Fast Fashion, Tren Merusak Bumi demi Penampilan Trendi

Generasi muda peduli terhadap lingkungan kok

Mungkin tak pernah terbayangkan sebelumnya bagaimana pakaian yang kita kenakan bisa menyumbang kerusakan terhadap bumi. Busana yang kita pakai ternyata bisa menyebabkan krisis air bersih, mencemari lingkungan, bahkan berkontribusi pada krisis iklim. Bagaimana mungkin sebuah baju memberi dampak begitu signifikan pada lingkungan?

Fenomena kerusakan alam yang terjadi saat ini, salah satunya disebabkan oleh industri tekstil dan mode yang bergerak sangat cepat untuk memenuhi kebutuhan konsumen. Gaya hidup trendi dan sikap konsumtif yang kurang bertanggung jawab, ternyata punya andil dalam kerusakan terhadap planet ini. 

Tren mode mendorong generasi muda untuk mendapatkan item busana dengan harga murah, namun proses yang cepat. Untuk menghasilkan barang seperti itu, industri fast fashion hadir dengan produksi massal yang mengabaikan dampak lingkungan. Berikut penjelasan lebih mendalam terkait fenomena tren fashion yang tanpa disadari, menyumbang kerusakan alam juga manusia.

1. Di balik industri fast fashion: proses produksi, distribusi, dan konsumsi yang sebabkan krisis iklim hingga cuaca ekstrim

Fast Fashion, Tren Merusak Bumi demi Penampilan TrendiGunung sampah pakaian bekas di Gurun Atacama, Chili. (dok. MIC)

Fashion telah menjadi bagian tak terpisahkan dari generasi muda saat ini. Padu padan outfit menjadi ekspresi bagi individu untuk merepresentasikan kreativitas dan kegemaran terhadap mode. Namun, tuntutan untuk terus memenuhi kebutuhan busana tanpa disadari justru menimbulkan kerusakan pada bumi. 

"Fast fashion itu ada karena demand-nya besar, pasarnya besar. Berdampak ke lingkungan? Iya, karena tekstil jadi penyumbang (sampah) kedua setelah plastik. Kalau misal semua orang sadar bahwa fast fashion itu merusak lingkungan, itu akan mengubah industri fast fashion," ujar Ence Adinda, pendiri iLitterles Indonesia, NGO yang bergerak di bidang lingkungan pada IDN Times, Senin (18/12/2023) silam.

Bisnis fast fashion memanfaatkan momentum bagi individu yang ingin memenuhi lemari dengan busana model terkini. Kemudahan untuk mendapatkan busana yang diinginkan akan membuat barang-barang yang tak lagi disukai, dengan mudahnya, berakhir di tempat pembuangan sampah. Menumpuk dengan jutaan ton limbah lainnya, yang berimbas pada pencemaran udara dan tanah.

Jika semula fashion industry hanya menyajikan mode dalam empat musim (fall, winter, spring, and summer), merek-merek fast fashion memproduksi 52 micro-seasons dalam setahun. Setidaknya ada satu koleksi baru dalam seminggu, ujar Elizabeth Cline, seorang jurnalis dalam The Good Trade. Kecepatan ini yang mendorong konsumen untuk terus memperbarui gaya mereka. 

Sementara itu, untuk memastikan stok barang di seluruh toko aman, para produsen fast fashion menciptakan kuantitas yang besar supaya persediaan tetap terjaga. Tak hanya itu, industri ini juga menjaga stok barang di outlet  dengan mengirimkan pakaian berjumlah besar setiap dua minggu sekali ke seluruh cabang toko. Proses distribusi ini tentu mendorong emisi karbon dalam angka yang tak kecil. 

Industri fast fashion menciptakan pakaian yang cepat, murah, meski konsekuensinya harus menggunakan bahan yang berkualitas rendah, sebagaimana dipaparkan oleh The New York Times dalam esai yang ditulis Evelyn Wan. Praktik ini justru semakin merusak bumi daripada sebelumnya karena proses produksi, distribusi, hingga konsumsinya tak memperhatikan dampak lingkungan. 

