Menelaah Pendidikan bersama Sri Wahyaningsih, Pendiri SALAM Yogyakarta

Sekolah tanpa seragam dan guru, sekolah apa ini?

Jakarta, IDN Times - Jika bicara tentang pendidikan, mungkin yang terbayang adalah sekolah yang diisi dengan murid-murid berseragam rapi. Seorang guru akan berdiri di depan kelas, lalu anak-anak mendengarkan sambil menghapal mata pelajaran sesuai jadwal di hari itu. Setiap akhir semester, anak-anak akan merasa terbebani oleh ujian kenaikan kelas dan merasa khawatir dengan nilai jelek di rapor. 

Pendidikan yang berjalan di ruang kelas menitikberatkan pada peningkatan kemampuan akademis yang seragam. Kemampuan setiap anak diukur menggunakan ujian yang berorientasi pada angka. 

Namun di Yogyakarta, tepatnya di daerah Nitiprayan, ada sebuah sekolah yang anak-anaknya tak mengenakan baju seragam, tidak juga duduk diam dan tenang memperhatikan guru di dalam ruang kelas. Justru sekolah ini membebaskan anak-anak untuk menjelajah alam, berdialog dengan pendidik, melakukan aktivitas yang disukai, tanpa mata pelajaran dan ujian membebani. Lalu, sekolah apa ini?

IDN Times berkesempatan untuk bicara mengenai pendidikan bersama pendiri Sanggar Anak Alam (SALAM) Yogyakarta, Sri Wahyaningsih atau akrab disapa Wahya pada Jumat (23/2/2024). Wahya memaparkan pandangannya terkait pendidikan dan konsep sekolah nonformal yang didirikannya dalam wawancara khusus yang tertuang di artikel bertajuk #AkuPerempuan.

Permasalahan serius terkait pendidikan jadi fondasi didirikannya SALAM sebagai sekolah alternatif yang memusatkan perhatian pada kemerdekaan belajar dan sikap sosial anak. Melalui wawancara khusus bersama Wahya, inilah kisah perempuan yang mendedikasikan hidupnya pada pendidikan anak

1. Banyak anak putus sekolah dan kurangnya kepedulian orangtua terhadap pendidikan, menjadi latar belakang berdirinya Sanggar Anak Alam

Menelaah Pendidikan bersama Sri Wahyaningsih, Pendiri SALAM YogyakartaSri Wahyaningsih, Pendiri SALAM Yogyakarta. (instagram.com/salam_jogja)

Pendidikan formal masih memiliki keterbatasan dalam menjangkau seluruh anak di Indonesia. Perbedan latar belakang, kebutuhan, dan kemampuan setiap anak yang unik, sulit berkembang secara maksimal dengan program pendidikan yang seragam. 

Wahya mendirikan SALAM bermula dari keresahannya melihat kondisi masyarakat di Desa Lawen, Banjarnegara, Jawa Tengah. Ketika tinggal di Lawen, sekitar tahun 1988, Wahya melihat kondisi lingkungan yang kontradiktif, di mana wilayah tersebut memiliki sumber daya pertanian yang subur, namun masyarakat di daerah itu justru hidup dalam lingkar kemiskinan. 

Perempuan kelahiran Desember 1961 ini, juga melihat bahwa anak-anak tidak termotivasi untuk sekolah, sementara orangtua bersikap tak acuh akan kondisi tersebut. Keluarga sebagai pihak yang paling dekat dengan anak, justru tak memberi dorongan untuk menempuh pendidikan. Akibatnya, angka anak putus sekolah terbilang cukup banyak.

Kondisi ini menjadi keprihatinan yang mendalam bagi Wahya. Melalui pengamatannya, perempuan meyakini bahwa pendidikan yang didapatkan oleh anak-anak tidak sesuai dengan kehidupan sehari-harinya.

"Karena mereka petani, tapi pendidikan tidak ada yang bersentuhan langsung dengan dunia pertanian gitu. Jadi, seperti mereka itu tercabut dari akarnya gitu. Jadi, sekolah itu harus identik dengan bersih, seragam, sementara kehidupan bertani itu kotor. Nah, sekolah itu justru menjauhkan mereka dari kehidupan yang real gitu, yang nyata," tutur Wahya kepada IDN Times siang itu.

