Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Cup of Stories: Langkah Fitri Jayanthi Bangun Support untuk Anak Muda

Psikolog klinis dan co founder Cup of Stories, Fitri Jayanthi. (dok.Fitri Jayanthi)
Intinya sih...
  • Fitri Jayanthi, psikolog klinis dan co-founder Cup of Stories, membangun komunitas sebagai ruang aman untuk berbagi dan merilis emosi.
  • Cup of Stories memfasilitasi berbagai kegiatan untuk bertumbuh bersama, seperti healing trip, group sharing, jorunaling, hingga seminar.
  • Fitri menerapkan teori self-compassion dalam membantu individu mengatasi masalah emosional dan menekankan pentingnya konseling ke tenaga ahli.

Jakarta, IDN Times - Tekanan besar dan masalah yang pelik sering kali membuat seseorang merasa kesulitan melalui hari-harinya. Sayangnya, masalah emosional ini kerap menjadi isu yang diabaikan, memunculkan kesepian, bahkan membuat individu merasa terasing karena pengabaian perasaan.

Dalam perjalanan hidup, keberadaan orang-orang yang memberi dukungan emosional dan kekuatan mental menjadi hal berharga. Support system menjadi tempat seseorang untuk saling bersandar dengan cara berbagi. Saling merangkul dan memahami akan membuat seseorang merasa tidak sendirian. 

Psikolog klinis dan co founder Cup of Stories, Fitri Jayanthi, memahami betul permasalahan kurangnya dukungan atau support system yang kerap membuat orang merasa kesulitan melalui problematika kehidupan. Atas dasar ini, Fitri membangun komunitas Cup of Stories sebagai ruang aman untuk berbagi dan merilis emosi. 

Kisah inspiratif Fitri membangun Cup of Stories dilandasi atas pengalaman pribadinya yang sempat menjadi penyintas penyakit langka. Hal ini ia bagikan dalam wawancara khusus bersama IDN Times pada Rabu (18/12/24). Bagaimana kisah Fitri setelah berhasil bangkit dari titik terendah dalam hidupnya hingga menginisiasi Cup of Stories? Simak penuturannya dalam artikel di bawah ini! 

1. Support system kerap dianggap sepele, padahal punya dampak besar bagi kesehatan mental

Psikolog klinis dan co founder Cup of Stories, Fitri Jayanthi. (dok.Fitri Jayanthi)

Di tengah ramainya isu kesehatan mental, mungkin tak banyak yang menyoroti pentingnya support system sebagai bagian dalam menangani problem kesehatan jiwa. Keterpurukan dalam menghadapi masalah emosional seorang diri kian memperpanjang penderitaan manusia.

Sebagai seorang psikolog klinis, Fitri melihat banyak orang acap kali merasa terasing dengan masalah yang dihadapinya. Seolah problem yang menimpa hidup begitu besar dan tak ada orang lain yang pernah mengalami hal serupa, maka timbullah prasangka bahwa hidup yang dilaluinya begitu berat kemudian muncul rasa tak sanggup untuk menjalani seorang diri. 

"Sebetulnya mereka tuh gak ada tempat didengerin sih, terus habis itu mereka tuh gak dipahami, jadi rata-rata tuh setiap yang datang ke situ mereka tuh merasa kesepian," katanya. 

Mengurai permasalahan ini, Fitri menginisiasi komunitas untuk menjadi support system bagi individu yang membutuhkan. Tujuannya, kelompok ini akan membantu menguraikan perasaan dengan cara berbagi, mendengarkan, serta arahan dari psikolog. 

"Kayaknya kalau bikin organisasi dimana kita mengadakan mungkin kayak sharing group. Terus habis itu mereka bisa cerita dengan temanya yang sama, biar mereka tuh ada keterikatan satu sama lain dan gak merasa kalau diri mereka doang yang mengalami masalah. Jadi untuk acaranya sendiri memang fokusnya tuh ke grup semua, mau sharing group, ada workshop ada juga mini terapi, tapi itu juga dengan permasalahan itu temanya sama dan misalnya ada sharing juga teman-teman," cerita Fitri.

