Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Ilustrasi memotong pembicaraan (pexels.com/fauxels)
Ilustrasi memotong pembicaraan (pexels.com/fauxels)

Intinya sih...

  • Kecemasan sosial dapat memicu perilaku menyela pembicaraan untuk meredakan ketidaknyamanan fisiologis.

  • Kontrol impuls rendah membuat seseorang merasa perlu mengekspresikan diri tanpa menunggu giliran, terutama dalam percakapan cepat.

  • Kurangnya kesadaran emosional menghambat kemampuan untuk memahami kapan harus berbicara selama percakapan.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Percakapan adalah cara kita berbagi ide, membangun hubungan, dan merasa didengarkan. Ini adalah salah satu bagian paling alami dari menjadi manusia. Percakapan yang baik memiliki ritme, di mana setiap orang bergiliran berbicara dan mendengarkan. Tapi, mungkin kamu pernah bersalah karena menyela seseorang di tengah percakapan tersebut.

Apalagi, beberapa orang ternyata suka memotong pembicaraan lebih sering. Nah, jika seperti itu, sikap ini dapat mulai memengaruhi perasaan lawan bicara hingga menjadi tidak nyaman, maupun merasa tidak dihormati. Bahkan, ini dinilai sebagai sebuah sikap untuk menegaskan kekuatan atau dominasi percakapan.

Faktanya, terdapat alasan khusus mengapa ada orang yang suka menyela percakapan. Apabila fenomena ini relate denganmu saat ini, yuk cari tahu alasan mengapa orang suka memotong pembicaraan menurut psikologi!

1. Kecemasan sosial (social anxiety)

Ilustrasi memotong pembicaraan (pexels.com/Andrea Piacquadio)

Tekanan untuk tampil dalam situasi sosial dapat membuat seseorang gelisah dan lebih waspada. Keadaan ini dapat menyebabkan beberapa orang menyela karena beberapa alasan, seperti untuk membungkam pikiran mereka yang mengembara atau cemas.

Hasilnya mungkin terlihat seperti kekasaran, agak kasar, tetapi itu bukan kurangnya rasa hormat yang mendorong dorongan untuk menyela. Dengan kecemasan ini, tubuh juga dapat secara tidak sadar memiliki reaksi lain terhadap interaksi sosial yang dapat membuat mereka menyela apa yang dikatakan orang lain.

“Kecemasan sosial dapat memicu sistem saraf simpatik tubuh, juga dikenal sebagai respons 'fight or flight'. Hal ini membanjiri sistem otak dengan adrenalin, menciptakan rasa urgensi dan ancaman yang kuat. Bagi otak, ancaman tersebut bukanlah predator. Melainkan, rasa takut dihakimi atau kehilangan kesempatan untuk berbicara," kata Dr. Jenny Shields, psikolog klinis berlisensi dan konsultan etika perawatan kesehatan bersertifikat, dikutip Parade.

Dalam kasus ini, menyela pembicaraan menjadi perilaku penghindaran dan kamu langsung turun tangan untuk segera meredakan ketidaknyamanan fisiologis akibat kecemasan tersebut. Hal ini memastikan dirimu didengarkan sebelum perasaan itu menjadi tak tertahankan.

2. Kontrol impuls rendah atau tidak sabar

Ilustrasi memotong pembicaraan (pexels.com/Photo By: Kaboompics.com)

Menurut Dr. Patricia Dixon, seorang psikolog, pembicara dan penulis, orang yang suka memotong pembicaraan sering kali kesulitan mengendalikan impuls mereka.

"Ketika seseorang memiliki tingkat kontrol impuls atau kesabaran yang rendah, ini dapat membuat seseorang merasakan kebutuhan mendesak untuk mengekspresikan diri mereka sekarang daripada menunggu. Dipasangkan dengan keinginan untuk mengeluarkan pikiran sebelum melanjutkan, ini dapat menyebabkan interupsi, terutama ketika percakapan berjalan cepat," ujarnya, dikutip Parade.

