Merintis Desa Inklusi, Nafas Baru untuk Penyandang Disabilitas NTT

Elmi berjuang agar difabel juga punya hak yang sama!   

“Masyarakat selama ini masih memandang penyandang disabilitas sebagai masyarakat ‘kelas dua’, orang yang membutuhkan belas kasihan dan hanya tanggung jawab Dinas Sosial,” ucap Elmi Sumarni Ismau saat bercerita tentang inisiasinya membentuk GARAMIN.

Elmi merupakan salah satu founder GARAMIN (Gerakan Advokasi Transformasi Disabilitas Untuk Inklusi) yang juga seorang penyandang difabel fisik. Gadis asal Desa Oelomin, Kupang, NTT ini membentuk GARAMIN pada 14 Februari 2020 lalu bersama kelima temannya.

GARAMIN merupakan sebuah gerakan yang bertujuan untuk mengubah mindset penyandang difabel, pemerintah, dan masyarakat tentang para penyandang difabel yang dianggap selalu membutuhkan belas kasihan dan seharusnya diurus oleh dinas sosial.

Pada tahun 2021 ini, atas inisiasinya bersama GARAMIN dalam menyuarakan isu-isu inklusi dan disabilitas, serta usahanya memberikan edukasi terkait COVID-19 dan program vaksinasi kepada para penyandang difabel di Kupang NTT, Elmi Sumarni Ismau menerima Apresiasi Khusus Kategori: Pejuang Tanpa Pamrih di Masa COVID-19 oleh SATU Indonesia Award yang diselenggarakan oleh Astra Indonesia.

1. Berawal dari mimpi bersama membentuk organisasi difabel yang bertujuan untuk mempercepat gerakan inklusi disabilitas di NTT

Merintis Desa Inklusi, Nafas Baru untuk Penyandang Disabilitas NTTGARAMIN melakukan kegiatan bersama penyandang disabilitas di Kupang (Dok. GARAMIN)

Elmi bercerita bahwa sebenarnya pergerakan tentang isu-isu inklusi dan disabilitas di NTT ini sudah berjalan sejak 10 tahun terakhir. Dulunya, Elmi sendiri sempat bergabung dengan organisasi di NTT yang bergerak di bidang isu disabilitas juga, namun saat itu dirinya mengaku hanya ingin belajar. Perempuan berusia 28 tahun ini mengungkapkan,

“Dulunya saya pernah bergabung juga dalam organisasi serupa, namun dulu belum begitu melek karena pada saat itu kondisi saya belum difabel. Hanya ingin ikut dan belajar-belajar saja tentang isu-isu disabilitas.”

Pada saat Elmi masih duduk di bangku SMA, tepatnya pada tahun 2010 lalu, ia mengalami kecelakaan sehingga kedua kakinya harus diamputasi. Sejak menjadi penyandang difabel dan mulai memasuki bangku perkuliahan, Elmi kemudian mulai bangkit dan tertarik untuk mendalami kembali isu-isu disabilitas dengan belajar bersama teman-teman difabel yang lain.   

Ia kembali bercerita, pada 2019 silam ia pernah mengikuti sebuah kegiatan exchange forum. Pada kesempatan itu, ia menuliskan mimpinya untuk membentuk sebuah organisasi difabel di Sumba. Ia ingin melakukannya di Sumba karena menurutnya di Sumba ada banyak teman-teman difabel namun hak-hak mereka belum terpenuhi. 

Berawal dari tulisan ini, ia pun menceritakan impiannya ini kepada teman-temannya. Gayung pun bersambut, ternyata teman-temannya pun punya mimpi yang sama. GARAMIN akhirnya terbentuk dan memiliki anggota serta relawan yang beragam. Tak hanya diisi oleh penyandang disabilitas saja, namun teman-teman non-disabilitas pun ikut berpartisipasi.

Menginjak usia hampir 2 tahun, GARAMIN sekarang sudah beranggotakan 25 orang. Terdapat enam orang founder (lima penyandang disabilitas dan satu non-disabilitas), relawan difabel sebanyak sepuluh orang dan relawan non-disabilitas sebanyak 15 orang.

2. Penyandang disabilitas juga orang yang berdaya, bukan orang kelas dua yang harus dikasihani

Merintis Desa Inklusi, Nafas Baru untuk Penyandang Disabilitas NTTGARAMIN melakukan berbagai upaya advokasi (Dok. GARAMIN)

Meskipun masih “bayi”, GARAMIN memiliki semangat yang luar biasa untuk terus aktif dan vokal menyuarakan isu-isu inklusi bagi para penyandang disabilitas di NTT. Elmi dan kelima founder GARAMIN lainnya selama hampir dua tahun ini aktif melakukan banyak kegiatan yang bertujuan untuk mengubah mindset dan pandangan tentang disabilitas. 

