Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi bersikap dewasa (pexels.com/Andrea Piacquadio)
ilustrasi bersikap dewasa (pexels.com/Andrea Piacquadio)

Intinya sih...

  • Menyalahkan orang lain atas perasaan sendiri

  • Ketergantungan pada validasi eksternal

  • Menghindari konflik dengan menekan emosi

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Menjadi dewasa secara emosional bukan sekadar soal usia atau seberapa banyak pengalaman hidup yang kamu miliki. Kedewasaan emosional lebih berkaitan dengan bagaimana kamu mengenali, mengelola, dan mengekspresikan perasaan dengan sehat dan bertanggung jawab. Sayangnya, banyak dari kita masih terjebak dalam pola pikir atau kebiasaan yang justru menghambat pertumbuhan ini.

Jika kamu ingin lebih stabil, bijaksana, dan sehat secara emosional, ada beberapa hal yang perlu kamu tinggalkan. Berikut ini adalah lima hal utama yang perlu kamu lepaskan agar bisa tumbuh menjadi pribadi yang lebih dewasa secara emosional.

1. Menyalahkan orang lain atas perasaanmu sendiri

ilustrasi menyalahkan orang lain (pexels.com/RDNE Stock project)

Salah satu kebiasaan yang paling umum tapi paling merusak dalam perkembangan emosional adalah menyalahkan orang lain atas emosi yang kita rasakan. Misalnya, mengatakan "Dia bikin aku marah" seolah-olah orang lain punya kendali penuh atas perasaan kita. Padahal, emosi seperti marah, sedih, atau kecewa muncul dari dalam diri kita sebagai respons terhadap suatu situasi. Orang lain mungkin memicu perasaan itu, tapi bagaimana kamu menanggapi dan memprosesnya adalah tanggung jawabmu sendiri.

Dewasa secara emosional berarti mampu berhenti menyalahkan orang lain dan mulai mengambil alih tanggung jawab atas emosi sendiri. Ini bukan tentang membenarkan tindakan orang lain, tapi tentang mengakui bahwa kamu punya kuasa untuk memilih bagaimana merespons. Dengan cara ini, kamu tidak lagi dikendalikan oleh keadaan atau orang lain, melainkan oleh kesadaran dan pengendalian diri yang kamu miliki.

2. Ketergantungan pada validasi eksternal

ilustrasi sedang meeting (pexels.com/Kindel Media)

Rasa ingin dihargai dan diakui adalah hal yang manusiawi. Namun, ketika kamu terlalu menggantungkan kebahagiaan dan harga dirimu pada pendapat orang lain, kamu akan terjebak dalam siklus yang melelahkan. Hidupmu akan dipenuhi kecemasan: takut tidak disukai, takut gagal, takut tidak cukup baik di mata orang lain. Validasi eksternal bisa memberikan dorongan sesaat, tapi tidak bisa menjadi fondasi yang stabil bagi kesehatan emosional.

Untuk menjadi dewasa secara emosional, kamu harus belajar memberikan validasi pada dirimu sendiri. Ini berarti kamu mengakui pencapaianmu, menerima kekuranganmu, dan tetap merasa cukup meskipun tidak ada yang memuji. Ketika kamu tidak lagi bergantung pada pengakuan orang lain, kamu akan lebih percaya diri, tidak mudah goyah oleh kritik, dan bisa hidup sesuai nilai serta prinsip yang kamu yakini.

3. Menghindari konflik dengan menekan emosi

ilustrasi menahan emosi (pexels.com/Pavel Danilyuk)

Banyak orang percaya bahwa menjadi dewasa berarti menghindari konflik dan selalu bersikap tenang. Tapi kenyataannya, menghindari konflik dengan cara menekan emosi justru bisa menjadi bom waktu. Emosi yang dipendam terus-menerus bisa berubah menjadi kemarahan tersembunyi, kebencian, atau bahkan stres kronis. Menghindari konfrontasi memang tampak aman, tapi dalam jangka panjang, itu merusak hubungan dan kesehatan mentalmu sendiri.

Dewasa secara emosional berarti tahu bagaimana mengelola konflik secara sehat, bukan menghindarinya. Kamu tidak perlu berteriak atau menyerang, tapi kamu juga tidak harus diam saja saat merasa tidak nyaman. Dengan komunikasi yang jujur, terbuka, dan asertif, kamu bisa menyampaikan perasaan tanpa menyakiti diri sendiri maupun orang lain. Ini menunjukkan bahwa kamu cukup kuat untuk menghadapi ketidaknyamanan demi kebaikan jangka panjang.

4. Ekspektasi tidak realistis terhadap orang lain

ilustrasi komunikasi dengan rekan kerja (pexels.com/olia danilevich)

Banyak kekecewaan dalam hidup berasal dari ekspektasi yang tidak realistis. Kita sering berharap orang lain akan bersikap seperti kita, memahami kita tanpa dijelaskan, atau selalu tahu apa yang kita butuhkan. Padahal, setiap orang punya latar belakang, cara berpikir, dan kapasitas emosional yang berbeda. Ketika ekspektasi kita terlalu tinggi dan tidak dikomunikasikan, yang datang bukan kedekatan, tapi rasa frustrasi.

Meninggalkan ekspektasi yang tidak realistis bukan berarti kamu tidak boleh berharap sama sekali. Justru, kamu belajar membedakan antara harapan yang sehat dan ilusi. Orang lain tidak bisa selalu memenuhi kebutuhanmu dan itu tidak masalah. Dewasa secara emosional berarti kamu mampu menerima kekurangan orang lain, menetapkan batasan yang sehat, dan memilih untuk berkomunikasi secara terbuka daripada hanya berharap dalam diam.

5. Terjebak dalam masa lalu

ilustrasi merasa sedih (pexels.com/Pixabay)

Masa lalu bisa menjadi pelajaran berharga, tapi juga bisa menjadi belenggu jika terus dibawa ke masa kini. Banyak orang sulit mempercayai lagi karena pernah dikhianati, atau tidak berani mencoba karena pernah gagal. Luka lama, rasa bersalah, dan penyesalan bisa menghalangi kita untuk tumbuh. Kita jadi terlalu hati-hati, terlalu keras pada diri sendiri, atau bahkan takut mencintai lagi.

Dewasa secara emosional bukan berarti melupakan masa lalu, tapi belajar untuk tidak hidup di dalamnya. Kamu bisa mengakui bahwa apa yang terjadi dulu menyakitkan, tapi kamu juga punya pilihan untuk tidak terus-menerus mengulangnya dalam pikiran. Setiap hari adalah kesempatan untuk berubah, dan kamu bukan lagi orang yang sama seperti dulu. Kamu berhak melepaskan beban lama dan menciptakan masa depan yang lebih sehat, lebih sadar, dan lebih damai.

Kedewasaan emosional bukan sesuatu yang tiba-tiba datang, melainkan hasil dari pilihan sadar untuk meninggalkan hal-hal yang menghambatmu. Menyalahkan orang lain, mengejar validasi eksternal, memendam emosi, menaruh ekspektasi yang tidak realistis, dan hidup di masa lalu adalah lima pola yang perlu kamu lepaskan jika ingin benar-benar tumbuh.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team