Eksistensi Tudung Manto, Wastra Desain Paspor asal Kepulauan Riau

Provinsi Kepulauan Riau atau yang lebih dikenal dengan Bumi Segantang Lada menyimpan kekayaan wastra Nusantara yang memesona. Salah satunya adalah Tudung Manto yang menjadi selalu hadir sebagai penutup kepala khas Melayu. Tudung Manto berasal dari bahasa Melayu, di mana "tudung" berarti penutup kepala, sedangkan "manto" mengacu pada sulaman atau bordiran dengan benang khusus yang disebut pelingkan.
Konon, kain Tudung Manto biasanya digunakan sebagai pelengkap pakaian adat perempuan Melayu di Kepulauan Riau. Kain ini juga sering dikenakan oleh perempuan yang sudah menikah dan dalam acara adat seperti pernikahan. Meskipun kini kain Tudung Manto sudah bisa dipakai oleh siapa saja, dulunya kain ini memiliki tempat istimewa karena hanya dikenakan oleh kalangan bangsawan. Kain Tudung Manto ini juga terpilih sebagai salah satu motif wastra untuk desain paspor yang diterbitkan oleh Kementerian Hukum dan HAM pada 17 Agustus 2024, mewakili kain dari Kepulauan Riau. Tertarik dengan berbagai fakta menarik lainnya tentang Tudung Manto? Langsung kepoin artikelnya sampai habis, yuk!
1. Tudung manto telah ada sekitar tahun 1755 silam pada zaman kerajaan Riau Lingga
Bagi masyarakat Kepulauan Riau, kain tudung manto bukanlah hal yang asing. Tudung manto diperkirakan sudah ada sejak tahun 1755, di era Kerajaan Riau Lingga yang berkuasa di Semenanjung Melayu. Namun, menurut situs Warisan Budaya Kemendikbud, asal-usul penggunaan tudung oleh perempuan Melayu telah tercatat dalam naskah Sulalatus Salatin. Tudung manto diyakini sudah ada sejak masa pemerintahan Sultan Abdullah Muayat Syah, yang memindahkan ibu kota Kerajaan Melayu Johor-Riau ke Pulau Lingga pada tahun 1618 untuk menghindari pengaruh Aceh. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa tudung manto baru muncul pada masa pemerintahan Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah I (1722-1760).
Pada masa ini, pusat pemerintahan Kerajaan Melayu Johor-Riau berada di Hulu Riau, sementara Pulau Lingga dipimpin oleh Megat Kuning, putra Datuk Megat Merah, yang diyakini berasal dari Tanjung Jabung, Jambi. Mereka dikenal sebagai Suku Mantang, Suak, Tambus, dan Nyenyah. Pada masa pemerintahan Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah I, disebutkan bahwa perempuan Melayu di Daik sudah mengenakan kain penutup kepala yang disebut melayah atau tudung. Kehadiran melayah sebagai penutup kepala diperkirakan sebagai hasil dari enkulturasi dengan budaya Arab dan India.