2. Pernikahan dini hingga urbanisasi menjadi masalah sosial yang mendorong Wahya merintis sekolah nonformal di Desa Lawen

Menelaah Pendidikan bersama Sri Wahyaningsih, Pendiri SALAM YogyakartaSri Wahyaningsih, Pendiri SALAM Yogyakarta. (instagram.com/salam_jogja)

Kesadaran rendah akan urgensi pendidikan, bukanlah masalah tunggal yang dilihat Wahya sebagai problem mendasar masyarakat desa Lawen. Rendahnya pemahaman terhadap pendidikan justru memantik berbagai isu sosial lainnya.

Sebut saja pernikahan dini, kemiskinan struktural, bahkan problem kesehatan dan angka perceraian tinggi yang memiliki benang merah terhadap masalah pendidikan. Tak berhenti sampai di situ, melalui pengamatan Wahya di tahun 80-an, modernisasi juga mendorong orang-orang usia produktif untuk melakukan urbanisasi.

Menjadi pekerja di kota besar dengan tujuan mendapatkan uang untuk memenuhi kebutuhan hidup, menjadi tujuan baru yang mendorong orang di usia kerja meninggalkan desanya. Akibatnya, kontribusi terhadap pembangunan desa tertinggal karena sebagain dari mereka lebih memilih untuk menjadi buruh di kota besar.

"Jadi yang di kampung itu, yang tinggal hanya orang tua sama anak-anak gitu. Jadi usia yang produktif itu, mereka jadi buruh-buruh di Jakarta, di Surabaya, di kota-kota besar kayak gitu," Wahya bagikan pandangannya dari pengalaman 30 tahun lalu merintis SALAM.

Padahal, kondisi geografis dan sumber daya alam di desa telah menyediakan kebutuhan pokok bagi penduduknya. Namun, pendidikan yang hanya berorientasi pada ujian, tanpa mempertimbangkan konteks lingkungan sekitar, menjadi kurang relevan.

"Pendidikan di sekolah kan gak relate dengan kehidupan mereka gitu. Nah, kemudian kan sekolahnya, sekolah hafalan gitu ya dan gak bisa diaplikasikan langsung gitu," jawab Wahya menjelaskan masalah pendidikan formal yang diterima anak-anak saat itu. 

Baca Juga: Cerita Inspiratif Galih, Pengajar Muda dan Inisiator Bekal Pendidik

3. Sanggar Anak Alam didirikan pertama kali pada 1988 sebagai pendidikan kontekstual yang berupaya menjawab kebutuhan masyarakat

Menelaah Pendidikan bersama Sri Wahyaningsih, Pendiri SALAM YogyakartaSri Wahyaningsih, Pendiri SALAM Yogyakarta. (instagram.com/salam_jogja)

Menilik sejumlah masalah sosial yang terjadi di depan mata, Wahya akhirnya mendirikan SALAM pertama kali di Banjarnegara dengan 160 anak yang kemudian bergabung. Melalui kelompok remaja tersebut, ia menyadari bahwa anak-anak sebenarnya masih memiliki semangat untuk mendapatkan pengetahuan, menambah wawasan, dan meningkatkan keterampilan.

Hanya saja, pendidikan yang dihadirkan di sekolah formal tak sepenuhnya mampu menjawab tantangan masyarakat sekitar. Melalui pendekatan yang lebih kontekstual, Wahya menjadikan proses pendidikan sebagai media diskusi dua arah. Perkumpulan anak muda yang dirintis oleh Wahya, berupaya untuk membangun sikap kritis dan membangkitkan pemahaman anak terkait permasalahan yang terjadi di sekitarnya.

"Nah, kemudian dari situ, saya mulai memikirkan, kalau mereka tuh belajar dengan mereka mengamati sendiri, mereka bisa tahu masalah apa yang harus mereka tangani dan mereka punya solusi-solusi gitu ya," katanya. Melalui proses tersebut, Wahya resmi mendirikan SALAM di tahun 1988.

