Kisah Waitatiri Peduli Pendidikan Anak hingga Bertandang ke Harvard

Waitatiri ingin membantu pendidikan anak di Indonesia

Pendidikan yang humanis artinya mendorong seorang anak untuk lebih berdaya akan kemampuan dirinya dengan nilai-nilai kehidupan yang positif. Jika bicara peningkatan kemampuan intelektual ataupun emosional seorang anak, lingkupnya tak hanya pendidikan formal di bangku sekolah, namun juga bisa didapatkan dari pendidikan informal di luar bangku sekolah. 

IDN Times berkesempatan melakukan wawancara khusus #AkuPerempuan bersama Waitatiri (11/8/23), inisiator non profit organization Buku Buat Semua yang bergerak di ranah pendidikan informal. Melalui organisasi yang dibentuknya, perempuan yang akrab disapa Wai ini, turut berkontribusi terhadap pendidikan di Indonesia.

Dalam kepeduliannya terhadap pendidikan anak, Wai menempuh pendidikan hingga ke Amerika. Perempuan ini baru saja menyelesaikan studi Master di Learning Design, Innovation, and Technology, Harvard Graduate School of Education. Simak kisah dan perjalanannya menciptakan komunitas Buku Buat Semua serta pandangannya terkait pendidikan bagi anak-anak.

1. Buku Buat Semua, inisiasi pendidikan informal untuk seluruh anak bangsa yang dapat dinikmati secara gratis

Kisah Waitatiri Peduli Pendidikan Anak hingga Bertandang ke HarvardWaitatiri, inisiator non profit organisation, 'Buku Buat Semua'. (dok.waitatiri)

Kontribusi dalam mendukung perkembangan pendidikan Indonesia, dapat diwujudkan melalui beragam aksi. Salah satunya adalah kegiatan yang menyasar anak-anak dalam bidang literasi. Wai melihat pembelajaran tak hanya perlu digencarkan secara formal, namun juga didukung melalui lingkup informal. 

"Aku tuh memang tertarik banget dengan sarana belajar informal, sarana belajar di luar sekolah dan yang berupa mass media, yang bukan berupa kelas, yang beneran bisa disebarkan secara masif. Dari dulu, sebenarnya aku tertarik banget sama TV show karena memang secara karier, aku sudah berkarier lama, 6 tahun. Di karier 6 tahun itu, aku bekerja di bidang kreatif marketing dan aku banyak banget bikin iklan, script, web series, bikin cerita. Jadi, aku banyak bikin script untuk video-video dan aku tadinya pengin banget bisa berkontribusi juga untuk bikin TV show edukasi anak-anak. Itu juga salah satu alasan kenapa aku memilih lanjut S2," Wai ceritakan latar belakang kepeduliannya terhadap pendidikan dan kariernya di bidang media. 

Wai berusaha memaksimalkan keahliannya di bidang media dan fokusnya terhadap pendidikan untuk mewujudkan inisiasi dari organisasi nirlaba di ranah isu anak dan edukasi. Nonprofit organization yang diberi nama Buku Buat Semua, menjadi realisasi konkret untuk mendukung kemajuan pendidikan melalui kegiatan yang mendasar dan menyenangkan, yakni buku bacaan. 

"Aku sekarang sedang menjalani sebuah organisasi nonprofit berbasis komunitas, namanya Buku Buat Semua, di mana aku menghubungkan siapa pun, tidak harus penulis, tapi semua yang pengin nulis buku anak, dan siapa pun yang pengin mengilustrasikan buku anak untuk kita sama-sama bikin buku anak-anak yang nanti bakal didistribusikan secara gratis, baik secara offline maupun online," tuturnya.  

Buku anak ini nantinya dapat dinikmati oleh seluruh anak bangsa secara gratis. Saat ini, beberapa buku telah tersedia secara online di laman resmi Buku Buat Semua. Ke depannya, akan dicetak dan dibagikan ke berbagai daerah di Indonesia dan perpustakaan.

