ilustrasi buku (freepik.com/freepik)
Imam Nawawi juga menjelaskan,
"Hadits ini mengandung anjuran untuk menenikahkan, menikah, atau dukhul pada bulan Syawal sebagaimana pendapat yang ditegaskan oleh para ulama dari kalangan kami (madzhab Syafi’i). Mereka berargumen dengan hadits ini, Siti Aisyah ra dengan perkataan ini, bermaksud menyangkal apa telah dipraktikkan pada masa jahiliyah dan apa menguasai alam pikiran sebagian orang awam pada saat itu bahwa makruh menikah, menikahkan atau berhubungan suami istri di bulan Syawal. Padahal ini merupakan kebatilan yang tidak memiliki dasar dan pengaruh pandangan orang jahiliyah yang menganggap sial bulan tersebut karena kata Syawal yang diambil dari isyalah dan raf̕ (mengangkat)," (Muhyiddin Syaraf An-Nawawi, Al-Minhaj Syarhu Shahihi Muslim bin al-Hajjaj, Beirut-Daru Ihya`it Turats Al-‘Arabi, cet ke-2, 1392 H, juz IX, halaman 209).
Ada dua penjelasan utama dari keterangan di atas. Pertama, anggapan bahwa bulan Syawal atau bulan lainnya sebagai 'bulan sial' tidak mendapat legitimasi dari ajaran agama Islam. Kedua, para ulama khususnya dari mazhab Syafi'i, menganggap bahwa menikah, menikahkan, dan berhubungan intim yang halal di bulan Syawal hukumnya adalah sunah.