Seperti yang kita tahu, bahwa stigma buruk dan juga perlakuan diskriminatif adalah makanan mereka sehari-hari. Pandangan serta perlakuan buruk ini merupakan sebuah akar masalah yang harus segera dituntaskan, dan ini pula adalah misi utama dari GARAMIN sendiri yaitu untuk mengubah mindset masyarakat, pemerintah, serta para penyandang disabilitas itu sendiri tentang isu-isu disabilitas.

“Yang mau kita ubah mindsetnya adalah bahwa ini kami adalah difabel berdaya. Difabel bisa melakukan berbagai macam hal seperti orang-orang non difabel yang lain. Selama ini kalau kami pergi ke pemerintahan, kami selalu dikira mau kasih proposal dan mau minta uang. Padahal kami mau silaturahmi, kami ingin menjalin pertemanan, kami menganggap pemerintah itu sahabat kami,” ungkap Elmi dengan semangat. 

Emi dan kawan-kawannya di GARAMIN sangatlah percaya bahwa kunci utama suksesnya pergerakan mereka ini adalah dengan aktif berjejaring dengan berbagai pihak, seperti pemerintah dan juga LSM. Baginya, menjalin silaturahmi dengan pemerintah setempat itu penting, dan pemerintah adalah sahabat bagi teman-teman disabilitas. 

Menurutnya, ketika hubungan silaturahmi dengan pemerintah sudah terjalin dengan baik, di situlah waktu yang tepat untuk bisa melakukan berbagai upaya advokasi untuk menyampaikan isu-isu disabilitas. Dengan menjadi sahabat dari pemerintah setempat, perlahan-lahan mindset pemerintah dan masyarakat pun akan berubah menjadi positif. 

Baca Juga: KBA Keputih Tegal Timur Baru Surabaya, From Zero to Hero

3. Selain advokasi ke pemerintahan, melakukan kegiatan pelatihan adalah cara GARAMIN untuk memberdayakan teman-teman difabel

Merintis Desa Inklusi, Nafas Baru untuk Penyandang Disabilitas NTTGARAMIN melakukan kegiatan bersama warga (Dok. GARAMIN)

Tentu saja kegiatan yang dilakukan oleh GARAMIN tidak hanya seputar melakukan advokasi saja, namun penting juga untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang bertujuan untuk memberdayakan teman-teman penyandang disabilitas seperti kegiatan pelatihan menulis dan penelitian. 

Elmi sendiri mengaku, salah satu yang dilakukannya adalah belajar melakukan penelitian mengenai disabilitas di desanya. Perempuan yang saat ini menjabat sebagai sekretaris GARAMIN ini sangat tertarik untuk melakukan penelitian terkait penyandang disabilitas di desa Oelomin. Selain tertarik untuk belajar penelitian, ia mengaku bahwa ini juga sebagai pembuktian bahwa perempuan difabel sepertinya tidak hanya melulu sebagai objek penelitian, tapi juga bisa melakukan penelitian. 

“Selama ini tuh kami melihat yang sering melakukan penelitian mengenai isu disabilitas adalah dosen dan mahasiswa saja, dan kami yang difabel ini hanya sebagai object. Saat itu saya jadi tertarik untuk menjadi periset karena ingin tahu lebih dan ingin membuktikan bahwa orang difabel bisa melakukan penelitian," tuturnya. 

Selain melakukan kegiatan penelitian, GARAMIN juga bekerja sama dengan beberapa pihak untuk menggelar pelatihan menulis untuk teman-teman disabilitas. Elmi menuturkan bahwa baru-baru ini GARAMIN bekerjasama dengan IOM melakukan kegiatan jurnalisme warga bersama teman-teman disabilitas dan refugee.

Tujuan dari kelas menulis ini sendiri adalah untuk meningkatkan skill anggota internal GARAMIN. Menurutnya, dengan menuliskan kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh GARAMIN, nantinya berbagai publikasi terkait isu-isu disabilitas dan inklusi  ini semakin banyak sehingga masyarakat dapat semakin teredukasi dan dapat mengubah mindset masyarakat.