2. Kasus putus sekolah masih terjadi, Wai fokus bangun sarana untuk anak-anak yang mengalami kesulitan ekonomi

Kisah Waitatiri Peduli Pendidikan Anak hingga Bertandang ke HarvardWaitatiri, inisiator non profit organisation, 'Buku Buat Semua'. (instagram.com/waitatiri)

Akses pendidikan di Indonesia yang belum sepenuhnya merata, menyadarkan Wai akan perlunya andil anak muda untuk membereskan permasalahan ini. Pertemuannya dengan salah satu keluarga kurang mampu yang terpaksa putus sekolah karena kesulitan dana, membuka mata Wai untuk bisa menolong lebih banyak manusia di lini pendidikan. 

"Waktu kemarin pandemik, aku sempat bikin sebuah inisiasi di mana aku mengumpulkan donasi dari orang-orang terdekat untuk dibelikan sumbangan gadget, hp, dan paket data untuk anak-anak yang gak bisa sekolah waktu pandemik. Karena kan waktu pandemik, mereka harus sekolah online. Di situ, nama programnya Ponsel untuk Sekolah dan di program itu, aku ketemu dengan para penerima manfaat, orangtua dan anak-anak yang kebanyakan terpaksa putus sekolah atau mungkin harus menumpang ke hp temennya, atau mungkin harus satu hp buat berlima. Kesulitan utama adalah mereka tuh tidak punya hal untuk belajar," Wai menceritakan pengalamannya.

Kesulitan ekonomi masih jadi faktor tingginya angka putus sekolah di Indonesia. Permasalahan tersebut menjadi alasan Wai untuk meningkatkan kebermanfaatan di ranah pendidikan informal. Apabila seorang anak terpaksa meninggalkan sekolah, sarana pendidikan yang didapat di luar itu juga tetap memadai. 

"Kisah itu menjadi trigger buat aku, kayaknya memang ada nih yang harus dilakukan supaya anak-anak Indonesia tidak harus seratus persen bergantung sama sekolah. Tidak harus bergantung seratus persen sama pendidikan formal karena kalau amit-amit terjadi hal serupa lagi, yang mengakibatkan mereka harus sekolah dari rumah, harus ada gadget, harus ada internet atau apa pun itu, ya supaya mereka gak seratus persen hilang. Tetap dapat asupan pelajaran, terutama anak-anak yang masih kecil banget. Makanya, aku mikir pengin menekuni media informal, baik itu bikin TV show, baik itu mungkin kegiatan-kegiatan informal," tambahnya. 

Semula, Wai khawatir buku tak bisa menjadi solusi atas inisiatif gerakannya. Sebab, perubahan digital dan kebiasaan manusia berdampak pada kesadaran dan kesukaan anak-anak. Untungnya, Wai tetap optimis untuk merealisasikan inisiasinya dan membangun komunitas Buku Buat Semua. 

"Ternyata memang sebenarnya keinginan untuk tetap membaca buku masih ada, cuma memang sarananya saja yang kurang. Mungkin bisa dibantu menyediakan sarananya saja," tambah perempuan tersebut. 

Baca Juga: Cerita Inspiratif Galih, Pengajar Muda dan Inisiator Bekal Pendidik

3. Buku menjadi media pembelajaran sekaligus representasi berbagai budaya Indonesia kepada anak-anak

Kisah Waitatiri Peduli Pendidikan Anak hingga Bertandang ke HarvardWaitatiri, inisiator non profit organisation, 'Buku Buat Semua'. (instagram.com/waitatiri)

Buku diharapkan tak hanya menjadi sebuah media hiburan, namun juga bisa memberikan manfaat yang lebih besar. Sebab, buku mampu menyampaikan beraneka pesan melalui cerita yang ditulis, ilustrasi yang diciptakan, dan latar kisah yang diangkat. 