Keyakinan inilah yang menjadi dasar Fitri membangun Cup of Stories, platform berbagi pengalaman, pelipur lara, serta ruang untuk saling mendengarkan. Fitri dan tim berupaya untuk mewadahi ruang aman bagi individu yang butuh mengobati luka dengan menerima dukungan dari satu sama lain. 

Cup of Stories memfasilitasi berbagai kegiatan untuk bertumbuh bersama, seperti healing trip, group sharing, jorunaling, hingga seminar. Setiap aktivitas mengangkat tema tertentu yang berkaitan dengan mental health, sehingga peserta fokus untuk mengulik emosi terkait peristiwa yang berhubungan. 

"Misalkan kayak kemarin, temanya tentang berduka. Nah itu yang datang itu memang semuanya yang pada kehilangan misalnya kehilangan keluarganya, terus mereka berbagi cerita satu sama lain, nangis bareng di situ," ujar Fitri.

2. Sempat mengidap penyakit langka, menjadi titik balik Fitri untuk menginisiasi Cup of Stories

Psikolog klinis dan co founder Cup of Stories, Fitri Jayanthi. (dok.Fitri Jayanthi)

Perjalanan Fitri membangun Cup of Stories menjadi inisiatif yang terbentuk berdasarkan pengalaman pribadinya. Fitri berbagi, di tahun 2010 ia sempat menjadi penyintas sindrom guillain barre, gangguan langka yang menyerang sistem imun tubuh sehingga sebagian tubuhnya mengalami kelumpuhan. 

Selama menjalani proses pemulihan dari penyakit langka tersebut, Fitri merasa tidak ada motivasi atau uluran tangan dari orang lain. Berat menjalani penyembuhan, sayangnya tak banyak survivor guillain barre syndrome yang mencurahkan dukungan emosional untuknya.

"Aku tuh gak merasakan ada orang-orang yang dateng (memotivasi) aku terus kayak 'hey ini aku survivor dari GBS loh'. Ibaratnya kayak aku tuh gak ada termotivasi sama sekali.Tapi seiring berjalannya waktu, aku merasa itu perlu loh, dan akhirnya sampai sekarang aku tetap akan mendatangi pasien-pasien yang GBS, yang aku tahu karena langka ya cuman mungkin setahun ada empat yang kena. Kayak gitu kan dan itu aku datengin, dan ibaratnya kayak aku mau kasih kekuatan ke mereka," jelas Fitri. 

Pengalaman tersebut menumbuhkan kesadaran akan pentingnya dukungan dalam proses penyembuhan luka emosional atau healing bagi seseorang. Kehadiran orang lain akan sangat membantu dalam memulihkan kekuatan, terlebih bagi individu yang tengah berjuang keluar dari sebuah suatu penderitaan. 

"Aku berpikir ketika kita sendiri, kita kan punya alat ukur sendiri, jadi kita merasa bahwa kita nih yang paling sengsara di dunia ini. Tapi ketika kita dapet istilahnya alat ukur orang lain, bahwa 'oh kamu tuh sebetulnya bisa loh begini, dan lain-lain', nah itu yang akhirnya kebuka kan pelan-pelan," tambah Fitri. 

3. Manusia cenderung menyalahkan diri sendiri saat hadapi kesulitan, Fitri anggap self compassion adalah solusi yang penting untuk masalah ini

Psikolog klinis dan co founder Cup of Stories, Fitri Jayanthi. (dok.Fitri Jayanthi)

Ketika menjalani hidup yang berat, manusia memiliki kecenderungan untuk menyalahkan diri sendiri. Peristiwa buruk yang dilaluinya membuat ia kehilangan belas kasihan dan hanya fokus pada kesalahan atau ketidakcukupan atas dirinya. Manusia akan kehilangan welas asih, menciptakan pikiran dan emosi yang membuat kesejahteraan mentalnya terganggu. 