Dr. Dixon menambahkan, ini terjadi karena fungsi dari korteks prefrontal, bagian otak yang bertanggung jawab untuk fungsi eksekutif seperti perencanaan dan pengendalian diri. Anggap saja ini sebagai 'sistem pengereman' otak.

Ketika kamu memiliki pikiran, kontrol penghambatan yang lemah berarti ada penundaan dalam menerapkan rem tersebut. Dorongan untuk berbicara berjalan begitu cepat sehingga melewati filter sosial yang biasanya membuatmu menunggu giliran.

3. Kurangnya kesadaran emosional

Ilustrasi memotong pembicaraan (pexels.com/fauxels)

Masalah lain yang lebih mendalam dari orang-orang yang terus-menerus menyela pembicaraan mungkin berkaitan dengan cara mereka mengukur emosi orang lain, terutama dalam situasi sosial.

"Ini berkaitan dengan konsep yang disebut emotional granularity, yaitu kemampuan untuk mengidentifikasi dan memberi label perasaan dengan tepat. Jika kamu tidak dapat membedakan antara perasaan, misalnya, gembira Vs. tidak sabar, kamu tidak dapat mengelola dorongan spesifik yang diciptakan oleh emosi tersebut," ungkap Dr. Shields, dikutip Parade.

Jika seseorang tidak dapat "membaca situasi", hal itu dapat menghambat kemampuan untuk memahami kapan harus mengungkapkan pikiran mereka selama percakapan. Ketidakmampuan untuk memahami emosi diri sendiri atau orang lain dapat mengakibatkan hilangnya isyarat sosial yang memandu interaksi yang sopan.

Blind spot ini dapat menyebabkan mereka tidak menyadari bahwa apa yang dilakukannya tidak sopan dan menolak untuk menerima kritik dari orang lain. Kurangnya kesadaran emosional membuat beberapa orang sulit untuk melihat bagaimana tindakan mereka dipersepsikan oleh orang lain.

4. Takut diabaikan

Ilustrasi memotong pembicaraan (pexels.com/RDNE Stock project)

Sebuah artikel berjudul "Understanding the Psychology of Interrupting" di Verywell Mind yang diulas oleh Amy Morin, LCSW, seorang psikoterapis dan penulis buku terlaris internasional, menyatakan bahwa beberapa kecenderungan orang yang suka memotong pembicaraan dapat berasal dari perbedaan budaya atau latar belakang keluarga seseorang.

Karena itu, menyela tampak seperti perilaku alami bagi mereka atau sesuatu yang mereka lakukan secara otomatis. Jika seseorang tumbuh besar dengan terus-menerus diabaikan atau tidak memiliki orang-orang di sekitarnya yang tertarik mendengarkan pikirannya, ia dapat tumbuh dengan perasaan bahwa ia selalu harus memiliki keputusan terakhir, terlepas dari apakah hal itu mengganggu seseorang atau tidak.

"Pengalaman masa lalu diremehkan, diabaikan, atau dikesampingkan dapat mendorong seseorang untuk bertindak sebelum diganggu. Menyela seseorang saat ini bisa menjadi upaya refleksif untuk mengendalikan percakapan, memastikan suaranya didengar dan dihargai. Motivasi yang mendasarinya adalah rasa takut diabaikan, bukan keinginan untuk membungkam orang lain," jelas Dr. Dixon, dilansir Parade.

5. FOMO

Ilustrasi memotong pembicaraan (pexels.com/fauxels)

Terkadang, alasan terdalam mengapa seseorang menyela pembicaraan saat bercakap-cakap dengan teman, keluarga, atau rekan kerja adalah karena mereka mengalami FOMO (Fear Of Missing Out).

