Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

5 Sikap Kekanak-kanakan yang Bikin Runyam Persoalan

ilustrasi bad mood (pexels.com/Mikhail Nilov)
ilustrasi bad mood (pexels.com/Mikhail Nilov)

Mau tahu seberapa dewasa seseorang? Lihatlah ketika ia berhadapan dengan persoalan, terutama yang berhubungan dengan orang lain. 

Dari sikapnya saja, kamu akan dapat menandai mana yang cukup dewasa dan mana yang masih manja. Seperti lima sikap di bawah ini yang membuktikan betapa kekanak-kanakannya seseorang.

1. Suka sekali mengambek atau justru terlalu cuek

ilustrasi perempuan mengambek (pexels.com/Tima Miroshnichenko)
ilustrasi perempuan mengambek (pexels.com/Tima Miroshnichenko)

Orang yang selalu mengambek ketika ada persoalan biasanya cuma mau keinginannya dipenuhi. Selama yang menjadi keinginannya belum tercapai, dia bakal ngambek terus.

Artinya, dia tipe yang memaksakan kehendak. Orang lainlah yang wajib mengalah padanya. Sikapnya ini seperti anak kecil, kan?

Namun, orang yang saking cueknya sampai sama sekali tidak memedulikan seseorang yang sedang mengambek padanya juga gak lebih dewasa, lho. Sikap cueknya itu dapat menunjukkan ia tidak peka dengan perasaan orang lain.

Idealnya, secuek-cueknya dia masih sadar akan adanya masalah dan berusaha mengajak bicara orang yang lagi ngambek. Sebaliknya, jika sudah diajak bicara, orang yang mengambek pun harus menyudahi aksinya dan mau membicarakan persoalan mereka.

2. Lebih memilih debat via chat ketimbang ngobrol langsung

ilustrasi sibuk dengan smartphone (pexels.com/Kindel Media)
ilustrasi sibuk dengan smartphone (pexels.com/Kindel Media)

Perdebatan melalui chat memang kadang tak terhindarkan. Akan tetapi, bila perdebatan makin memanas, apakah hal tersebut layak dilanjutkan? 

Kalau diteruskan, biasanya perdebatan akan bertambah sengit. Salah-salah malah membuat hubungan rusak untuk selamanya. Oleh karena itu, sikap yang paling tepat ialah bertemu dan membicarakannya secara langsung.

Cara ini mengurangi potensi kesalahpahaman di antara mereka. Soalnya, kalimat dalam chat bila dibaca dengan nada berbeda atau tergesa-gesa menjadi rawan memunculkan kesalahpahaman.

Misalnya, kalimat yang dibaca dengan nada rendah gak akan bikin emosi. Layaknya orang berbicara saja. Namun begitu dibaca dengan nada tinggi, seseorang bakal merasa sedang dibentak-bentak.

3. Saling mendiamkan terlalu lama

ilustrasi tidak mau bicara (pexels.com/cottonbro)
ilustrasi tidak mau bicara (pexels.com/cottonbro)

Mengurangi pertemuan dan komunikasi terkadang diperlukan agar orang-orang yang terlibat konflik dapat menenangkan diri terlebih dahulu. Hanya saja jika terlalu lama saling mendiamkan, hubungan keduanya pasti menjadi kaku.

Rasa sesal barangkali sudah ada dalam benak masing-masing. Namun sejauh hal tersebut tidak dibicarakan, ya percuma. Sikap diam justru bakal diartikan orang sebagai masih marah dan tidak adanya keinginan untuk kembali menjalin hubungan baik.

4. Menolak niat orang buat berbaikan

ilustrasi dua pria (pexels.com/Kampus Production)
ilustrasi dua pria (pexels.com/Kampus Production)

Terlepas dari siapa yang bersalah, kedatangan seseorang untuk meluruskan persoalan serta memperbaiki hubungan seharusnya diapresiasi. Gak mudah lho, buat bisa melakukannya. 

Dia harus menekan perasaan paling benar dan gengsinya. Terlebih kalau sebenarnya bukan dia yang bersalah. Bila seseorang sampai menolak apalagi mengusirnya dengan semena-mena, berarti dia masih sangat kekanak-kanakan.

Sudah diawali oleh orang lain saja, dia belum mampu memberikan sambutan yang sama baiknya. Bagaimana jika orang lain tak ada inisiatif buat mengajaknya berbaikan? Gak akan ada persoalan yang bisa diselesaikan secara baik-baik.

5. Membawa masalah pribadi ke kantor

ilustrasi perdebatan di kantor (pexels.com/Mikael Blomkvist)
ilustrasi perdebatan di kantor (pexels.com/Mikael Blomkvist)

Sekalipun keduanya bukan pasangan kekasih, bisa saja di luar kantor mereka memiliki persoalan pribadi. Persoalan itu seharusnya tak mengganggu profesionalitas mereka selama bekerja.

Akan tetapi, sulit mengharapkan hal tersebut terjadi jika salah satu atau keduanya masih kekanak-kanakan. Bukannya merasa malu, bisa-bisa mereka malah berusaha untuk mendapatkan sekutu di kantor.

Akibatnya, orang-orang di kantor terbelah menjadi dua kubu. Suasana kerja tentu menjadi sangat tidak nyaman, termasuk buat segelintir orang yang berusaha tetap netral.

Sikap kekanak-kanakan memang dapat muncul begitu saja saat seseorang di puncak emosi. Hal tersebut masih wajar jika tak lama kemudian, dia sudah mampu berpikir dengan lebih jernih dan memperbaiki sikapnya.

Satu atau dua hari saja biasanya sudah cukup untuk orang dewasa mengambil sikap yang lebih tepat mengenai suatu masalah. Sekalipun jejak-jejak kekesalannya masih ada, dia mampu mengendalikan diri dan tak ingin persoalan menjadi berlarut-larut.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Marliana Kuswanti
EditorMarliana Kuswanti
Follow Us