4. GARAMIN punya andil besar membantu penyandang disabilitas di NTT selama pandemik COVID-19

Merintis Desa Inklusi, Nafas Baru untuk Penyandang Disabilitas NTTGARAMIN melakukan kegiatan selama pandemik COVID-19 (Dok. GARAMIN)

Hal unik dari GARAMIN adalah, ketika awal mula terbentuk pada Februari 2020 lalu, tak lama kemudian justru Indonesia dilanda pandemik COVID-19. Elmi dan kawan-kawan pun saat itu baru saja pulang dari Sumba Timur dalam misi melakukan networking dengan pemerintah dan LSM setempat. Belum sempat melakukan banyak kegiatan gak lantas membuat GARAMIN berpangku taman. Para anggota GARAMIN pun inisiatif untuk membuat sebuah grup Whatsapp “Tanggap COVID NTT Inklusi”. 

Ada sebanyak 170 orang yang tergabung ke dalam grup Whatsapp yang dikelola tersebut dan berisikan teman-teman difabel, pemerintah dan juga LSM. Dibuatnya grup WhatsApp tersebut adalah untuk mendiskusikan perihal kebutuhan dan juga problem yang dihadapi oleh teman-teman penyandang disabilitas selama pandemik COVID-19.

Salah satu problem yang dihadapi oleh para penyandang disabilitas di NTT di awal-awal pandemik COVID-19 saat itu adalah mengenai distribusi BLT (Bantuan Langsung Tunai) dan BST (Bantuan Sosial Tunai). Bantuan-bantuan dari pemerintah tersebut tentu saja menyasar kelompok-kelompok rentan seperti ibu hamil, lansia, dan disabilitas. Meskipun sudah ada bantuannya untuk penyandang disabilitas, namun pada kenyataannya penyandang disabilitas belum menerima bantuan tersebut.   

“Jadi kegiatan pertama yang kami lakukan selama setahun adalah dengan melakukan webinar dengan tema ‘Di Manakah Penyandang Disabilitas Berada Saat COVID-19 Melanda NTT?’ Karena kami berpikir, teman-teman disabilitas ini di mana kok bantuannya belum sampai ke mereka?” ucap Elmi.

dm-player

Dalam kegiatan-kegiatan tersebut, GARAMIN mengundang beberapa narasumber seperti pemerintah, teman-teman disabilitas, juga staf khusus disabilitas di Kupang, LSM, serta organisasi difabel lainnya. Elmi bersyukur, karena pada saat itu semua yang mau terlibat adalah relawan yang mau melakukannya secara sukarela tapi tetap semangat.  

5. Elmi menjadi koordinator untuk program vaksinasi COVID-19 bagi penyandang disabilitas di Kupang

Merintis Desa Inklusi, Nafas Baru untuk Penyandang Disabilitas NTTElmi mengoordinir teman-teman difabel untuk mendapat vaksinasi COVID-19 (Dok. GARAMIN)

Problem yang dihadapi para penyandang disabilitas selama pandemik tidak hanya seputar bantuan pemerintah saja, namun juga fasilitas vaksinasi COVID-19. Elmi sendiri bergerak langsung sebagai koordinator yang membantu teman-teman penyandang disabilitas untuk bisa mendapatkan vaksinasi dari pemerintah. Perempuan lulusan Kampus Akademi Pekerjaan Sosial ini bercerita,

“Kebetulan saya menjadi koordinator vaksinnya. Karena waktu itu ada teman saya difabel netra, dia punya data yang begitu banyak penyandang disabilitas netra. Ada sekitar 60 orang, tetapi mereka tidak tahu kalau vaksin mau ke mana. Padahal sekarang mau ke mana-mana harus ada sertifikat vaksin.“

Ia dan teman-teman GARAMIN pun membantu mengurus surat-surat untuk keperluan administrasi dan langsung menghubungi pihak Dinas Kesehatan Kota dan DInas Kesehatan Provinsi. Beruntung usahanya mendapatkan sambutan baik dan cepat dari Dinkes Provinsi setempat.

Sukses memfasilitasi teman-teman difabel untuk mendapatkan vaksinasi, Elmi pun berinisiatif untuk membuka pendaftaran kedua. Program yang kedua ini ternyata tidak hanya diikuti oleh-teman-teman difabel saja, tapi juga non difabel. 

