Jakarta Good Guide (instagram.com/jktgoodguide)
Di mata masyarakat awam, mungkin tour guide terlihat memiliki segudang privilege. Namun sebaliknya, tak jarang para tour guide juga menemukan beberapa kendala dan hal yang kurang menyenangkan. Seperti yang dirasakan Farid ketika bertugas, ia merasa bahwa masyarakat masih skeptis dengan pekerjaannya.
“Kalau di Jakarta itu, orang-orang tuh, bukan peserta ya, tapi orang-orang umum ataupun keamanan itu masih agak sedikit skeptis. Contohnya, ada satu bangunan nih bagus kan, eh bangunan punya cerita bersejarah penting gitu ya, yang menarik. Tapi kita gak boleh berhenti di depannya gitu atau kita gak boleh lihat di sekelilingnya karena alasan keamanan. Jadi, itu agak sedikit apa ya? Kan kita ingin memberikan kepuasan kepada peserta tur dan ingin menceritakan sebenarnya, membantu menceritakan narasi dari kota ini. Cuma, kadang terbentur dengan itu,” papar Farid.
Kondisi ini sangat bertolakbelakang dengan apa yang ia rasakan ketika mengikuti tur di luar negeri. Baik itu Eropa, Amerika, mereka sangat welcome menerima turis asing untuk masuk atau berdiri di depan bangunan penting. Selain itu, tour guide juga nyatanya kerap dibikin pusing oleh infrastruktur yang belum tersedia dengan baik.
“Sama dukanya adalah ketika infrastruktur di Jakarta, di kotanya itu belum tersedia, kayak misalnya nyeberang. Sekarang kan basically jalan kaki ya, nyebrang susah, tiba-tiba trotoar gak ada. Terus, misalnya kita masuk gang itu banyak motor ataupun mobil yang parkir sembarangan. Itu yang challenging lah tantangannya kalau misalnya jalan kaki di Jakarta,” imbuh Farid.
Meski begitu, masih ada hal lain yang menyenangkan sebagai tour guide. Ia bisa bertemu banyak orang dan memperluas network. Ada perasaan senang juga ketika apa yang Farid berikan, disukai oleh banyak orang. Selama 7 tahun mengelola JGG, hal yang paling berkesan untuknya itu ketika ia bisa mengubah pandangan atau pendapat peserta mengenai kota Jakarta.
Ia bercerita, “Waktu itu, ada peserta aku kebetulan turis asing, orang Amerika. Dia ikut tur Kota Tua kalau gak salah. Sudah jalan, kan panas tuh ya Kota Tua. Panas karena dekat pelabuhan dan segala macam. Terus, di akhir itu, dia ngomong ke aku, pas sudah bubar semuanya, sudah bilang terima kasih, sudah bayar, apa segala macam. Terus dia ngomong ‘Terima kasih, ya! Gara-gara lo tuh pandangan gue tentang kota Jakarta tuh berubah. Sebelum ini tuh, pandangan gue tentang kota Jakarta adalah polusi, macet, rawan kriminalitas, gelap gitu. Tapi ternyata setelah dua jam jalan sama lo, banyak ceritanya dan seru ya. Orang yang gue temuin di jalan itu tuh orangnya ramah-ramah gitu, senyum, nyapa’.”
Siapa sangka blusukan ke gang sempit, berkeliling bangunan lama, menemukan banyak hidden gem bersejarah, ternyata memiliki tempat tersendiri di hati peserta turnya? Bagaikan oase di tengah padang gurun, ia menemukan angin segar yang menggenjot semangatnya. Ada kepuasan tersendiri juga ketika ia melihat unggahan peserta tur di media sosial yang menuai respons positif.
Tahun 2016 bisa dikatakan puncak JGG menerima 80 persen turis asing dari Singapura, Australia, Belanda, Eropa, hingga Amerika. Berkat media sosial juga, semakin banyak pendatang. Namun, tren berubah di tahun 2018. Mulai banyak warga lokal yang berkunjung dan memilih wisata jalan kaki keliling di Jakarta.
“Nah, kemudian COVID-19 mengubah lagi trennya menjadi 95 persen orang lokal lah ya. Sekarang sudah mulai ada lagi orang Australia, Singapura, orang Amerika juga sudah mulai ada. Tapi, porsinya masih sedikit. Masih lebih banyak orang Indonesia yang bahkan ada beberapa dari kayak Surabaya, Semarang yang jalan-jalan ke Jakarta, terus ikut walking tour itu,” pungkasnya.