ilustrasi keluarga muslim (pexels.com/RDNE Stock project)
Nabi Ibrahim diuji untuk mengorbankan putranya. Tapi, berapa banyak dari kita yang menyadari bahwa setiap orangtua, setiap hari, sedang mengorbankan dirinya sendiri untuk anak-anaknya?
Lihatlah wajah ibu kita yang semakin menua. Tangan yang dulu halus, kini keriput karena mencuci baju kita saat kecil. Lutut ayah yang dulu kuat kini mulai gemetar, karena menahan beratnya beban hidup demi pendidikan dan masa depan kita.
Kadang kita lupa, bahwa saat kita tertidur nyenyak, ayah masih bekerja lembur. Bahwa saat kita marah karena tak dibelikan sesuatu, ibu menahan lapar hanya demi bisa membelikan kebutuhan sekolah kita.
Betapa besar cinta orangtua dan betapa sering kita abai. Berapa banyak dari kita yang belum sempat mengatakan terima kasih? Berapa banyak dari kita yang belum meminta maaf atas tutur kata yang pernah melukai?
Hari raya kurban ini, bukan hanya tentang menyembelih hewan. Tapi, juga tentang menyembelih ego kita dan menghidupkan kembali rasa bakti kepada orangtua.
Kalau Nabi Ibrahim bersedia mengorbankan anaknya demi Allah, apakah kita rela mengorbankan sedikit waktu untuk menelepon ibu di kampung? Apakah kita rela mengorbankan gengsi untuk meminta maaf kepada ayah yang selama ini kita abaikan?
Mungkin sebagian dari kita telah kehilangan orangtua. Hari ini adalah hari yang berat karena tidak ada lagi tangan yang mengusap kepala kita saat pulang salat, tidak ada lagi suara yang menyuruh kita makan, tidak ada lagi doa-doa yang lirih dipanjatkan dari balik sajadah seorang ibu.
Jika mereka telah tiada, maka jangan biarkan pengorbanan mereka sia-sia.
Doakan mereka, bangunlah dini hari dan kirimkan Al-Fatihah. Perbaiki akhlak dan jalani hidup ini dengan jujur dan rendah hati sebab itu yang mereka harapkan dari kita.