GARAMIN melakukan kegiatan bersama warga (Dok. GARAMIN)
Bagi Elmi, perjuangan inklusi bersama GARAMIN maupun organisasi-organisasi difabel di NTT ini masih panjang. Meskipun pemenuhan hak-hak disabilitas di Kupang sendiri masih jauh dari kata inklusif, namun dirinya tetap bersyukur setidaknya saat ini perlahan-lahan pemerintah maupun masyarakat sudah mulai terbuka dengan para penyandang disabilitas. Ia selalu yakin bahwa dengan berjejaring dan menjadi sahabat pemerintah, maka isu-isu inklusi disabilitas ini dengan cepat akan menyebar.
Elmi dan GARAMIN punya harapan agar kebijakan-kebijakan terkait disabilitas ini bisa diterapkan oleh semua lapisan masyarakat agar para penyandang disabilitas tidak semakin termarjinalkan.
“Selama ini sudah ada kebijakan yang dibuat oleh pemerintah, bahkan ada Pergub juga. Namun, sayangnya implementasinya kurang. Ketika kita bicara tentang hak-hak disabilitas, banyak masyarakat yang menganggap bahwa ini tanggung jawab pemerintah dan dinsos. Padahal ini tugas dan tanggung jawab bersama dan isu multi sektor. Seperti contohnya, kalau disabilitas ini ya sekolahnya SLB, padahal sekolah formal juga bisa.”
Elmi juga menambahkan bahwa perjuangan inklusi disabilitas ini adalah tugas bersama dan perjuangan yang panjang. Di NTT sendiri, pergerakan ini sudah dimulai sejak 10 tahun lalu, namun stigma buruk tentang disabilitas itu masih terjadi sampai sekarang.
Sebagai sebuah pergerakan penting bagi komunitasnya, tentu saja GARAMIN memiliki sebuah impian besar. GARAMIN memiliki impian untuk bisa mewujudkan sebuah Desa Inklusi. Ia menuturkan, keinginannya untuk mewujudkan Desa Inklusi ini karena dirinya dan teman-temannya banyak yang tinggal di desa. Banyak teman-teman difabel yang tinggal di desa masih sering terkena stigma dan perlakuan diskriminatif dari masyarakat.
“Impian kami ke depan, dari salah satu desa yang menjadi desa dampingan GARAMIN, ketika desa ini sudah jadi desa inklusi nantinya bisa menjadi contoh untuk 64 desa di kabupaten Kupang,” papar Elmi dengan penuh semangat.
Desa inklusi bisa menjadi tempat yang aman bagi teman-teman penyandang disabilitas, bukan hanya untuk tinggal namun juga untuk lebih berdaya dan berpartisipasi aktif selayaknya masyarakat pada umumnya. Tentu saja untuk mewujudkannya, pemerintah maupun masyarakat harus melibatkan para penyandang disabilitas untuk menyampaikan suara dan berpartisipasi aktif. Elmi menuturkan pendapatnya tentang konsep inklusivitas di dalam sebuah lingkungan,
“Ketika sudah memberikan mereka kesempatan, dan melibatkan untuk berpartisipasi aktif. Jika penyandang disabilitas sudah menikmati fasilitasnya, semua program dan kegiatan di desa itu bisa dinikmati oleh semua orang termasuk kelompok rentan, itu baru bisa disebut inklusi. Ketika kita membicarakan tentang inklusi itu adalah tentang bagaimana sikap kita. Bagaimana penerimaan kita terhadap kelompok rentan.”
Mimpi Elmi dan GARAMIN sejatinya juga merupakan mimpi bersama masyarakat Indonesia. Menjadi inklusif dan bisa menyediakan ruang yang aman bagi semua lapisan masyarakat adalah hal terindah yang bukan tidak mungkin untuk diwujudkan.
Semangat perjuangan Elmi, GARAMIN, teman-teman penyandang disabilitas maupun organisasi-organisasi difabel lainnya patut untuk didukung oleh semua lapisan masyarakat dan berbagai pihak. Gak seharusnya kita melihat penyandang disabilitas dri kekurangannya. Mari kita semua berdayakan teman-teman difabel dan juga menjadi inklusif, karena kita satu Indonesia!