dm-player

Wai berharap buku yang diproduksi dapat menghadirkan kegunaan secara lebih luas, termasuk edukasi budaya. "Secara cerita, secara karakter, secara representasi wilayah itu, beneran tersampaikan dengan baik. Kayak kemarin, 2 dari 3 buku yang dirilis di batch pertama kita itu, bukunya memang latar belakangnya di Kampung Ansus, di Papua dan Gorontalo. Dua-duanya memang secara ilustrasi cukup lama karena maunya yang sesuai. Kita maunya anak-anak yang dari wilayah-wilayah tersebut merasa terepresentasikan dan anak-anak yang tidak di wilayah itu jadi tahu, 'Oh, di Gorontalo tuh kayak gini,'." 

Diharapkan, Buku Buat Semua dapat dinikmati lebih banyak anak Indonesia sehingga tidak didistribusikan secara komersial. Tentu saja, perihal ini penting karena pendidikan merupakan hak bagi setiap individu. Artinya, semua orang harus mendapatkan kesempatan yang sama.

"Dari kegiatannya sendiri, Buku Buat Semua inginnya bisa memberi nafas sesuai namanya, bahwa buku bagus terutama buku anak-anak, itu tidak harus mahal. Buku anak-anak itu bisa diakses siapa saja. Itu hak untuk anak-anak bisa baca buku bagus," ungkapnya.  

Nantinya, Wai juga merencanakan untuk mengadakan kegiatan story telling di perpustakaan maupun ruang edukasi lainnya supaya anak-anak lebih imajinatif dan memiliki keinginan untuk mengeksplorasi. Rencana ini tentu akan terus dikuatkan demi akses yang lebih inklusif. 

"Jadi, ada banyak aspek dalam sebuah buku yang bisa melatih imajinasi anak dan bisa mengedukasi," kata Wai seraya menambahkan bahwa buku bisa memaksimalkan beragam aspek tumbuh kembang anak.

4. Perempuan Indonesia masih banyak terkurung dalam stigma negatif yang menghambat kemajuan dirinya

Kisah Waitatiri Peduli Pendidikan Anak hingga Bertandang ke HarvardWaitatiri, inisiator non profit organisation, 'Buku Buat Semua'. (instagram.com/waitatiri)

Bicara perempuan dan pendidikan, tak terlepas dari stigma yang beredar di masyarakat. Kerap kali pandangan negatif yang melekat pada perempuan justru menghambat kemajuan dirinya. 

Wai juga mengakui stigma yang beredar di masyarakat, tak jarang menghalangi perkembangan personal seorang perempuan. "Kalau tantangan sebenarnya, lebih ke stigma masyarakat. Menurut aku, itu tantangan paling besar karena udah banyak banget jalan untuk perempuan bisa mewujudkan mimpinya. Baik dalam hal karier, dalam hal pendidikan, dalam hal apa pun itu, baik dalam hal karier formal maupun informal itu, udah ada banget jalannya, udah sangat terbuka. Dunia itu sudah sangat menerima dengan adanya pemimpin perempuan, dunia sudah sangat normal dengan adanya perempuan yang kuliah tinggi, perempuan yang jadi peneliti, perempuan yang kuliah S3," katanya.

Wai memang tidak memungkiri jika masih ada orang yang pemikirannya berbeda. Misalnya, perempuan pintar dianggap tidak baik karena akan membuat laki-laki merasa bodoh.

"Padahal sebenarnya, hidup masing-masing. Aku pintar bukan berarti orang lain bodoh, aku bodoh bukan berarti orang lain jadi lebih bodoh. Kita tidak harus menjatuhkan orang lain untuk membuat kita merasa lebih baik. Tapi sayangnya, keadaan sekarang masih seperti itu," tambahnya 

Pandangan yang menghentikan langkah perempuan untuk maju, termasuk dalam hal pendidikan, sangatlah merugikan secara personal maupun kemajuan bangsa. Perempuan jadi merasa kurang termotivasi dan lebih memilih menguburkan impian karena lingkungan tidak suportif. Akibatnya, kesempatan untuk mengembangkan pemikiran, kemampuan intelektual, dan maupun membangun kehidupan yang lebih layak, jadi menurun. 

