Satu dari tiga pekerja mengatakan bahwa sangat sulit untuk bisa menyeimbangkan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi dan keluarga mereka. Sebuah studi yang dilakukan oleh EY sebuah firma pelayanan professional tentang job insecurity, bekerja dengan orang-orang yang zona waktunya berbeda dan harus selalu terkoneksi secara digital adalah salah satu alasan meningkatnya beban kerja. Berada di tempat kerja seperti bukan keinginan kita atau malah kita menjadi 'budak' gadget, alat dan aplikasi yang terus menerus terkoneksi.
Sorang konsultan HRD, Ed Baldwin, mengatakan bahwa para pekerja melihat sosok pemimpin itu sangat sibuk, malah mereka menginginkan peran itu agar terlihat sibuk. Berdandan untuk pekerjaan yang kita inginkan dan bertemu dengan orang-orang yang menginkan kita terlihat seperti mereka. Namun “sibuk” bisa menjadi sebuah ujian bagaimana cara kita berpikir. Mengharapkan suatu kesan yang baik dan postitif malah sebaliknya malah kita terkesan tidak efisien dan kasar.
Menurutnya, suatu kesalahpahaman umum bahwa dengan tampil “sibuk”, padahal kamu tidak sesibuk yang dibayangkan, merupakan sinyal bahwa kamu sangat bernilai, baik bagi bos, teman kerja ataupun di keluarga bahkan teman. Mungkin ada saatnya kalau kamu itu memang benar-benar sibuk. Namun sampai pada suatu saat, secara tidak sadar menjadi sibuk adalah sebuah cara respon yang harus dilakukan. Keadaan itu memberi kesan kepada orang lain yang mendengar atau melihat bahwa kamu itu tidak bisa memprioritaskan waktu, bahkan kamu tidak menjadi pilihan dan prioritas bagi mereka karena "sibuk".
Kesibukan dan kurangnya waktu luang ataupun liburan menjadi simbol status