Konkretnya, proses belajar SALAM kala itu, mendorong anak-anak berusaha mengidentifikasi masalah yang terjadi di pasar, ladang, atau lokasi yang dekat dengan tempat mereka tinggal. Kemudian, anak-anak akan diajak berdialog terkait permasalahan yang ditemukannya. Diskusi tersebut akan memantik anak untuk memikirkan solusi seperti apa yang sekiranya tepat. 

4. Mendesain kurikulum sendiri agar pendidikan dapat memanusiakan manusia

Menelaah Pendidikan bersama Sri Wahyaningsih, Pendiri SALAM YogyakartaKegiatan di SALAM Yogyakarta. (instagram.com/salam_jogja)

Setelah merintis sanggar anak alam di Banjarnegara, Wahya pindah ke Yogyakarta. Semangat untuk memberikan pendidikan yang memanusiakan manusia bagi anak, tetap dibawanya dan menjadi cikal berdirinya SALAM Yogyakarta.

Tak jauh berbeda dengan permasalahan di Banjarnegara, angka putus sekolah di Yogyakarta kala itu terbilang cukup banyak. Maka, Wahya kembali membangun kelompok belajar yang nantinya berkembang jadi sebuah sekolah nonformal.

"Akhirnya kami mulai merintis mulai dari yang pendampingan remaja. Kemudian, tadinya 2000 itu pendampingan remaja, kemudian tahun 2004 kami mulai merintis kelompok bermain. Nah, akhirnya sampai sekarang ini, keterusan gitu ya, karena warga minta lanjut. Sekarang udah sampai SMA gitu," papar dia.

SALAM jadi ruang belajar yang didesain untuk mendorong anak mengeksplorasi alam, lingkungan sosial, dan kebudayaan di sekitar. Sanggar ini mendesain kurikulum sendiri yang berbeda dengan sekolah formal. SALAM menitikberatkan pada model pembelajaran partisipatif, di mana anak tak hanya berperan pasif dalam kegiatan belajar, namun juga aktif terlibat dalam menyusun, melaksanakan, dan menilai pembelajaran itu sendiri.

"Jadi, ketika kita bicara tentang pangan, tentang lingkungan, tentang kesehatan, dan sosial budaya. Ini hal-hal yang sangat berhubungan erat dengan kehidupan. Itu yang akhirnya sampai sekarang, ketika SALAM itu pindah ke Jogja, dan sekarang udah menjadi sekolah nonformal, itu kami jadikan pilar kami gitu ya. Jadi, fokus kami di empat bidang itu, pangan, kesehatan, lingkungan hidup, dan sosial budaya," tambah Wahya.

Proses belajar di tempat ini berorientasi pada nilai serta pemahaman kehidupan atas dasar kebutuhan kolektif sehingga kurikulumnya didesain untuk bisa mendekatkan anak pada akarnya. Slogan yang dimiliki pun diusung dari pemikiran dasar tersebut, 'Mendengar, saya lupa; Melihat, saya ingat; Melakukan, saya paham; Menemukan sendiri, saya kuasai'.

"Kami tetap dengan kurikulum yang kami desain sendiri, yaitu dengan berpatokan tadi, pangan, kesehatan, lingkungan hidup, dan sosial budaya. Dari situ, kemudian anak juga boleh untuk memilih dengan cara apa mereka belajar, melalui media apa," tutur Wahya sambil menambahkan keempat prinsip itu dipilih karena merupakan masalah yang mendasar bagi kehidupan manusia.

Baca Juga: 8 Inspirasi OOTD Liburan ke Pantai ala Sheila Rizkyana, Super Catchy!

5. Di SALAM, anak-anak tidak pakai seragam, tanpa mata pelajaran, dan tidak ada guru. Bagaimana proses belajar-mengajarnya?