Fitri melakukan pendekatan yang sederhana dalam meninjau fenomena tersebut. Ia berupaya menerapkan teori self-compassion. Teori ini menggarisbawahi pentingnya berempati atau bersikap welas asih terhadap diri sendiri.

Menurutnya, masih banyak orang membenci diri sendiri ketika melewati masalah yang pelik, "Aku tuh sebetulnya berpatokan banget dengan teori self-compassion. Menurut aku, self-compassion ini yang membangun aku buat bangkit lagi dari sakit aku itu. Nah salah satunya di dalam self-compassion itu ada yang namanya common humanity. Jadi, ibaratnya kayak kita itu harus terkoneksi sama orang lain supaya kita tuh bisa berbaik hati sama diri sendiri."

Sikap berbaik hati pada diri sendiri, sebagaimana dijelaskan Fitri, memiliki tiga komponen inti, yakni self-kindness, common humanity, dan mindfulness. Gagasan ini mendorong individu untuk melakukan evaluasi bahwa setiap orang berhak menerima belas kasihan untuk meningkatkan resiliensi. 

"Oh, ternyata semua orang itu sebetulnya butuh ya self-compassion ini atau memberikan kebaikan untuk diri sendiri. Jadi kan ada macam-macamnya di self-compassion itu, salah satunya tuh kayak kita harus ngomong berbaik hati ke diri sendiri. Misalkan kalau kita capek buat punya masalah ya istirahat dulu. Terus yang kedua kita harus terkoneksi sama orang lain biar kita tuh gak merasa sendiri. Sama yang ketiga tuh kayak kita harus fokus dengan saat ini, jangan terlalu tergantung dan terikat masa lalu atau bergantung bahagia di masa depan," terang Fitri. 

4. Gen Z dan milenial banyak mengalami kesepian, Cup of Stories jadi solusi untuk sembuhkan luka batin

Psikolog klinis dan co founder Cup of Stories, Fitri Jayanthi. (dok.Fitri Jayanthi)

Sharing session group bersama psikolog, sebagaimana diselenggarakan oleh Cup of Stories menjadi salah satu langkah efektif untuk menerapkan konsep self-compassion. Cup of Stories menghadirkan sejumlah program untuk bantu sembuhkan luka batin dengan tema yang relevan bagi generasi Z dan milennial. 

Saat ditanya masalah terbesar yang dialami peserta Cup of Stories, Fitri mengungkapkan rasa kesepian menjadi isu yang banyak dialami, "Menurut aku definisi kesepian itu kan karena misalnya kita gak dilihat, gak didengar, sama gak dipahami sama orang lain. Jadi pas di sana (kegiatan Cup of Stories) itu kan kita gak kenal satu sama lain, tapi kita berempati banget karena kita merasa punya permasalahan yang sama. Mereka banyak bilang, 'aku juga ngerasain kayak gitu lagi', 'aku juga udah pernah melakukan itu'. Dan aku seneng banget sih misalnya mereka akhirnya jadi terikat satu sama lain. Jadi memang ini jadi ruang untuk sama-sama berbagi terus".

Banyak orang datang dengan harapan mendapat teman baru untuk berbagi, mendengarkan, bercerita, dan menguatkan. Fitri memastikan setiap peserta tidak saling menghakimi namun mendengar dengan penuh empati. Ia juga berperan memberikan arahan agar tak melewati batas, sebab Cup of Stories sendiri telah menentukan aturan, seperti tidak memainkan hp agar berkegiatan secara mindful.

"Jadi mereka akhirnya datang itu karena buat dapat kekuatan lagi. Ibaratnya karena mereka ingin dapat insight baru lagi. Dan yang paling utama sih yang mereka bilang supaya mengisi weekend,  biar mereka gak merasa kesepian dan lain-lain kayak gitu," ujarnya.

