Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi perempuan menulis (freepik.com/freepik)

Intinya sih...

  • Tuliskan ulang dari sudut pandang orang ketiga untuk mengurangi emosi yang terlalu kuat dan melihat kejadian secara objektif.

  • Bayangkan menulis dari masa depan yang sudah pulih untuk menyadari bahwa rasa sakit hari ini bukan akhir dari segalanya.

  • Fokus pada respons, bukan kejadian, untuk menyoroti kekuatanmu dan menghargai cara kamu bertahan.

Ada momen dalam hidup yang rasanya bikin dada sesak tiap kali teringat. Meski tubuh sudah jauh dari peristiwa itu, tapi hati masih tertinggal di luka yang sama. Semakin dicoba dilupakan, kenangan buruk itu justru makin sering muncul tanpa diundang.

Daripada terus menghindar, kenapa gak coba menulis ulang kenangan buruk agar jadi kekuatan diri? Bukan buat memanipulasi ingatan, tapi supaya kamu bisa memberi makna baru dan ruang sembuh bagi diri sendiri. Yuk, simak lima cara menulis ulang kenangan buruk yang bisa bantu kamu berdamai dengan masa lalu!

1. Tulis ulang dari sudut pandang orang ketiga

ilustrasi perempuan menulis (freepik.com/freepik)

Bayangkan kamu sedang menulis cerita tentang seseorang yang mengalami hal serupa dengan yang kamu alami. Saat kamu mengambil jarak dan melihatnya sebagai "tokoh", rasa emosional yang terlalu kuat bisa sedikit mereda. Ini membantumu melihat kejadian itu secara lebih objektif dan penuh empati.

Saat kamu menulis sebagai orang ketiga, kamu jadi bisa memahami perasaan tanpa harus terhanyut di dalamnya. Emosi tetap hadir, tapi gak lagi menguasai. Kadang justru di jarak itulah, pemahaman dan penerimaan bisa tumbuh lebih jujur.

2. Bayangkan kamu menulis dari masa depan yang sudah pulih

ilustrasi orang menulis (freepik.com/freepik)

Tulis cerita dari dirimu lima atau sepuluh tahun ke depan, saat luka itu sudah kamu lewati. Apa yang akan kamu katakan pada dirimu di masa lalu? Perspektif dari masa depan bisa bantu kamu lihat bahwa rasa sakit hari ini bukan akhir dari segalanya.

Cara ini bikin kamu sadar bahwa kamu punya kuasa buat bangkit dan menata ulang hidup. Masa depan yang tenang dimulai dari keberanianmu hari ini untuk merawat luka. Tulis seolah kamu sedang menyampaikan pelajaran hidup, bukan cerita duka.

3. Fokus pada respons, bukan kejadian

ilustrasi perempuan berpikir (freepik.com/partystock)

Dalam narrative therapy, yang penting bukan cuma apa yang terjadi, tapi bagaimana kamu meresponsnya. Fokuslah menulis tentang bagaimana kamu tetap bertahan, meski dunia seperti runtuh waktu itu. Saat kamu menyoroti kekuatanmu, bukan sekadar luka, cerita itu berubah jadi bukti ketangguhan.

Banyak orang lupa bahwa dirinya pernah kuat saat dihancurkan. Menulis tentang reaksi positif atau cara kamu selamat dari masa gelap bisa jadi pengingat bahwa kamu punya daya. Ini bukan tentang menghapus luka, tapi menghargai cara kamu bertahan.

4. Beri narasi pada emosi yang dulu sulit dijelaskan

ilustrasi perempuan menulis (freepik.com/freepik)

Kenangan buruk sering datang bersama emosi yang membingungkan. Menulis adalah cara buat memberi "nama" pada rasa yang dulu gak sempat dipahami. Misalnya, kamu bisa menuliskan: “Waktu itu aku merasa marah, tapi sebenarnya aku kecewa karena merasa gak dipedulikan.”

Dengan memberi narasi pada emosi, kamu gak lagi dikendalikan olehnya. Emosi yang punya kata, punya tempat buat diproses. Ini langkah penting dalam teknik self healing yang banyak dipakai dalam terapi naratif.

5. Tutup dengan pesan untuk diri sendiri

ilustrasi perempuan menulis (freepik.com/freepik)

Setelah semua cerita dan emosi dituliskan, tutup tulisanmu dengan pesan penuh kasih untuk dirimu sendiri. Bisa dalam bentuk afirmasi, harapan, atau bahkan surat cinta untuk jiwa yang dulu terluka. Kalimat penutup itu penting untuk memberi titik akhir yang sehat pada cerita yang sempat mengganggu.

Menulis pesan ini bukan buat pencitraan, tapi sebagai bentuk pengakuan bahwa kamu layak pulih. Saat kamu memberi pesan baik untuk diri sendiri, kamu sedang mengubah arah cerita hidupmu. Dan setiap cerita yang baik, selalu punya akhir yang memberi harapan.

Menulis ulang kenangan buruk agar jadi kekuatan diri bukan berarti mengubah fakta, tapi membantumu melihat dan memaknai peristiwa itu. Dengan teknik narrative therapy, kamu bisa memberi ruang baru buat luka untuk sembuh dan tumbuh. Coba praktikkan salah satu cara di atas dan biarkan dirimu merangkai versi cerita yang lebih penuh kasih dan kekuatan.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team