Sebagaimana dijelaskan oleh Tiza Mafira, Executive Director dari Gerakan Indonesia Diet Kantong Plastik dalam acara Gerakan Guna Ulang Jakarta, Kamis (23/2/23) silam, "Krisis iklim, cuaca ekstrem, itu kan disebabkan oleh banyaknya emisi, makanya kita gencar melakukan pengurangan emisi. Karena emisi itu banyak terjadi dari produksi, dari ekstraksi sumber daya alam, dari produksi sumber daya alam menjadi plastik, minyak bumi menjadi plastik, itu kan emisinya banyak sekali."  

2. Tampil trendi jadi mimpi buruk bagi lingkungan

Fast Fashion, Tren Merusak Bumi demi Penampilan TrendiTumpukan sampah pakaian bekas di Kenya yang tak terjual/terpakai. (dok. Clean Up Kenya)

Setiap potongan busana yang dikenakan individu ternyata melalui proses yang mengakibatkan konsekuensi serius terhadap lingkungan. Proses produksi, distribusi, hingga konsumsi melibatkan peningkatan emisi karbon, penggunaan energi tak terbarukan, pemakaian air yang boros, serta timbunan limbah yang tak didaur ulang.

Pakaian hasil industri fast mode memanfaatkan sumber daya tak terbarukan dalam jumlah besar, dikutip dari laporan Ellen MacArthur Foundation, berjudul 'A new textiles economy: Redesigning fashion’s future (2017)'. Sayangnya, proses ini justru menghasilkan kualitas busana yang rendah, imbasnya hanya digunakan dalam kurun waktu singkat untuk kemudian berujung di tempat pembuangan sampah atau pembakaran. 

Dengan masa pakai yang rendah dan cepatnya tren berubah, konsumen tak akan segan membuang pakaian dan segera menggantinya dengan item baru. Siklus ini tak dibarengi dengan konsep daur ulang tekstil, sebagaimana data yang disebutkan Ellen MacArthur Foundation, kurang dari 1 persen tekstil didaur ulang menjadi pakaian baru. Imbasnya, penumpukan sampah dan limbah yang mencemari lingkungan. 

Proses produksi pakaian juga bergantung pada energi tak terbarukan, yakni sumber daya yang membutuhkan waktu jutaan tahun untuk membuatnya. Dalam laporan Ellen MacArthur Foundation disebutkan, setidaknya memerlukan 98 juta ton non renewable resources pertahun untuk memproduksi serat sintetis, pupuk, hingga pewarnaan. 

Penggunaan air dalam proses menciptakan busana juga besar, yakni 93 miliar meter kubik air setiap tahunnya. Pemborosan ini dapat menyumbang fenomena kekurangan air di beberapa wilayah di seluruh dunia. 

3. Biaya yang harus ditanggung untuk sebuah busana

Fast Fashion, Tren Merusak Bumi demi Penampilan Trendiilustrasi sampah pakaian (unsplash.com/Francois Le Nguyen)

Jika bicara soal fashion, tak terlepas dengan tren warna yang terus berubah dan ini disesuaikan dengan popularitas. Misalnya pada 2023, kita banyak menemukan busana dengan nuansa sage green. Di balik keindahan tema tersebut, proses pewarnaan busana ternyata menanggung cost yang besar untuk lingkungan.

Pewarnaan pakaian tak jarang menggunakan bahan kimia beracun sehingga pencelupan tekstil menjadi pencemaran air bersih, terbesar kedua setelah pertanian. Keterangan tersebut dikutip dari laman Independent, yang turut menambahkan bahwa bahan kimia beracun, khususnya yang dibuang ke saluran air, tak hanya merusak lingkungan namun juga kesehatan. 

Selain proses pewarnaan, bahan pakaian juga menjadi penyumbang parahnya krisis iklim. Menurut situs resmi Greenpeace, bahan poliester terbuat dari benang hasil olahan plastik, sementara plastik sendiri terbuat dari minyak dan gas. 

Bahan sintetis seperti poliester penggunaannya sangat masif, diperkirakan lebih dari separuh pakaian yang diproduksi menggunakan material ini. Padahal, material ini sukar terurai dan didaur ulang.