"Kita sebagai perempuan memang harus lebih kuat aja. Kalau kita sudah berhasil menantang itu semua, aku merasa wanita-wanita yang berhasil menantang stigma dengan jadi pemimpin, dengan akhirnya kuliah tinggi, itu justru jauh lebih hebat karena secara mental, secara emosional, mereka jauh lebih kuat. Mereka jauh lebih bisa meregulasi emosi, mereka bisa kuat mental, untuk menahan badai-badai ini. Aku melihat dengan banyaknya orang yang akhirnya mau memperjuangkan itu dan banyaknya orang yang berada di posisi-posisi itu, justru menjadi motivasi orang lain," tambahnya.

5. Bagi Wai, perempuan hebat mau memperjuangkan mimpinya dan bermanfaat bagi masyarakat

Kisah Waitatiri Peduli Pendidikan Anak hingga Bertandang ke HarvardWaitatiri, inisiator non profit organisation, 'Buku Buat Semua'. (instagram.com/waitatiri)

Terlepas dari stigma masyarakat yang beredar, Wai mendorong perempuan untuk tetap mengejar impian. Dengan membuktikan bahwa perempuan mampu mengemban peran-peran penting, harapannya akan ada lebih banyak orang yang termotivasi untuk lebih berdaya.

Ditanya definisi perempuan hebat, Wai menerangkan, "Perempuan hebat itu menurut aku yang mau mengejar mimpinya, yang mau jadi diri sendiri, yang mau memperjuangkan hal baik, tapi sesuai dengan mimpinya dia sendiri."

Perempuan sering kali dianggap tidak mampu menduduki posisi strategis karena dinilai memiliki kondisi psikologis yang lebih emosional daripada gender lain. Namun, anggapan tersebut berhasil dipatahkan melalui representasi perempuan di berbagai kedudukan. 

"Yang bisa membuktikan bahwa dengan menjadi perempuan yang emosional, yang cantik, yang peduli dengan diri sendiri, yang peduli penampilan, itu juga bisa jadi perempuan yang pintar, menjadi perempuan yang independen, menjadi perempuan yang berguna bagi masyarakat," tambah Wai soal makna perempuan hebat untuknya. 

Sebagai perempuan yang berhasil membuktikan bahwa pendidikan tinggi adalah hak segala manusia, Wai berpesan agar anak muda memperjuangkan edukasi sebagai bagian penting dari hidupnya. Tak ada batasan untuk proses belajar, di mana pun dan apapun.

"Kalau dari aku, satu pesan soal pendidikan adalah, yang pertama tidak ada kata terlambat untuk belajar, tidak ada kata terlambat untuk pendidikan. Gak ada kata ketuaan untuk mulai kuliah lagi, untuk lanjut sekolah, untuk ikut course, ikut pelatihan. Apa pun itu, gak ada kata terlambat. Pendidikan itu bisa didapatkan dari mana aja sebenarnya. Jadi, kalau misalnya kita merasa di sekolah kurang, ya cari di luar. Pendidikan itu bisa didapat dari mana saja, gak harus formal. Jadi kalaupun harus berhenti sekolah atau tidak mendapat akses, pendidikan itu bisa didapat dari mana saja dan aku mengajak, sangat mengajak banyak orang untuk lebih aware dan menyediakan pendidikan untuk anak-anak Indonesia," tutup Wai pada kesempatan interview siang hari itu. 

Baca Juga: Kisah Inspiratif Wanda Roxanne Ratu, Suarakan Isu Gender Lewat Tulisan

Topik:

  • Dina Fadillah Salma
  • Febriyanti Revitasari

Berita Terkini Lainnya