakukan hari ini, seperti bangun pagi tepat waktu, menyelesaikan tugas yang kamu tunda, atau sekadar bangkit dari tempat tidur setelah hari yang berat. Semua itu layak diapresiasi.

Menghargai pencapaian kecil bisa bantu kamu membangun koneksi yang lebih sehat dengan diri sendiri. Ini bukan tentang pencitraan, tapi bentuk self-love yang realistis. Semakin kamu peka dengan progresmu sendiri, semakin kecil kemungkinan kamu membandingkan dirimu dengan orang lain. Kamu berharga bukan karena pencapaianmu, tapi karena kamu tetap bertahan dan berusaha.

6. Belajar berdamai dengan masa lalu, tanpa menyalahkan diri

ilustrasi self love (freepik.com/freepik)

Semua orang punya kesalahan dan penyesalan, termasuk kamu. Tapi terus-menerus menyalahkan diri atas hal yang sudah lewat nggak akan membuat semuanya lebih baik. Yang bisa kamu lakukan adalah belajar dari itu, bukan terjebak di dalamnya. Berdamai bukan berarti melupakan, tapi menerima bahwa kamu sedang tumbuh.

Saat kamu mulai berdamai, kamu membuka ruang untuk memaafkan diri. Kamu bukan versi dirimu yang dulu, kamu adalah seseorang yang terus belajar. Jangan biarkan masa lalu menghalangi langkahmu hari ini. Kamu berhak untuk berubah dan memulai ulang, kapan pun kamu siap.

Menerima diri itu bukan soal “menerima kekurangan dengan senyum manis” saja. Tapi lebih dalam dari itu, kamu belajar jujur, memberi ruang untuk kecewa, sedih, dan tetap mencintai dirimu meski tak selalu baik-baik saja. Hidupmu nggak harus selalu cerah untuk tetap berarti.

Jadi, pelan-pelan saja. Belajar menerima diri itu proses, bukan tujuan instan. Kamu nggak harus jadi versi “selalu positif” untuk bisa berharga. Yang penting kamu tetap berusaha jadi teman baik untuk dirimu sendiri, dalam kondisi apa pun.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team