Healing Trip jadi salah satu program unggulan dari Cup of Stories. Peserta akan diajak berkegiatan di alam terbuka untuk mengikuti fun psychology games, journaling, sharing session bersama psikolog, terakhir ada latihancognitive behavioral therapy singkat. Tujuannya memberikan insight serta menjadi remainder kalau orang lain juga mengalami masalah yang serupa, jadi tak perlu merasa terasing.

"Terus kalau misalkan yang Healing Trip, kurang lebih 6 jam. Itu bisanya diikuti oleh 5 sampai 10 orang. Terus kalau untuk workshop, rata-rata yang datang tuh sekitar 10 sampai 15 orang," kata Fitri. 

5. Fitri menganggap perilaku buruk seseorang juga disebabkan oleh lingkungan, hal ini memotivasi dirinya jadi psikolog

Psikolog klinis dan co founder Cup of Stories, Fitri Jayanthi. (dok.Fitri Jayanthi)

Cup of Stories sebagai platform yang telah diinisiasi sejak 2021 kini semakin berkembang dan diikuti oleh banyak individu. Komunitas ini mewujudkan impian Fitri di masa kecil untuk dapat membantu lebih banyak orang terkait isu kesehatan mental. 

"Dari kecil cita-citaku jadi psikolog karena aku merasa, mungkin dari motivasi pribadi tuh banyak banget. Istilahnya orang-orang terdekat aku yang kayak mereka itu selalu, cerita ke aku dan aku tuh ada perasaan ingin membantu mereka," cerita Fitri pada IDN Times. 

Bertambah dewasa membuat pandangan Fitri lebih terbuka. Ia melihat banyak orang kerap mendapat tekanan atau perlakuan yang kurang baik. Selain itu, beberapa orang juga berperilaku buruk misalnya melakukan kekerasan atau bullying pada orang lain. Akan tetapi, Fitri menilai fenomena itu bukanlah murni kesalahan orang tersebut, terdapat peran lingkungan yang membentuk perilaku negatif. 

6. Pesan Fitri pada generasi muda: "Jangan self diagnosis, berbahaya!"

Kegiatan Cup of Stories. (instagram.com/cupofstories)

Lingkungan sosial memang berkaitan erat dengan pembentuk perilaku individu. Tidak hanya terbatas pada lingkungan fisik, namun juga media sosial. Sebagai seorang psikolog di tengah era digital, Fitri kerap menemukan permasalahan mental justru muncul karena self diagnose.  

Fitri berpesan, "Sebetulnya tuh yang paling pertama, jangan pernah self diagnose dulu. Karena ibaratnya aku paling pusing kalau mereka datang dengan bilang bahwa 'kak aku borderline', 'kak aku bipolar'. Tapi belum didiagnosa, cuma lihat cirinya doang. Nah itu yang sebetulnya ketika kita udah percaya sama sesuatu, kita mengarahkan diri kita untuk menjadi seperti itu kan. 
Jadi kita benar-benar harus datang ke tenaga profesional untuk benar-benar memastikan. Itu yang paling pertama".

Sebab, self diagnose akan membuat masalah kesehatan mental menjadi lebih kompleks. Fitri sarankan agar generasi muda melakukan konseling ke tenaga ahli, seperti psikolog, tanpa perlu menunggu masalah terlanjur sulit. Datang ke psikolog dapat membantu untuk rilis emosi, menyalurkan ke tempat yang lebih aman dan mengidentifikasi permasalahan yang tengah dihadapi.

"Untuk masalah release emosi yang sehat itu juga kita harus cari pengetahuan dan kita latih. Karena takutnya, kalau misal terlalu fokus dengan apa yang kita rasa benar, menggunakan alat ukur kita di media sosial itu, kita gak tahu kalau misalkan apa yang kayak kita lakukan itu tanpa sadar bisa sedikit-banyaknya bisa menyakiti hati orang lain," tutup Fitri.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Muhammad Tarmizi Murdianto
Dina Fadillah Salma
3+
Muhammad Tarmizi Murdianto
EditorMuhammad Tarmizi Murdianto
Follow Us