5 Ketulusan Penulis Sejati yang Berkarya Bukan untuk Dipuji

- Menulis dengan cinta, bukan sekedar ingin cari nama
- Tidak khawatir jika pembacanya sedikit
- Tidak melulu ingin dibilang pintar
Menjadi penulis itu bukan sekadar untuk mendapat pengakuan, apalagi kepopuleran. Hal ini dikarenakan kepopuleran sudah sangat pasaran dan sering jadi alasan. Jauh dari itu, ada nilai-nilai luhur yang selalu digenggam oleh seorang penulis. Yaitu ketulusan.
Di balik untaian kata-kata yang menari-nari syahdu, ketulusan itu tidak dapat disembunyikan. la malah hadir seraya menyampaikan bahwa penulis berkarya untuk berbagi, bukan dipuji. Berikut adalah lima bukti bahwa ketulusan penulis sejati yang berkarya sangatlah mahal harganya.
1. Menulis dengan cinta, bukan sekadar ingin cari nama

Penulis sejati merasa aneh jikalau hanya ikut-ikutan menulis tentang sesuatu yang tengah viral. Tidak, tidak ada yang salah, kok, kalau menulis tentang topik yang hangat saat ini. Sebab setiap orang punya hak untuk memilih topik apa yang akan ditulisnya. Bahkan sekali pun tujuan utamanya agar dikenal oleh banyak orang.
Tapi, penulis sejati lebih memilih jalan yang berbeda. Yaitu tapak kesunyian dan kesepian. Mereka menulis untuk menyampaikan. Bukan sekadar menyampaikan, mereka sertakan hati pada tiap goresan aksaranya sehingga pintu relung kalbu pembaca terbuka dengan sendirinya.
2. Tidak khawatir jika pembacanya sedikit

Apa yang sudah dicanangkan olehnya adalah menulis. Dengan catatan, bahwa ia akan terus menulis, meskipun yang membaca karyanya hanya hitungan jari atau jumlah likes di media sosialnya sangat-sangat minim. la tidak keberatan dengan itu. Bahkan ketika hanya satu orang saja yang membaca karyanya, maka ia bakal tersenyum dengan penuh rasa syukur.
3. Tidak melulu ingin dibilang pintar

Sejak awal, mereka tidak berniat pamer. Bahkan kosakata yang kaya dan kadang bikin bertanya-tanya itu adalah cara si penulis juga ikut belajar. Karena diksi-diksi yang termuat di KBBI sudah tidak terhitung lagi jumlahnya. Kalau tidak pernah ditampakkan, lantas mau menunggu berapa lama lagi? Justru dengan menyematkan pada tulisannya, itu menunjukkan bahwa mereka tidak serta merta tahu segalanya. Mereka juga perlu untuk menggali, kemudian berbagi kepada pembaca, sehingga sama-sama memperluas wawasan. Sungguh bijaksana, bukan?
4. Mengutamakan makna

Mereka menulis bukan untuk dielu-elukan apalagi buat gagah-gagahan. Jauh dari itu, apa yang menjadi keinginan terbesar mereka adalah menebarkan manfaat. Bahkan pada kalimat yang sederhana sekali pun, mereka berusaha untuk selalu mampu menginpirasi.
Hal inilah yang jadi alasan mereka bertahan sampai dengan detik ini. Mereka menulis tidak hanya untuk mencari nama, tapi bagaimana pembaca dapat merasa hangat selepas menyelami karya-karya mereka. Karena poin utamanya adalah membangun kedekatan dengan pembaca, bukan malah menjaga jarak meninggikan batas.
5. Tetap menulis, bahkan ketika itu adalah jalan yang sunyi

Mereka akan terus mencari ide, merumuskan gagasan hingga menggoreskan penanya. Sampai menjelma jadi karya utuh nan menyentuh. Tidak peduli betapa ramainya, mereka tidak akan berhenti sebab menulis sudah jadi kebutuhan, bukan lagi pengakuan. Tidak mendapat apresiasi, mereka tidak berkecil hati. Bahkan jalan yang sunyi pada dunia kepenulisan tidak akan pernah menghalangi semangat mereka. Itulah jangan heran, kalau mereka datang untuk menegaskan, bahwa penulis tulus itu tidak akan pernah ada habisnya, selalu ada gantinya.
Nah, kesimpulannya adalah ketulusan penulis sejati itu tidak perlu tersorot. Karena kalimat-kalimatnya sendiri yang berbicara dengan lantang di hadapan pembaca. Bagaimana menurutmu?