Tentu saja dalam menjalankan misi ini Elmi menghadapi beberapa kendala. Ia menceritakan kendalanya saat membantu mengurus administrasi teman difabel mental,

“Ada sahabat difabel mental. Dia belum punya identitas kependudukan seperti KTP dan KK, karena koordinasi dengan puskesmas harus ada KTP. Jadi agak ribet, tapi saya terus koordinasi dan mencari solusi dan sharing dengan teman-teman lain. Walaupun disabilitas mental, dia tetap punya hak untuk divaksin. Akhirnya bisa tapi gak bisa dapat sertifikat, tapi hanya dapat surat keterangan dari puskesmas.”

Kendala lain yang dihadapi oleh Elmi adalah saat dia harus telaten dan bersabar untuk mensosialisasikan pentingnya vaksinasi COVID-19. Tidak dimungkiri bahwa adanya berita hoax dan informasi yang simpang siur mengenai COVID-19 membuat teman-teman difabel ragu-ragu untuk vaksinasi.

Namun hal itu tak menyurutkan semangat Elmi sampai akhirnya ia berhasil meyakinkan mereka semua untuk melakukan vaksinasi. Bahkan Elmi juga mengajari teman-teman difabel netra bagaimana cara cuci tangan dengan hand sanitizer dan bagaimana menggunakan masker.

6. Hambatan demi hambatan selalu dihadapi, namun GARAMIN juga mendapatkan dukungan dan respon positif dari pemerintah Kupang

Merintis Desa Inklusi, Nafas Baru untuk Penyandang Disabilitas NTTGARAMIN selalu mendapatkan dukungan dari pemerintah (Dok. GARAMIN)

Seperti yang selalu disampaikan oleh Elmi bahwa isu-isu inklusi ini masih membutuhkan perjuangan yang panjang. Hingga saat ini penyandang disabilitas selalu dipandang sebagai masyarakat kelas dua dan tidak berdaya.

Penyandang disabilitas hingga saat ini masih menjadi ‘korban’ dan rentan terhadap pembangunan yang begitu eksklusi. Baik fasilitas hingga pendidikan di Indonesia masih jauh dari kata inklusif. Hal ini pula yang membuat kualitas hidup penyandang disabilitas cenderung rendah dan menjadi ‘tidak bermakna’ dibandingkan masyarakat non disabilitas. 

Selama aktif melakukan advokasi, memperkenalkan dan juga menyuarakan hak-hak disabilitas, Elmi masih sering menghadapi beberapa kendala dan juga hambatan, Setidaknya ada tiga hambatan utama yang kerap ditemuinya, yaitu hambatan akses lingkungan, hambatan informasi dan hambatan sikap dari masyarakat. 

Ketika GARAMIN datang ke sebuah tempat atau diundang di sebuah kegiatan yang membahas isu inklusi, ternyata sering mendapati gedung tersebut belum ramah untuk difabel fisik sepertinya. Tidak adanya jalur khusus difabel tentu saja sangat menyulitkan mobilitasnya.

Lalu hambatan informasi juga kerap dialami oleh teman-teman difabel tuli, saat harus mengikuti sebuah acara namun ternyata tidak tersedia juru bahasa isyarat. Selain itu juga sikap masyarakat yang kerap melihat teman-teman difabel dari sisi kekurangannya saja, sehingga Elmi dan kawan-kawan sering dipandang sebelah mata dan bahkan menentang adanya ide-ide terkait lingkungan inklusif.

Sebenarnya respon dari pemerintah dan juga beberapa masyarakat terhadap gerakan yang dilakukan GARAMIN ini sangat positif dan bahkan sangat mendukung setiap kegiatan terkait isu disabilitas di Kupang. Bahkan pemerintah pun mendukung penelitian yang dilakukan oleh Elmi terkait perubahan iklim terhadap disabilitas yang menjangkau 22 kabupaten kota di NTT.  Selain itu Elmi juga mendapat sambutan baik dari organisasi lain dan saat ini pun ia bekerjasama dengan komnas perempuan.

“Respon dari pemerintah itu positif. Kami bekerja sama Bapuslitbang Provinsi menyusun buku profil disabilitas dan respon mereka baik sekali. Kami bersama teman-teman organisasi difabel lain bergandeng tangan dengan pemerintah menyusun draft identifikasi masalah penyandang disabilitas, dibuat dalam Ranperda disabilitas.”

