Liviany Claudia, founder Quarter Life Panic (dok. Liviany Claudia)
Keresahannya ini membuat Livi akhirnya menelurkan 'Quarter Life Panic'. Platform yang tumbuh di Instagram ini menjadi wadah anak muda untuk saling berbagi keresahan hidup dan belajar dari permasalahan satu sama lain.
Semula Livi menjadikan Quarter Life Panic (QLP) sebagai diary refleksi untuk menuangkan segala macam pemikirannya yang cukup ruwet dan belum ada jawabannya. Ia juga sempat merasa sendirian mengalami keresahan seperti ini. Namun, pemikirannya salah ketika ia mendapati bahwa banyak teman-teman lain juga merasakan hal yang sama.
"Kegalauan atau kekhawatiran mungkin buat aku nightmare, tapi bisa jadi berkat buat orang lain. Akhirnya aku membuat QLP. Konsepnya di awal membuat itu sebagai tempat sambat," imbuhnya.
Menurutnya, QLP juga menjadi tempat untuk bisa memvalidasi perasaan, itu juga salah satu cara menghadapi fase krisis ini. Selama ini ia terlalu banyak menemukan akun-akun yang lebih membahas tentang hal-hal yang positif saja. Padahal, idealnya seseorang yang mengalami Quarter Life Crisis (QLC) didominasi oleh perasaan negatif daripada positif.
"Yang aku sekarang percayai itu semua perasaan kita valid. Mau kita marah, kecewa, sedih, dan lain sebagainya itu valid karena kita punya perasaan. Jangan sampai didegradasi kayak 'oh gak boleh kayak gini gitu'. Ya memang kadang ada hal-hal yang kita merasa ada kondisi yang gak ideal terus kita marah. Ya gak apa-apa, tapi abis itu what's next? Buat aku kadang orang skip ini," resahnya.
Berawal dari mengelola QLP sendirian, kini Livi bersama 5 orang anggota lainnya bersama-sama bersinergi membangun QLP. Nama Quarter Life Panic pun terinspirasi dari kesehariannya sebagai pekerja kantoran saat itu.
"Panic is not crisis, bukan sinonimnya. Panic lebih ke respons kalau kita mengalami QLC. Itu yang kurasakan juga waktu mengalami QLC kayak panic attack. Dulu ketika kerja kantoran, hampir setiap hari aku bangun dengan overwhelmed panic attack kayak gak siap gitu menjalani hari," katanya.