Menurut Dr. Shield, neuroscience menunjukkan bahwa antisipasi pengucilan sosial mengaktifkan anterior cingulate cortex, wilayah otak yang sama yang memproses rasa sakit fisik. Ketakutan bahwa percakapan akan berlanjut tanpa masukanmu dapat memicu respons rasa sakit sosial yang nyata, meskipun ringan. Menyela menjadi tindakan refleksif untuk mencegah rasa sakit itu dan memastikanmu dilibatkan sebelum kesempatan itu hilang.

6. Masalah kontrol

Ilustrasi memotong pembicaraan (pexels.com/cottonbro studio)

Percaya atau tidak, orang yang selalu ingin memegang kendali juga cenderung lebih sering memotong pembicaraan orang-orang di sekitarnya. Dr. Dixon mengatakan, keinginan untuk mengendalikan percakapan atau topik pembicaraan dapat tercermin dalam reaksi seseorang terhadap orang lain yang berbicara.

Jika seseorang ingin mengarahkan atau mempercepat diskusi, mereka cenderung menyela. Kebutuhan akan kendali dalam ruang percakapan ini dapat mencerminkan isu-isu yang lebih signifikan.

7. Sifat narsis

Ilustrasi memotong pembicaraan (pexels.com/Theo Decker)

Bagi seorang narsistik, dorongan untuk menyela percakapan dipicu oleh gagasan bahwa mereka memiliki sesuatu yang lebih penting atau menarik untuk dikatakan daripada orang lain di ruangan itu. Pada dasarnya, jika seseorang memiliki kecenderungan narsistik (atau NPD), mereka ingin memukau semua orang di sekitarnya, dan mereka tidak tertarik untuk melakukan percakapan dua arah.

“Ini adalah kombinasi dari bias egosentris yang tinggi (kecenderungan alami untuk menilai terlalu tinggi perspektif sendiri) dan defisit dalam empati kognitif (kemampuan untuk memahami sudut pandang orang lain),” jelas Dr. Shields.

8. Keterampilan mendengarkan yang buruk

Ilustrasi pendengar yang buruk (pexels.com/Kindel Media)

Jika kamu atau seseorang yang kamu kenal selalu menyela pembicaraan orang lain, kemampuan mendengarkan yang buruk mungkin menjadi penyebabnya. Menurut Dr. Dixon, mendengarkan dan menyela berjalan beriringan.

Pendengar yang buruk tidak menangkap pasang surut alami komunikasi yang menandakan giliran mereka untuk berbicara. Hal ini juga mempersulit mereka untuk menentukan kapan harus merespons, kapan harus berhenti sejenak, atau kapan harus membiarkan orang lain melanjutkan tanpa gangguan.

Interupsi, dalam hal ini, tampak impulsif dan tidak sopan karena seseorang yang menyela pembicaraan orang lain tidak menghargai apa yang mereka katakan atau bagaimana mereka mengatakannya.

9. Beban mental

Ilustrasi memotong pembicaraan (pexels.com/Antoni Shkraba Studio)

Jika kamu adalah seorang pemikir yang berlebihan, kamu tahu bagaimana rasanya pikiranmu melaju sejuta mil per menit. Kamu mungkin juga tahu bagaimana rasanya ketika seseorang berbicara kepadamu, namun kamu melamun dan begitu tenggelam dalam pikiran. Ini tentu saja dapat menyebabkan gangguan.

Jika seseorang terstimulasi secara mental, mereka mungkin menyela karena pikiran datang begitu cepat. Jika pikiran tidak segera dikeluarkan, mereka merasa seolah-olah akan kehilangan diri sendiri. Bukan rasa tidak hormat atau tidak sabar, tetapi lebih merupakan perlombaan melawan waktu untuk merapikan sebelum ide-ide pergi atau menumpuk.

Nah, itulah beberapa alasan yang memungkinkan seseorang memotong pembicaraan dalam sebuah percakapan menurut psikolog dalam ilmu psikologi. Bersabar menjadi kunci saat berbicara dan mendengarkan orang lain, sehingga komunikasi dua arah terjalin dengan sehat. Semoga informasinya bermanfaat, ya!

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team