7. Desa inklusi adalah mimpi GARAMIN dan teman-teman penyandang disabilitas di Kupang yang harus diwujudkan bersama

Merintis Desa Inklusi, Nafas Baru untuk Penyandang Disabilitas NTTGARAMIN melakukan kegiatan bersama warga (Dok. GARAMIN)

Bagi Elmi, perjuangan inklusi bersama GARAMIN maupun organisasi-organisasi difabel di NTT ini masih panjang. Meskipun pemenuhan hak-hak disabilitas di Kupang sendiri masih jauh dari kata inklusif, namun dirinya tetap bersyukur setidaknya saat ini perlahan-lahan pemerintah maupun masyarakat sudah mulai terbuka dengan para penyandang disabilitas. Ia selalu yakin bahwa dengan berjejaring dan menjadi sahabat pemerintah, maka isu-isu inklusi disabilitas ini dengan cepat akan menyebar. 

Elmi dan GARAMIN punya harapan agar kebijakan-kebijakan terkait disabilitas ini bisa diterapkan oleh semua lapisan masyarakat agar para penyandang disabilitas tidak semakin termarjinalkan.

“Selama ini sudah ada kebijakan yang dibuat oleh pemerintah, bahkan ada Pergub juga. Namun, sayangnya implementasinya kurang. Ketika kita bicara tentang hak-hak disabilitas, banyak masyarakat yang menganggap bahwa ini tanggung jawab pemerintah dan dinsos. Padahal ini tugas dan tanggung jawab bersama dan isu multi sektor. Seperti contohnya, kalau disabilitas ini ya sekolahnya SLB, padahal sekolah formal juga bisa.”

Elmi juga menambahkan bahwa perjuangan inklusi disabilitas ini adalah tugas bersama dan perjuangan yang panjang. Di NTT sendiri, pergerakan ini  sudah dimulai sejak 10 tahun lalu, namun stigma buruk tentang disabilitas itu masih terjadi sampai sekarang. 

Sebagai sebuah pergerakan penting bagi komunitasnya, tentu saja GARAMIN memiliki sebuah impian besar. GARAMIN memiliki impian untuk bisa mewujudkan sebuah Desa Inklusi. Ia menuturkan, keinginannya untuk mewujudkan Desa Inklusi ini karena dirinya dan teman-temannya banyak yang tinggal di desa. Banyak teman-teman difabel yang tinggal di desa masih sering terkena stigma dan perlakuan diskriminatif dari masyarakat. 

“Impian kami ke depan, dari salah satu desa yang menjadi desa dampingan GARAMIN, ketika desa ini sudah jadi desa inklusi nantinya bisa menjadi contoh untuk 64 desa di kabupaten Kupang,” papar Elmi dengan penuh semangat.

Desa inklusi bisa menjadi tempat yang aman bagi teman-teman penyandang disabilitas, bukan hanya untuk tinggal namun juga untuk lebih berdaya dan berpartisipasi aktif selayaknya masyarakat pada umumnya. Tentu saja untuk mewujudkannya, pemerintah maupun masyarakat harus melibatkan para penyandang disabilitas untuk menyampaikan suara dan berpartisipasi aktif. Elmi menuturkan pendapatnya tentang konsep inklusivitas di dalam sebuah lingkungan,

“Ketika sudah memberikan mereka kesempatan, dan melibatkan untuk berpartisipasi aktif. Jika penyandang disabilitas sudah menikmati fasilitasnya, semua program dan kegiatan di desa itu bisa dinikmati oleh semua orang termasuk kelompok rentan, itu baru bisa disebut inklusi. Ketika kita membicarakan tentang inklusi itu adalah tentang bagaimana sikap kita. Bagaimana penerimaan kita terhadap kelompok rentan.”

Mimpi Elmi dan GARAMIN sejatinya juga merupakan mimpi bersama masyarakat Indonesia. Menjadi inklusif dan bisa menyediakan ruang yang aman bagi semua lapisan masyarakat adalah hal terindah yang bukan tidak mungkin untuk diwujudkan.

Semangat perjuangan Elmi, GARAMIN, teman-teman penyandang disabilitas maupun organisasi-organisasi difabel lainnya patut untuk didukung oleh semua lapisan masyarakat dan berbagai pihak. Gak seharusnya kita melihat penyandang disabilitas dri kekurangannya. Mari kita semua berdayakan teman-teman difabel dan juga menjadi inklusif, karena kita satu Indonesia!

Baca Juga: Merajut Asa Anak di Pelosok Negeri melalui Edukasi dan Literasi 

Erventina Santoso Photo Verified Writer Erventina Santoso

Member IDN Times Community ini masih malu-malu menulis tentang dirinya

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Izza Namira

Berita Terkini Lainnya