Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi orang makan (pexels.com/Koolshooters)

Intinya sih...

  • Belanja berlebihan bisa menjadi tanda adanya masalah emosional yang belum terselesaikan, terutama jika dilakukan sebagai pelarian dari rasa kesepian atau stres.

  • Makan berlebihan atau terlalu sedikit dapat menjadi masalah saat digunakan untuk mengisi kekosongan emosional, namun pola ini bisa diubah dengan langkah kecil.

  • Olahraga berlebihan bisa merusak kesehatan mental dan fisik, terutama jika seseorang merasa nilai diri tergantung pada seberapa keras mereka berolahraga.

Ada banyak kebiasaan yang dianggap sehat dan positif yang tampak seperti bagian dari gaya hidup seimbang. Namun siapa sangka, ketika dilakukan secara berlebihan atau tanpa kesadaran penuh, kebiasaan-kebiasaan ini bisa berubah menjadi bentuk pelarian atau bahkan kecanduan yang merusak kesehatan mental.

Sering kali kita tidak sadar bahwa sesuatu yang terasa baik justru menyembunyikan rasa cemas, kesepian, atau kebutuhan emosional yang belum terpenuhi. Kita terus melakukannya karena merasa lebih tenang atau bernilai, padahal itu hanya solusi sementara. Berikut deretan kebiasaan positif yang awalnya terasa menyenangkan dan bermanfaat, tapi ternyata bisa menimbulkan kecanduan.

1. Belanja berlebihan

ilustrasi belanja (pexels.com/Andrea Piacquadio)

Awalnya terasa menyenangkan memilih barang lucu lalu menunggu paket datang. Namun ketika seseorang terus membeli barang yang sebenarnya tidak dibutuhkan, itu bisa menjadi tanda ada hal emosional yang belum terselesaikan. Sebagian orang mengumpulkan puluhan sepatu atau tas bukan karena membutuhkannya, tapi karena itu membuatnya merasa dihargai atau dianggap berhasil.

Setiap kali kita membeli sesuatu, otak melepaskan dopamin atau zat kimia yang membuat kita merasa senang. Perasaan senang inilah yang membuat kita ingin mengulanginya seperti siklus adiktif. Studi tahun 2022 menunjukkan bahwa kecanduan belanja bisa berkembang tanpa disadari, terutama ketika belanja dijadikan pelarian dari rasa kesepian, stres, atau kekosongan dalam hidup.

2. Makan berlebihan atau terlalu sedikit

ilustrasi konsumsi junk food (pexels.com/Tim Samuel)

Makan adalah aktivitas yang alami dan menyenangkan, tapi bisa berubah jadi masalah saat digunakan untuk mengisi kekosongan emosional. Sebagian orang makan berlebihan karena stres, kesepian, atau sekadar bosan. Sementara yang lain justru terlalu membatasi makan karena terjebak dalam obsesi terhadap bentuk tubuh seperti pada kasus anoreksia atau bulimia.

Kebiasaan ini seringkali dimulai sejak kecil, bahkan diwariskan dari lingkungan keluarga. Namun, pola ini bisa diubah. Mulailah dengan hal kecil seperti berjalan kaki untuk mengalihkan fokus atau mencari cara lain untuk mengekspresikan emosi. Saat kita sadar bahwa makan bukan satu-satunya sumber kenyamanan, kita mulai bisa mengatur kembali hubungan kita dengan makanan.

3. Olahraga berlebihan

ilustrasi olahraga (pexels.com/Leon Ardho)

Olahraga sangat penting untuk kesehatan fisik dan mental, tapi ketika dilakukan secara ekstrem, bisa berubah menjadi kebiasaan yang merusak. Ada orang yang merasa bersalah jika melewatkan satu sesi olahraga atau terus memaksa diri meskipun tubuh sudah lelah dan terluka. Orang seperti ini merasa nilai diri tergantung pada seberapa keras mereka berolahraga.

Kecanduan olahraga seringkali tersembunyi di balik pujian tentang disiplin atau dedikasi. Namun di balik itu, bisa jadi ada rasa cemas yang terus-menerus dan ketakutan kehilangan kontrol atas tubuh atau hidup. Sehat bukan berarti harus sempurna. Terkadang istirahat juga bagian dari merawat diri.

4. Meditasi dan self-care berlebihan

ilustrasi self-care (pexels.com/Alex P)

Meditasi dan perawatan diri adalah cara yang bagus untuk menenangkan pikiran. Namun, jika dilakukan secara obsesif atau dijadikan pelarian terus-menerus dari realita, ini bisa menjadi bentuk lain dari penghindaran. Beberapa orang begitu terobsesi menciptakan momen tenang hingga merasa cemas saat hidup tidak berjalan sesuai rencana atau terasa tidak sempurna.

Perawatan diri bukan soal lilin aromaterapi dan mandi busa saja. Ini juga soal menghadapi tantangan hidup yang nyata, bukan sekadar bersembunyi dari mereka. Jika praktik self-care membuat kita menghindari hubungan, pekerjaan, atau tanggung jawab penting, mungkin saatnya untuk benar-benar menyembuhkan bukan justru menunda luka yang perlu kita hadapi.

5. Produktivitas tanpa henti

ilustrasi tekanan akademik (pexels.com/Andrea Piacquadio)

Merasa harus terus sibuk agar merasa bernilai? Banyak orang terjebak dalam pola ini. Mereka bekerja lembur, menyusun to-do list panjang setiap hari, dan merasa bersalah saat beristirahat. Padahal, di balik semangat produktif itu, bisa tersembunyi rasa takut dianggap tidak cukup atau tidak berguna.

Obsesi terhadap produktivitas sering muncul dari tekanan sosial dan budaya harus sukses. Namun, tubuh dan pikiran juga butuh jeda. Beristirahat bukan berarti malas, justru saat kita memberi ruang untuk diri sendiri, kita bisa bekerja dengan lebih jernih dan bijak.

Kebiasaan positif bisa membawa manfaat besar, tapi saat dilakukan secara berlebihan, mereka bisa jadi bumerang bagi kesehatan mental. Di balik rutinitas yang tampak sehat, sering tersembunyi dorongan emosional yang belum disadari. Nah, apakah yang kamu lakukan benar-benar membuatmu bahagia atau hanya sekadar membuatmu merasa aman sesaat?

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team