Api berkecamuk. Ratusan bahkan ribuan rumah hancur terbakar. Tak hanya rumah warga, kantor desa dan tempat ibadah pun turut dibakar. Tak jauh dari sana, ada mayat-mayat tak beridentitas tergeletak di jalanan. Membuat siapa pun yang melihat semua itu bergidik ketakutan.
Itulah sedikit gambaran tentang konflik Maluku yang pernah terjadi dalam rentang waktu 1999 sampai 2002. Ribuan nyawa telah melayang akibat kerusuhan tersebut dan sampai sekarang, kerusuhan itu seakan terus membayangi Maluku.
Seperti layaknya tempat-tempat di Indonesia lainnya, Maluku dihuni oleh masyarakat yang heterogen. Berbagai ras, suku dan agama tinggal di sana. Namun, konflik yang sempat terjadi menimbulkan efek segregasi di tengah masyarakat. Membuat kondisi yang awalnya harmonis, berubah menjadi saling serang satu sama lain.
Hal ini lah yang dirasakan oleh Eklin Amtor de Fretes atau lebih akrab disapa Eklin. Pemuda asli Maluku ini merasakan langsung bagaimana konflik tersebut telah memorak-porandakan kotanya dalam berbagai aspek. Untuk itu, ia membentuk suatu komunitas perdamaian pemuda lintas iman sebagai bentuk upayanya merentaskan segregasi di Maluku.
Dengan menggunakan perbekalan seadanya, ia rela berkeliling pelosok Maluku demi menebar pesan damai kepada anak-anak dan juga warga sekitar. Tak hanya sekedar berkhotbah atau berceramah, Eklin menebarkan pesan damai dengan cara mendongeng.
