pexel.com/andrea piacquadio
Perihal onani yang dilakukan ketika puasa dapat ditemukan pada Kitab Al-Majmu yang menyebutkan, "Bila seseorang melakukan onani dengan tangannya–yaitu upaya mengeluarkan sperma–, maka puasanya batal tanpa ikhtilaf ulama bagi kami sebagaimana disebutkan oleh penulis matan (As-Syairazi).” (Lihat Imam An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, [Kairo, Al-Maktabah At-Taufiqiyyah: 2010 M], juz VI, halaman 286)
Artinya, aktivitas onani yang dilakukan hingga ejakulasi dapat membatalkan puasa karena kesamaan ejakulasi yang disebabkan mubasyarah. Hal ini ditegaskan pula dalam Kitab Al-Majmu yang berbunyi:
وان استمنى فانزل بطل صومه لانه انزال عن مباشرة فهو كالانزال عن القبلة ولان الاستمناء كالمباشرة فيما دون الفرج من الاجنبية في الاثم والتعزير فكذلك في الافطار
Artinya:
“Jika seseorang beronani lalu keluar mani atau sperma (ejakulasi) maka puasanya batal karena ejakulasi sebab kontak fisik (mubasyarah) laki-laki dan perempuan memiliki kedudukan yang sama dengan ejakulasi sebab ciuman. Onani memiliki konsekuensi yang sama dengan kontak fisik pada selain kemaluan antara laki-laki dan perempuan, yaitu soal dosa dan sanksi takzir. Demikian juga soal pembatalan puasa.” (Lihat Imam An-Nawawi, 2010 M: VI/284)
Jadi, onani menurut pandangan mazhab Maliki, Syafi’i, Hanbali, dan mayoritas ulama Hanafi, dapat membatalkan puasa. Bagi mereka, sentuhan kelamin laki-laki dan perempuan tanpa ejakulasi dapat membatalkan puasa. Tentu, ejakulasi dengan orgasme (penuh syahwat) lebih-lebih lagi membatalkan puasanya. (Al-Mausuatul Fiqhiyyah Al-Quwaitiyyah, [Kuwait, Wizaratul Awqaf was Syu’unul Islamiyyah: 1404-1427 H], juz IV, halaman 100)