Sementara apabila dibiarkan di tempat pembuangan sampah, bahan ini dapat mencemari udara, tanah, hingga air karena kandungan serat mikro dan bahan kimia yang berbahaya. Tentu saja ini menjadi masalah sebab sampah dari material busana berbahan dasar plastik akan berakhir di laut, yang memungkinkan masuk ke tubuh manusia saat mengonsumsi air ataupun makanan. 

Bahkan, menurut laporan Ellen MacArthur Foundation, industri tekstil menjadi kontributor utama dalam masalah sampah plastik yang masuk ke laut. Dalam beberapa tahun terakhir, diperkirakan setengah juta ton serat mikro plastik lepas ke laut. Ternyata, untuk terlihat trendi dan stylish, kita mengorbankan kesehatan tubuh serta ekosistem laut. Haruskah demikian?

Baca Juga: Darina Maulana, Peneliti yang Kini Tekuni Bisnis dan Isu Lingkungan

4. Penerapan circular fashion dan sustainable fashion jadi solusi bagi permasalahan mode

Fast Fashion, Tren Merusak Bumi demi Penampilan Trendiilustrasi sampah plastik penyebab laut terkontaminasi mikroplastik (unsplash.com/Anastasia Nelen)

Industri tekstil memiliki potensi yang besar untuk menerapkan ekonomi sirkular. Pemanfaatan circular fashion akan mempertahankan nilai produk, bahan, dan sumber daya alam dengan tujuan meminimalisir kerusakan lingkungan sehingga mampu mengurangi bahan sisa yang tak digunakan kembali dan terbuang. 

Potensi circular fashion, sebagaimana tercantum dalam modul Penerapan Ekonomi Sirkular di Indonesia tahun 2022 oleh Kementerian PPN/Bappenas, berfokus pada 9R: Refuse, Rethink, Reduce, Reuse, Repair, Refurbish, Remanufacture, Repurpose, Recycle, dan Recover. Penerapannya bisa melalui pengurangan limbah pada tahap produksi, menggunakan bahan alami, meminimalisir penggunaan listrik serta air, dan berbagai langkah konkret lainnya. 

Penerapan ekonomi sirkular dapat mengurangi emisi karbon, gas rumah kaca, serta konsumsi air bersih. Lebih jauh, dampak positif yang bisa dirasakan adalah berkurangnya pencemaran dan limbah. 

Greenpeace dalam publikasinya 'Tackling Hazardous Chemicals, a 'Must Have' for the Challenge of Shifting to a Slow Circular Economy' juga menekankan penerapan slow circular fashion. Memperlambat siklus produk dapat dilakukan dengan perubahan mindset, dengan tidak mendorong konsumsi berlebih, menerapkan praktik inklusif dan berkelanjutan, mengurangi kecepatan produksi dan pengiriman, serta tindakan nyata lainnya. 

Memiliki tujuan yang selaras dengan circular fashion, sustainable fashion atau fesyen berkelanjutan merupakan praktik yang mengutamakan nilai dan dampak baik terhadap lingkungan. 

Bila kedua aktivitas tersebut berjalan selaras, limbah dan sampah akan berkurang. Konsumen juga memiliki produk dengan masa pakai yang lebih lama sehingga limbah konsumen menjadi lebih minim. 

Siklus ekonomi hijau bukan tidak mungkin diterapkan di Indonesia. Misalnya, jenama fashion Sejauh Mata Memandang telah mempraktikan langkah circular fashion serta melakukan transparansi terhadap proses produksi busananya. 

Melalui rilis Laporan Dampak 2023 oleh Sejauh Mata Memandang, label busana ini telah melakukan penghematan air, energi, dan pengurangan emisi. Menerapkan aktivitas pewarnaan nabati, melakukan proses upcycle product, serta merilis laporan akan tanggung jawab terhadap alam dan lingkungan. 

