Di Balik 'Guyonan' dalam Dakwah, antara Intermezzo atau Etika?

- Dakwah menggunakan humor untuk menarik perhatian dan menyampaikan pesan dengan cara yang ringan dan mengena.
- Penggunaan humor dalam dakwah harus bijaksana dan tidak merendahkan orang lain, sesuai dengan nilai-nilai agama.
- Seorang penceramah perlu memperhatikan pemilihan kata, audiens, martabat orang lain, dan konteks dalam menggunakan humor dalam dakwah.
Dalam dunia dakwah, humor atau guyonan sering digunakan oleh para ulama atau tokoh agama untuk menarik perhatian audiens, mencairkan suasana, atau menyampaikan pesan dengan cara yang lebih ringan dan mengena. Namun, penggunaan humor dalam dakwah juga tidak lepas dari kontroversi, seperti yang terjadi baru-baru ini terkait pernyataan Miftah Maulana yang mengundang kritik setelah video interaksinya dengan pedagang es teh menjadi viral.
Miftah Maulana, seorang ulama yang juga sekaligus Utusan Khusus Presiden Prabowo Bidang Kerukunan Beragama dan Pembinaan Sarana Keagamaan yang dikenal karena gaya dakwahnya yang santai dan menghibur, mendapat kecaman publik karena mengucapkan kata-kata yang dianggap menghina pedagang es teh dalam acara Magelang Bersholawat. Ucapan tersebut memicu reaksi keras dari warganet yang merasa bahwa humor tersebut tidak pantas dan dapat merendahkan martabat orang lain, khususnya mereka yang bekerja keras untuk mencari nafkah.
Gurauannya dianggap melewati batas oleh banyak warganet sehingga memunculkan perdebatan seputar humor dalam dakwah dan batasan etika komunikasi seorang ulama. Lantas, bagaimana seharusnya penggunaan humor yang tepat dalam syiar atau dakwah? Apakah humor bisa dilihat sebagai intermezzo yang menghibur atau malah bertentangan dengan marwah seorang penceramah yang bertujuan menebarkan dakwah untuk memberi pencerahan kepada jamaah?
1. Humor dalam pesan dakwah sebagai alat untuk menarik perhatian jamaah

Humor telah lama menjadi bagian dari tradisi dakwah Islam. Rasulullah SAW sendiri dikenal memiliki humor yang halus dan tidak pernah menyakiti perasaan orang lain. Salah satu contoh humor yang disampaikan Rasulullah adalah ketika beliau bercanda dengan para sahabat, namun, selalu dalam batasan yang tidak merendahkan mereka.
Dalam konteks dakwah modern, humor sering kali digunakan oleh ulama atau penceramah untuk membuat suasana lebih hidup agar jamaah atau audiens tidak merasa bosan atau tertekan dengan ceramah yang panjang dan serius. Humor dapat membantu menyampaikan pesan dengan cara yang lebih ringan, menyentuh hati, dan mudah diterima. Namun, penggunaan humor yang tidak tepat atau tidak sensitif dapat menimbulkan kesalahpahaman dan merusak citra seorang penceramah, bahkan dapat menyebabkan dampak negatif bagi pesan yang hendak disampaikan. Itulah mengapa penting bagi seorang tokoh agama untuk selalu berhati-hati dalam memilih kata-kata dan cara bercanda.
Salah satu prinsip bagi seorang dai, penceramah, atau pengajar dalam berdakwah dengan menyisipkan humor adalah tidak menjadikan simbol-simbol Islam sebagai bahan lelucon. Hal ini telah diingatkan oleh Allah dalam Surat At-Taubah ayat 65-66:
وَلَئِن سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ ۚ قُلْ أَبِٱللَّهِ وَءَايَٰتِهِۦ وَرَسُولِهِۦ كُنتُمْ تَسْتَهْزِءُونَ (65)
لَا تَعْتَذِرُوا۟ قَدْ كَفَرْتُم بَعْدَ إِيمَٰنِكُمْ ۚ إِن نَّعْفُ عَن طَآئِفَةٍ مِّنكُمْ نُعَذِّبْ طَآئِفَةًۢ بِأَنَّهُمْ كَانُوا۟ مُجْرِمِينَ (66)
Artinya: (65) Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan menjawab, "Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja". Katakanlah: "Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?". (66) Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman. Jika Kami memaafkan segolongan kamu (lantaran mereka taubat), niscaya Kami akan mengazab golongan (yang lain) disebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa.
2. Batasan etika dalam menggunakan humor ketika syiar

