Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

5 Kebiasaan Sehari-hari yang Toxic Masculinity, Apa Saja?

Ilustrasi seorang pria (Pexels.com/cottonbro studio)
Intinya sih...
  • Menahan emosi bukan tanda kekuatan, melainkan mematikan sisi manusiawi
  • Menghindari ekspresi emosi memperkuat stigma bahwa kepekaan itu aib
  • Perlindungan sehat tidak bersifat mengekang, tapi mendukung dari samping

Di tengah perubahan sosial yang makin progresif, banyak dari kita mulai sadar bahwa tidak semua nilai yang diwariskan dari generasi sebelumnya cocok dipertahankan. Termasuk maskulinitas beracun atau toxic masculinity. Ini bukan berarti menjadi laki-laki adalah hal yang salah, tetapi ada sejumlah sikap dan pola pikir yang sering dianggap “laki banget” padahal justru merugikan diri sendiri dan orang lain. Masalahnya, banyak dari kebiasaan ini berlangsung begitu halus dalam kehidupan sehari-hari, sehingga kita tidak menyadari bahwa kita sedang mendukung sesuatu yang membatasi, bahkan menyakiti.

Kita tumbuh dalam masyarakat yang sering menganggap kejantanan harus ditunjukkan lewat dominasi, kekuatan fisik, atau sikap dingin terhadap emosi. Sayangnya, ini menciptakan tekanan besar, baik bagi laki-laki maupun orang-orang di sekitarnya. Artikel ini akan mengajak kamu melihat lima kebiasaan harian yang mungkin terasa normal, tapi sebenarnya adalah bentuk toxic masculinity yang seharusnya mulai kita sadari dan ubah. Ini bukan soal menyalahkan, tapi soal belajar untuk menjadi lebih sehat secara emosional, sosial, dan mental.

1. Menahan emosi karena takut dianggap lemah

Ilustrasi seorang pria (Pexels.com/Alena Darmel)

“Cowok gak boleh nangis.” Kalimat ini mungkin terdengar familiar dan seringkali dianggap sebagai nasihat membentuk karakter. Tapi, kenyataannya, menahan emosi bukanlah tanda kekuatan, justru sebaliknya, itu bisa menumpuk jadi luka psikologis. Ketika kamu terus-menerus memaksa diri untuk kuat hanya karena takut dianggap ‘lemah’, kamu sedang mematikan sisi manusiawimu sendiri. Padahal, rasa sedih, takut, atau cemas adalah bagian dari hidup yang wajar dan perlu diproses dengan sehat.

Jika kita terus menghindari ekspresi emosi demi mempertahankan citra “tangguh”, kita bukan hanya mengabaikan kesehatan mental sendiri, tapi juga memperkuat stigma bahwa kepekaan itu aib. Padahal, kemampuan untuk mengenali dan mengelola emosi adalah bagian dari kecerdasan emosional, dan itu adalah kualitas pemimpin yang baik. Kamu bisa tetap maskulin tanpa harus menolak air mata. Justru dengan menjadi jujur pada perasaanmu, kamu sedang membangun kejantanan yang sehat dan berdaya.

2. Menganggap perempuan harus "diatur" atau dilindungi secara berlebihan

Ilustrasi seorang pria (Pexels.com/Ron Lach)

Seringkali, niat melindungi perempuan berubah menjadi kontrol terselubung. Saat kamu merasa harus menentukan pakaian, aktivitas, atau teman perempuanmu demi “menjaga” mereka, sesungguhnya kamu sedang memaksakan kehendak atas nama perhatian. Ini bentuk toxic masculinity yang berakar pada anggapan bahwa perempuan tidak mampu menjaga dirinya sendiri, dan bahwa laki-laki harus selalu memegang peran dominan dalam relasi.

Bentuk perlindungan yang sehat tidak bersifat mengekang. Kita perlu belajar membedakan antara peduli dan posesif. Perempuan adalah individu merdeka yang punya hak menentukan hidupnya. Ketika kamu sungguh menghargai seseorang, kamu tidak merasa perlu mengontrolnya. Sebaliknya, kamu percaya pada pilihan dan kemampuannya, dan siap mendukung dari samping, bukan dari atas.

