Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

4 Penyebab Imajinasi Masa Kecil mulai Menghilang Seiring Usia

ilustrasi anak-anak (pexels.com/Monstera Production)
ilustrasi anak-anak (pexels.com/Monstera Production)
Intinya sih...
  • Pendidikan formal menekankan hasil dan mengurangi ruang untuk berpikir kreatif
  • Imajinasi terhambat oleh tekanan sosial dan prioritas pada produktivitas dan efisiensi
  • Kurangnya aktivitas kreatif saat bertambahnya usia memengaruhi kemampuan imajinatif

Seiring bertambahnya usia, banyak orang merasa bahwa daya imajinasi yang dulu begitu hidup mulai memudar. Anak-anak dapat menciptakan dunia fantasi lengkap hanya dari beberapa mainan sederhana atau potongan kardus, sementara orang dewasa cenderung berpikir lebih realistis, logis, dan terbatas pada hal-hal yang praktis. Fenomena ini bukan sekadar perubahan selera atau kedewasaan, tetapi berakar dari berbagai faktor psikologis dan sosial yang memengaruhi cara berpikir dan berkreasi.

Imajinasi adalah fondasi dari kreativitas, inovasi, dan kemampuan untuk berpikir di luar kebiasaan. Ketika kemampuan ini berkurang, seseorang bisa menjadi lebih kaku dalam menghadapi masalah, kurang terbuka terhadap ide baru, dan kehilangan semangat eksplorasi yang dulunya sangat kuat di masa kecil. Untuk memahami perubahan ini, berikut adalah empat penyebab utama imajinasi masa kecil mulai menghilang seiring usia.

1. Pendidikan yang terlalu fokus pada hasil

ilustrasi mahasiswa yang sedang stres (pexels.com/Andrea Piacquadio)
ilustrasi mahasiswa yang sedang stres (pexels.com/Andrea Piacquadio)

Sistem pendidikan formal sering kali menekankan pencapaian nilai, penguasaan fakta, dan pengulangan informasi. Proses ini dapat mengurangi ruang untuk berpikir bebas dan mengeksplorasi ide tanpa batas. Ketika kreativitas tidak diberi tempat, anak-anak mulai belajar bahwa berimajinasi tidak seberapa dihargai dibandingkan kemampuan menghafal atau menjawab soal dengan benar. Hal ini menggeser fokus dari proses berpikir kreatif menjadi pencapaian hasil semata.

Ujian standar, tugas yang kaku, dan kurikulum yang padat mengajarkan bahwa ada satu jawaban benar untuk setiap pertanyaan. Kondisi ini perlahan mengikis keberanian untuk berpikir berbeda dan bereksperimen. Anak yang awalnya suka berimajinasi bisa merasa takut salah, lalu memilih untuk menyesuaikan diri dengan pola pikir yang sudah ditentukan. Tanpa disadari, kebebasan berpikir yang dulu sangat luas mulai terbatasi oleh sistem.

2. Tekanan sosial

ilustrasi rekan kerja (pexels.com/fauxels)
ilustrasi rekan kerja (pexels.com/fauxels)

Saat tumbuh dewasa, seseorang semakin terikat pada norma sosial dan ekspektasi lingkungan. Imajinasi yang dulu bebas tanpa batas mulai dinilai aneh atau tidak relevan jika tidak sesuai dengan standar umum. Rasa takut akan penilaian orang lain membuat seseorang ragu untuk mengekspresikan ide-ide unik atau imajinatif. Akibatnya, proses berpikir kreatif terhambat oleh kebutuhan untuk diterima secara sosial.

Kebiasaan untuk mengikuti apa yang dianggap wajar oleh orang lain sering kali terjadi tanpa disadari. Dalam lingkungan kerja, pendidikan, maupun pergaulan, ada kecenderungan untuk tidak terlihat berbeda. Imajinasi pun dianggap sebagai sesuatu yang kekanak-kanakan atau tidak produktif, sehingga secara perlahan mulai disingkirkan dari kebiasaan berpikir sehari-hari. Proses ini berlangsung bertahap, tapi berdampak besar dalam jangka panjang terhadap kemampuan berpikir kreatif.

3. Prioritas pada produktivitas dan efisiensi

ilustrasi bekerja (pexels.com/cottonbro studio)
ilustrasi bekerja (pexels.com/cottonbro studio)

Dunia orang dewasa sangat menghargai produktivitas dan efisiensi. Semakin banyak tugas yang bisa diselesaikan dalam waktu singkat, semakin baik seseorang dinilai dalam pekerjaan atau kehidupan sehari-hari. Dalam konteks ini, berimajinasi sering dianggap sebagai gangguan atau kegiatan yang tidak efisien. Akibatnya, waktu untuk melamun, bereksperimen, atau berkhayal pun terpinggirkan oleh tuntutan untuk terus bergerak cepat.

Selain itu, rutinitas yang berulang dan tekanan waktu membuat otak terbiasa berpikir dalam pola yang sama. Tanpa kesempatan untuk jeda dan mengeksplorasi ide baru, otak menjadi kurang fleksibel dan sulit membayangkan hal-hal di luar kebiasaan. Imajinasi membutuhkan ruang untuk tumbuh, dan ruang tersebut sering kali dikorbankan demi jadwal yang padat dan target yang harus dicapai setiap hari.

4. Kurangnya aktivitas kreatif

ilustrasi anak yang sedang bermain bricks (unsplash.com/Kelly Sikkema)
ilustrasi anak yang sedang bermain bricks (unsplash.com/Kelly Sikkema)

Anak-anak secara alami terpapar pada berbagai aktivitas yang merangsang imajinasi, seperti bermain, menggambar bebas, atau mendongeng. Namun, seiring bertambahnya usia, aktivitas semacam ini mulai ditinggalkan dan digantikan oleh kegiatan yang lebih serius atau dewasa. Jika tidak ada usaha untuk tetap melibatkan diri dalam kegiatan kreatif, kemampuan imajinatif pun akan memudar karena tidak lagi terasah.

Lingkungan juga memainkan peran besar dalam hal ini. Jika seseorang tidak dikelilingi oleh budaya yang menghargai kreativitas, maka sulit untuk mempertahankan semangat berimajinasi. Bahkan, teknologi yang seharusnya mendukung kreativitas kadang justru menjadi pengalih perhatian yang membuat seseorang pasif terhadap proses berpikir aktif. Imajinasi bukanlah bakat yang hilang begitu saja, melainkan kemampuan yang perlu dirawat secara konsisten.

Imajinasi masa kecil mulai menghilang seiring usia bukanlah hal yang aneh. Melainkan itu adalah proses perlahan akibat berbagai faktor eksternal dan internal yang saling memengaruhi. Beberapa faktor di atas berkontribusi terhadap memudarnya daya imajinasi yang dulu begitu kuat saat masih kecil. Dengan memahami penyebab-penyebab ini, kita dapat menjaga dan menghidupkan kembali imajinasi sebagai bagian penting dari cara berpikir yang kreatif dan solutif.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Debby Utomo
EditorDebby Utomo
Follow Us