Etika dalam berdakwah tidak hanya terbatas pada cara penyampaian pesan yang benar, tetapi juga mencakup bagaimana menjaga kehormatan dan martabat setiap individu yang terlibat. Menggunakan humor untuk "mengerjai" atau menghina seseorang, meski mungkin dimaksudkan sebagai candaan, bisa menimbulkan dampak negatif, terutama jika yang menjadi objek candaan adalah orang dengan relasi kuasa lebih rendah.
Dalam kasus Miftah Maulana, meski ia berdalih bahwa guyonannya bagian dari intermezzo dalam dakwah, banyak warganet yang merasa bahwa ucapan tersebut terlalu kasar dan tidak pantas, terutama karena ditujukan kepada seorang pedagang kecil yang sedang berusaha mencari nafkah. Kritik ini mengingatkan kita akan pentingnya menjaga batasan dalam berdakwah dan menjaga adab berbicara.
Padahal, sebagai seorang ulama, seorang pendakwah memiliki tanggung jawab besar dalam menjaga tutur kata dan tindakan. Dalam Islam, menjaga kehormatan orang lain adalah bagian dari akhlak mulia yang diajarkan Rasulullah. Firman Allah dalam Surat Al-Hujurat ayat 11 melarang umat Muslim untuk saling merendahkan atau menghina. Berikut adalah petikan ayatnya:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِّنْ قَوْمٍ عَسٰٓى اَنْ يَّكُوْنُوْا خَيْرًا مِّنْهُمْ وَلَا نِسَاۤءٌ مِّنْ نِّسَاۤءٍ عَسٰٓى اَنْ يَّكُنَّ خَيْرًا مِّنْهُنَّۚ وَلَا تَلْمِزُوْٓا اَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوْا بِالْاَلْقَابِۗ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوْقُ بَعْدَ الْاِيْمَانِۚ وَمَنْ لَّمْ يَتُبْ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الظّٰلِمُوْنَ
Artinya: Wahai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokkan itu) lebih baik daripada mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula perempuan-perempuan (mengolok-olok) perempuan lain (karena) boleh jadi perempuan (yang diolok-olok itu) lebih baik daripada perempuan (yang mengolok-olok). Janganlah kamu saling mencela dan saling memanggil dengan julukan yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) fasik setelah beriman. Siapa yang tidak bertobat, mereka itulah orang-orang zalim.
3. Humor yang membangun vs Humor yang merendahkan

Ada perbedaan yang jelas antara humor yang membangun dan humor yang merendahkan. Humor yang membangun bertujuan untuk menguatkan, memberikan semangat, atau membawa kedamaian. Sebaliknya, humor yang merendahkan justru berpotensi menurunkan martabat orang lain, menciptakan jarak sosial, dan merusak hubungan antar individu. Seorang penceramah atau ulama yang bijaksana akan selalu berusaha memilih humor yang mendidik dan menginspirasi, bukan yang justru menyakiti atau merendahkan orang lain. Humor yang digunakan dalam dakwah harus tetap selaras dengan nilai-nilai agama yang mengajarkan umat untuk saling menghormati, menjaga akhlak, dan menjunjung tinggi martabat setiap orang.
4. Mengapa sensitivitas itu penting dalam dakwah?

Dakwah adalah sarana untuk menyebarkan pesan agama dengan penuh kasih sayang dan pengertian. Oleh karena itu, sensitivitas terhadap perasaan orang lain sangat penting. Tiap individu memiliki latar belakang, status sosial, dan kondisi emosional yang berbeda. Apa yang dianggap lucu bagi satu orang, bisa jadi sangat menyakitkan bagi orang lain.
Dalam hal ini, seorang penceramah yang menggunakan humor dalam dakwah perlu memperhatikan konteks dan audiens yang ada. Meski humor bisa menjadi alat yang ampuh untuk menarik perhatian, tetapi jika tidak digunakan dengan bijaksana, humor tersebut justru bisa berbalik merugikan. Bukan hanya bagi individu yang dihina, tetapi juga bagi citra penceramah itu sendiri.
Kontroversi ini memberikan pelajaran berharga bahwa konteks dan cara penyampaian pesan sangat penting, terutama di era digital. Dalam kasus Miftah Maulana, klarifikasi bahwa guyonan tersebut adalah bagian dari penyampaian syiar tetap tidak meredakan kritik publik. Ini menunjukkan bahwa masyarakat memiliki ekspektasi tinggi terhadap seorang ulama, terutama dalam menjaga sensitivitas atas konteks.
5. Cara membangun humor yang tepat dalam dakwah

Untuk menciptakan humor yang tepat dalam dakwah, seorang penceramah perlu memperhatikan beberapa hal. Berikut di antaranya:
- Pemilihan kata yang bijaksana: Kata-kata yang digunakan dalam humor harus tidak mengandung unsur penghinaan atau merendahkan orang lain.
- Pahami audiens: Mengetahui siapa yang akan menjadi pendengar dakwah akan membantu penceramah menentukan jenis humor yang tepat.
- Menghormati martabat orang lain: Humor yang baik adalah humor yang tidak menyinggung perasaan orang lain, terutama mereka yang berada dalam posisi yang lebih lemah atau terpinggirkan.
- Kesesuaian konteks: Humor yang digunakan harus relevan dengan tema dakwah dan tidak mengurangi keseriusan pesan yang ingin disampaikan.
Penggunaan humor dalam dakwah bagaikan pedang bermata dua. Satu sisi humor bisa menghibur dan menarik perhatian bagi jamaah, tetapi juga bisa merusak jika tidak hati-hati dalam penggunaannya. Bercanda memang hal yang sah dalam Islam. Namun, menghormati perasaan orang lain dan menjaga etika komunikasi harus selalu menjadi prioritas. Bagi tokoh agama atau penceramah, penting untuk memahami bahwa pesan dakwah yang baik tidak hanya terletak pada isinya, tetapi juga pada cara penyampaiannya yang penuh kasih dan empati. Semoga memberi inspirasi dan perspektif yang menyejukkan.