"Melalui Laporan Dampak ini, kami ingin berbagi cerita secara lebih transparan melalui konsistensi kami selama 9 tahun berkarya dan berusaha memberikan dampak yang lebih bertanggung jawab terhadap alam dan manusia,” kata Chitra Subyakto, Pendiri dan Direktur Kreatif Sejauh Mata Memandang (SMM) dalam peluncuran koleksi 'Rimba' dan pemaparan Laporan Dampak 2023 pada Kamis (10/8/2023) lalu.

Aktivitas ini dapat diikuti oleh lebih banyak produk fashion, terutama di Indonesia agar bisa memberi dampak alam yang lebih positif. Tak hanya Sejauh Mata Memandang, berbagai merek fashion lokal juga telah menerapkan fesyen berkelanjutan seperti merek Sukkhacitta, KaIND, Pijak Bumi, dan berbagai label lainnya. 

5. Gen Z rela bayar lebih untuk produk ramah lingkungan, kesedaran juga telah terbentuk berkat edukasi aktif

Fast Fashion, Tren Merusak Bumi demi Penampilan Trendiilustrasi sampah sungai, area kumuh. (pexels.com/Yogendra Singh)

Generasi muda, utamanya Gen Z, bukanlah pihak yang tak peduli terhadap isu lingkungan. Menurut Indonesia Gen Z Report 2024 oleh IDN Media, 88 persen generasi ini menilai bahwa krisis iklim adalah isu yang serius.

Dalam laporan yang sama, 82 responden mengaku rela membayar ekstra untuk produk ramah lingkungan atau sustainability. Hal ini tentu dilatarbelakangi pada kesadaran dan pemahaman akan isu lingkungan yang baik sehingga memengaruhi pola pikir dan perilaku mereka. 

Perubahan perilaku seseorang untuk memiliki gaya hidup yang lebih ramah terhadap alam, memerlukan dorongan dari berbagai elemen, baik secara internal maupun eksternal. Hal ini sebagaimana disampaikan Darina Maulana, Program Lead, Enviu, Zero Waste Living Lab kepada IDN Times, Jumat (10/3/23).

"Kalau behavior change, harus ada tiga fakto,r baru bisa jadi. Pertama itu adalah internal motivation, kedua akses, dan ketiga external motivation," ujarnya.

Darina menekankan kemauan pribadi setiap konsumen menjadi motivasi internal yang penting. Sementara itu, faktor eksternal dapat didorong oleh produsen yang membentuk ekosistem lebih ramah lingkungan, serta regulasi dari pemerintah. 

Mengacu pada keterangan tersebut, edukasi akan isu lingkungan menjadi elemen yang penting untuk menciptakan ekosistem hijau. Anak muda saat ini gencar membagikan informasi mengenai dampak serius dari kerusakan alam, misalnya kampanye Gerakan Guna Ulang oleh GIDKP (Gerakan Indonesia Diet Kantong Plastik) hingga terbentuknya NGO seperti iLitterles Indonesia, dan lain sebagainya. 

Alternatif lain yang dapat dilakukan oleh generasi muda, yakni memperpanjang masa pakai busana dan meminimalisir sikap konsumtif. Tersedia pula opsi untuk menggunakan busana second hand atau mengikuti acara seperti Tukar Baju yang digagas oleh Zero Waste Indonesia.

"Jangan konsumtif kalau ada event sale, kayak double date. Yang kadang kita suka luput, fast fashion itu ada karena kita yang minta (pasarnya ada). Kalau mau mengatasi, harus kita yang slow down, jangan tergiur promo. Thrifting jadi salah satu cara untuk memaksimalkan suatu barang," kata Ence.

Pemaparan mengenai fast fashion di atas diharapkan dapat menjadi pertimbangan untuk generasi muda lebih bijak dalam mengonsumsi barang dengan memikirkan dampak jangka panjang terhadap lingkungan. Harapannya kesadaran mengenai krisis iklim dapat terus tumbuh untuk menjadi kesadaran bersama di kalangan muda.

Baca Juga: Darurat Sampah Plastik, Yuk Lakukan Gerakan Guna Ulang Jakarta!

Topik:

  • Dina Fadillah Salma
  • Febriyanti Revitasari

Berita Terkini Lainnya