Menelaah Pendidikan bersama Sri Wahyaningsih, Pendiri SALAM YogyakartaKegiatan di SALAM Yogyakarta. (instagram.com/salam_jogja)

Dalam sekolah nonformal SALAM, pendidik tak disebut sebagai 'guru', namun menggunakan istilah 'fasilitator'. Perannya adalah teman diskusi, memantik rasa ingin tahu anak, dan pengamat terhadap perkembangan anak.

Fasilitator tak hanya menyampaikan narasi satu arah selayaknya ceramah, tidak juga menyampaikan ilmu pengetahuan yang seragam. Namun, pendidik memiliki orientasi, wawasan untuk mendorong anak menemukan pengetahuannya.

"Yang jelas, tujuan kami, setiap anak menemukan jati dirinya. Itu yang jadi tujuan utama. Nah, untuk mencapai itu, otomatis ya dia harus berpikir kritis, harus ulet, harus sabar, harus punya rasa empati," papar Wahya.

Dialog di SALAM memegang peranan penting. Fasilitator menjadi pihak yang mengamati kebutuhan anak dan mendorong potensi anak untuk lebih berkembang. Ia juga berkontribusi untuk memberikan refleksi terhadap perkembangan diri anak.

"Namanya fasilitator ya, berarti kan memfasilitasi gitu ya. Jadi anak-anak itu sendiri yang akan menjadi guru bagi dirinya sendiri dan juga sumber belajar bagi teman-temannya. Ya, ini aja kuncinya, bagaimana supaya kita tidak mengajar, tapi bagaimana kita membantu anak-anak ini menemukan pengetahuannya sendiri," sebut istri dari Toto Rahardjo yang juga pendiri SALAM Yogyakarta.

Setiap semester, anak-anak tetap akan mendapatkan rapor sebagai laporan perkembangan belajar. Berbeda dengan sekolah formal, rapor di SALAM berisikan perkembangan dalam setiap periode sehingga lebih menyoroti refleksi diri anak.

"Rapor kami naratif, bukan angka-angka kayak gitu. (Isinya) apa yang dia lakukan, upayanya seperti apa, terus dari apa yang dia lakukan ini, dia mendapatkan apa. Nah, kita patokannya pengetahuan dia, dia mengetahui tentang apa, kemudian keterampilannya, dia bisa apa, dan bagaimana mereka bersikap. Ya, paling tiga hal itu gitu ya, pengetahuan, keterampilan, dan sikap dilihat dari apa yang mereka lakukan," ujar Wahya.

6. Menitikberatkan karakter sebagai bekal dalam kebijaksanaan berkehidupan. Sikap yang positif harus dibangun sejak dini

Menelaah Pendidikan bersama Sri Wahyaningsih, Pendiri SALAM YogyakartaSALAM Yogyakarta. (instagram.com/salam_jogja)

Permasalahan yang dihadapi individu banyak berakar dari keputusan yang kurang bijaksana, padahal pendidikan seyogyanya menekankan pada pembentukan karakter anak, tak hanya berorientasi mengembangkan intelektualitas. Sementara, SALAM melalui proses pembelajarannya, menekankan pentingnya penanaman karakter pada anak sejak dini.

Wahya berpendapat, sekolah seharusnya dapat menguatkan karakter baik pada anak. "Sekarang dengan segala sesuatu itu banyak kemudahan-kemudahan, Nah, kan yang harus dikuatkan sikap dan bagaimana sih kita punya keputusan. Sikap itu selalu kita punya rasa empati kepada sesama, punya rasa empati kepada alam semesta. Nah, itu harus ditumbuhkan gitu," ucapnya.

Namun, sikap dan karakter anak tak muncul dan berkembang secara serta merta, butuh dukungan dari lingkungan, termasuk sekolah. Sikap yang positif inilah yang ditumbuhkan melalui kebiasaan baik sejak dini, sekaligus menjadi modal untuk mengambil keputusan besar.

"Dan sikap itu kan mulai dari kebiasaan-kebiasaan baik yang harus dilakukan, itu harus sejak dini gitu. Kenapa Indonesia ini masalah sampah itu gak pernah selesai, ya? Karena itu dianggap remeh-temeh, dianggap itu bukan hal yang penting. Padahal kan, ini mulai sejak kita lahir, mestinya itu sudah harus dibiasakan gitu ya," Wahya memberi contoh.