3. Menyepelekan aktivitas atau minat yang dianggap "perempuan banget"

Ilustrasi seorang pria (Pexels.com/MART PRODUCTION)

Berapa kali kamu mendengar orang meremehkan laki-laki yang suka memasak, merawat kulit, atau menari karena dianggap “kurang jantan”? Ini adalah bentuk lain dari toxic masculinity yang membatasi potensi dan kebebasan kita untuk berkembang. Padahal, minat dan hobi tidak punya jenis kelamin. Ketika kamu membiarkan pandangan sempit ini mempengaruhimu, kamu sedang menutup pintu untuk banyak hal yang bisa membuat hidupmu lebih kaya dan menyenangkan.

Tidak ada yang salah dengan laki-laki yang suka seni, peduli penampilan, atau menikmati pekerjaan rumah tangga. Justru, semakin kamu nyaman dengan dirimu sendiri tanpa harus memenuhi ekspektasi sosial yang kaku, kamu akan jadi pribadi yang lebih otentik dan berdaya. Dunia tidak butuh lebih banyak “pria sejati” versi stereotip; dunia butuh lebih banyak manusia yang utuh.

4. Berlomba jadi alpha: kompetitif sampai lupa kolaboratif

Ilustrasi seorang pria (Pexels.com/MART PRODUCTION)

Dorongan untuk selalu jadi nomor satu bisa mendorong kita jadi sangat kompetitif, bahkan dalam situasi yang seharusnya kolaboratif. Ini terlihat dari cara sebagian laki-laki bersikap di kantor, lingkungan pertemanan, bahkan dalam percintaan, selalu ingin mendominasi, tidak mau kalah, dan sulit mengakui keberhasilan orang lain. Toxic masculinity mendorong kita untuk mengaitkan harga diri dengan status, kekuasaan, dan kemenangan.

Tapi hidup bukan ajang pertandingan tanpa akhir. Kadang, menjadi pendengar yang baik jauh lebih kuat dampaknya daripada menjadi yang paling vokal. Kolaborasi adalah kekuatan masa depan, bukan dominasi. Saat kamu mampu bekerja bersama orang lain tanpa merasa terancam oleh keberhasilan mereka, kamu sedang menunjukkan kepercayaan diri yang sejati, bukan ego yang rapuh.

5. Menghindari konsultasi kesehatan atau bantuan profesional

Ilustrasi seorang pria (Pexels.com/MART PRODUCTION)

Kebiasaan paling merugikan dari toxic masculinity adalah menolak mencari bantuan, entah itu ke dokter, terapis, atau bahkan sekadar curhat ke teman. Banyak laki-laki merasa harus bisa mengatasi semuanya sendiri, karena minta bantuan dianggap lemah atau “manja”. Akibatnya, banyak masalah kesehatan fisik dan mental tidak tertangani sampai terlambat.

Mengabaikan bantuan bukanlah keberanian, tapi bentuk penyangkalan. Justru butuh keberanian untuk mengakui bahwa kita butuh orang lain, bahwa ada saatnya kita tidak sanggup sendirian. Kesehatan bukan soal gengsi, tapi tanggung jawab. Tanda dewasa sejati adalah tahu kapan harus bertahan dan kapan harus minta tolong.

Toxic masculinity bukan tentang individu yang jahat, tapi tentang pola-pola lama yang perlu dibongkar dan ditata ulang. Kita semua pernah terjebak dalam kebiasaan-kebiasaan ini, dan perubahan butuh proses. Tapi jika kamu berani refleksi dan mulai melakukan pergeseran, sekecil apa pun, kamu sedang berkontribusi pada dunia yang lebih sehat, lebih setara, dan lebih jujur. Jadilah laki-laki yang berani menjadi manusia yang penuh rasa, sadar diri, dan peduli. Karena maskulinitas yang sejati bukan tentang kuasa, tapi tentang tanggung jawab terhadap diri dan sesama.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Merry Wulan
EditorMerry Wulan
Follow Us