6 Alasan Gen Z Merasa Lebih Tertekan Dibanding Generasi Lain

- Gen Z merasa tertekan karena tekanan sosial media yang menciptakan rasa rendah diri dan perasaan tidak cukup baik.
- Banyak dari mereka merasa harus menghabiskan lebih banyak uang demi terlihat keren, menciptakan siklus utang dan kecemasan finansial.
- Gen Z menghadapi dunia kerja yang sulit, dengan penghasilan yang tidak cukup untuk hidup nyaman dan kesulitan menabung.
Gen Z sering dianggap sebagai generasi paling beruntung karena tumbuh di era teknologi maju dan akses informasi yang tak terbatas. Tapi di balik kemudahan itu, mereka juga menghadapi tekanan mental dan emosional yang belum pernah dialami generasi sebelumnya. Hidup mereka seolah tak pernah lepas dari tuntutan untuk selalu terlihat bahagia, baik di dunia nyata maupun digital.
Berbeda dengan generasi sebelumnya yang bisa menjalani hidup dengan lebih santai dan bertahap, gen Z dibombardir oleh ekspektasi tinggi sejak muda. Tak heran jika banyak dari mereka merasa lebih cemas, bingung, dan tertekan, meskipun dari luar tampak baik-baik saja. Kira-kira apa saja alasan gen Z merasa lebih tertekan dibanding generasi lain?
1. Perbandingan di dunia maya

Gen Z tumbuh di era media sosial, di mana kehidupan orang lain selalu tampak lebih sempurna. Dari unggahan influencer yang memamerkan gaya hidup mewah hingga konten yang terlalu banyak difilter, mereka terus-menerus merasa harus menyamai standar yang sebenarnya tidak realistis. Hal ini menumbuhkan rasa rendah diri, iri, dan perasaan tidak cukup baik.
Berbeda dengan generasi sebelumnya yang tumbuh tanpa tekanan internet, gen Z hidup dalam dunia yang penuh tuntutan visual. Mereka tidak hanya menjalani hidup, tapi juga harus menampilkan hidup mereka. Ini menciptakan tekanan psikologis yang berat karena merasa harus selalu terlihat menarik, sukses, dan bahagia di mata dunia maya.
2. Tertekan untuk hidup mewah

Tak sedikit gen Z yang merasa harus menghabiskan lebih banyak uang hanya untuk terlihat setara dengan teman-teman mereka. Media sosial sering menampilkan standar hidup yang tinggi misalnya liburan mahal, barang bermerek, hingga gaya hidup minimalis yang justru mahal. Padahal, di balik layar, banyak dari mereka sebenarnya sedang berjuang secara finansial.
Survei dari LendingTree menunjukkan bahwa lebih dari separuh gen Z mengaku pernah menghabiskan uang demi terlihat keren atau dianggap mampu. Ini menciptakan siklus utang dan kecemasan karena pengeluaran mereka tidak sebanding dengan pendapatan, yang sebagian besar masih minim atau tidak stabil.
3. Ketidakstabilan ekonomi

Gen Z menghadapi dunia kerja yang jauh lebih sulit dibandingkan generasi sebelumnya. Jika dulu lulusan baru bisa mendapat pekerjaan tetap dengan upah layak, kini banyak dari mereka harus menerima pekerjaan sementara, bergaji rendah, atau bahkan kerja lepas demi mencukupi kebutuhan dasar.
Bank of America menyebutkan bahwa lebih dari setengah gen Z merasa penghasilan mereka tidak cukup untuk hidup nyaman. Mereka tidak hanya kesulitan menabung atau merencanakan masa depan, tapi juga merasa cemas dan tidak aman karena setiap bulan harus berjibaku dengan biaya hidup yang terus naik.
4. Merasa sendirian di tengah keramaian

Meskipun gen Z terkoneksi secara digital, banyak dari mereka justru merasa lebih kesepian dibanding generasi lain. Riset dari Eden Project Communities menunjukkan bahwa mereka adalah generasi paling kesepian saat ini, dengan sedikit ruang untuk membangun koneksi sosial yang nyata.
Fenomena seperti tidak adanya "tempat ketiga" seperti taman, kafe, atau komunitas yang nyaman, membuat mereka sulit merasa menjadi bagian dari suatu kelompok. Belum lagi tren "no contact" atau memutus hubungan dengan keluarga karena trauma masa lalu, yang membuat mereka semakin terisolasi, meski dikelilingi oleh jutaan orang di internet.
5. Krisis identitas pribadi

Mencari tahu siapa diri sendiri bukanlah hal yang mudah ketika setiap hari kita dibombardir dengan opini orang lain di media sosial. Gen Z dikenal sebagai generasi yang menghargai keaslian dan ekspresi diri. Namun ironisnya, banyak dari mereka justru bingung menentukan apa yang benar-benar mereka sukai atau yakini.
Tekanan dari tren yang berubah cepat dan konten influencer membuat mereka sulit membentuk jati diri secara alami. Alih-alih tumbuh berdasarkan pengalaman pribadi, banyak dari mereka membentuk identitas berdasarkan ekspektasi digital, dan ini sering kali membuat mereka merasa kosong, terasing, atau tidak cukup autentik.
6. Terlalu lama di depan layar

Banyak dari gen Z yang bekerja atau belajar dari rumah, yang berarti mereka nyaris tidak pernah lepas dari layar. Dari tugas kuliah hingga pekerjaan dan hiburan, segalanya dilakukan melalui perangkat digital. Akibatnya, batas antara waktu kerja dan waktu pribadi menjadi kabur.
Meski mereka sangat peduli pada keseimbangan hidup, kenyataannya banyak yang kesulitan untuk benar-benar log out. Notifikasi, email kerja, hingga tekanan untuk terus aktif di media sosial membuat mereka merasa harus selalu on. Ketergantungan pada layar bukan hanya melelahkan secara fisik, tapi juga berdampak besar pada kesehatan mental.
Gen Z merasa lebih tertekan dibanding generasi lain bukan hanya soal perasaan, tapi juga realita yang dipengaruhi oleh budaya digital, krisis ekonomi, dan perubahan sosial yang belum pernah dialami generasi sebelumnya. Mereka tumbuh di dunia yang serba cepat, penuh tuntutan, tapi minim dukungan nyata. Nah, apakah sudah saatnya kita benar-benar memahami dari mana rasa tertekan itu berasal?