7. Pendidikan tak hanya sekedar sekolah, orangtua memiliki peran yang tak kalah penting

Menelaah Pendidikan bersama Sri Wahyaningsih, Pendiri SALAM YogyakartaSALAM Yogyakarta. (instagram.com/salam_jogja)

Tercapainya kesuksesan pendidikan bukan hanya tanggung jawab salah satu pihak. Keterlibatan orangtua sangat berpengaruh terhadap keberhasilan pendidikan bagi anak. Oleh karenanya, SALAM mendorong orangtua untuk dapat ikut serta mencapai potensi anak semaksimal mungkin.

"Pendidikan ini menjadi tanggung jawab bersama dan yang utama adalah orang tua. Nah, ya kami tuh lebih ke fasilitator, kayak gitu. Orangtua mau gak mengawal anak-anaknya? Dan setiap keluarga tuh pasti punya visi-misi kan, nah orangtua punya orientasi apa terhadap anak?" jelas Wahya. 

Pendidikan memang identik dengan sekolah, namun pendidikan tak hanya sekadar kegiatan belajar-mengajar di ruang kelas. Menurut Wahya, mengartikan 'pendidikan adalah sekolah' merupakan pemahaman yang keliru, mengerdilkan arti pendidikan itu sendiri.

Pendidikan tidak hanya sekadar sekolah. Proses belajar dapat terjadi di mana saja dengan beraneka ragam media. Sekolah hanyalah salah satu fasilitator dari proses terjadinya pertukaran pengetahuan tersebut. 

Hal tersebut sebagaimana penjelasan Wahya, "Pendidikan itu ya mulai dari keluarga, di masyarakat, dan juga di sekolah. Dan masing-masing punya peran gitu loh. Nah, di sekolah itu proses yang seperti apa? Ini kan bagian dari pendidikan saja gitu. Nah, jadi orangtua tetap punya peran yang lebih besar karena waktunya juga lebih lama dan di rumah. Pasti keluarga itu pasti punya visi-misi."

Tercapainya pendidikan anak merupakan bentuk kerjasama dan komitmen pihak sekolah bersama orangtua. Sejak awal, SALAM mengajak orangtua untuk berdiskusi terkait kebutuhan dan orientasi yang hendak dicapai. Sebab, tanpa dukungan dari orangtua, proses belajar tak akan berjalan optimal, terutama di rumah. 

8. Wahya: pendidikan itu ya membangun manusia seutuhnya, memanusiakan manusia

Menelaah Pendidikan bersama Sri Wahyaningsih, Pendiri SALAM YogyakartaSALAM Yogyakarta. (instagram.com/salam_jogja)

Pendidikan di sekolah kerap diasumsikan sebagai satu-satunya cara bagi anak untuk mendapatkan pengetahuan dan meningkatkan kemampuan dirinya. Padahal, semua pihak, baik sekolah, orangtua, dan masyarakat memiliki peran penting dalam tercapainya perkembangan kognitif dan intelektual anak.

"Pendidikan itu ya membangun manusia seutuhnya, memanusiakan manusia," pungkas Wahya. 

Pendidikan juga tak bisa menjadi proses satu arah, mengukur kemampuan anak hanya berdasarkan ujian yang seragam, terutama di Indonesia dengan keberagaman latar budaya. Pendidikan harus menekankan nilai humanis dan kultural agar mendapatkan jati diri anak sepenuhnya.

Wahya menutup interview siang itu dengan menyampaikan harapannya untuk anak-anak Indonesia, "Harapan saya setiap anak itu mampu menemukan jati dirinya, menemukan potensinya sehingga mereka akan menjadi dirinya sendiri dan akan menjadi pembaharu-pembaharu di dalam kehidupan ini."

Baca Juga: Bicara Pendidikan dengan Diah Widuretno, Pendiri Sekolah Pagesangan 

Topik:

  • Dina Fadillah Salma
  • Febriyanti Revitasari

Berita Terkini Lainnya