IDN Times/Febriyanti Revitasari
Sejauh ini, sudah lebih dari 10 buku yang Risa terbitkan. Beberapa di antaranya ada yang ditulis sendiri, kolaborasi, fiksi, serta nonfiksi. Risa menyebutkan jika penulisan nonfiksi memang lebih mudah ketimbang fiksi.
"Sebenarnya untuk nonfiksi itu, lebih gampang. Karena ada narasumbernya. Jadi saya kayak menuliskan kembali apa yang mereka katakan. Sementara fiksi, saya benar-benar menuliskan apa yang ada di imajinasi saya. Jadi tantangannya, membuat tokoh-tokoh yang ada di imajinasi saya terasa nyata buat yang baca," katanya.
Meski begitu, bukan berarti menulis nonfiksi tidak memiliki tantangan. Risa pun pernah merasa buntu di tengah penulisan. "Kadang-kadang, yang diceritakan cuma sedikit. Jadi, saya harus menggali. Gimana caranya jadi satu buku yang solid gitu. Itu yang sulit ketika menceritakan tentang mereka," lanjutnya soal pengalaman mewawancarai teman hantunya.
Di luar banyaknya kisah yang diambil, mood pun memengaruhi. "Kadang-kadang kalau sayanya gak mood, merekanya gak mood. Jadinya, emang butuh chemistry juga sih," ungkapnya. Ia pun mengaku sempat beberapa kali ingin menulis tentang Elisabeth. "Tapi yang punya cerita gak berkenan. Saya susah buat nulis," tambahnya lagi.
Dari sekian buku, "Asih" berhasil ditulisnya dalam tiga hari, "William" seminggu, "Danur" tiga bulan, dan "Senjakala" yang berkolaborasi dengan suaminya, memakan waktu tujuh bulan. Yang terakhir, adalah judul buku yang diakuinya paling lama pengerjaannya.