Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

5 Novel yang Diskusikan Efek AI, Kemudahan atau Ancaman?

novel Sunrise on the Reaping, Brave New World, dan Frankenstein (scholastic.co.uk | penguinrandomhouse.com)
Intinya sih...
  • Kecerdasan buatan generatif menciptakan konten baru dari algoritma dan data sebelumnya.
  • Buku-buku seperti Fahrenheit 451, Anthem, Brave New World, dan Frankenstein menyentuh dampak ekstrem AI terhadap manusia.
  • Teknologi AI mirip dengan alat dalam novel The Hunger Games yang bisa memanipulasi manusia.

Artificial intelligence (AI) atau kecerdasan buatan kini sudah jadi teknologi yang bisa diakses hampir siapa saja. Gak hanya dalam bentuk algoritma, kini muncul pula yang dinamakan kecerdasan buatan generatif (generative AI). Teknologi ini bisa dimanfaatkan untuk membuat atau mencipta konten baru dari algoritma dan data yang terkumpul sebelumnya. Skala dampak dan risikonya pun lebih susah dikontrol dan diprediksi. Hal ini menciptakan perdebatan sengit. 

Menariknya, pro kontra AI ternyata bukan bahasan baru di ranah sastra. Ada setidaknya buku-buku terbitan lawas yang menyenggol keberadaan teknologi mirip AI dan kemungkinan dampak ekstremnya. Ini bisa jadi bacaan yang memantik daya pikir kritismu, nih.

1. Fahrenheit 451 (Ray Bradbury)

Fahrenheit 451 karya Ray Bradbury (simonandschuster.com)

Fahrenheit 451 adalah novel terbitan 1953 yang terinspirasi regulasi ekstrem Nazi pada masa kekuasaan mereka di Jerman, yakni sensor terhadap ilmu pengetahuan terutama buku. Bradbury membayangkan bilamana Amerika Serikat terjebak dalam lubang yang sama. Pemerintah justru mencanangkan sensor besar-besaran terhadap buku yang dianggap mengganggu ketertiban publik. 

Meski tidak menyenggol AI atau kecerdasan buatan secara gamblang, sadar atau tidak kita sedang berada pada era yang mirip dengan latar buku itu. Ini tepatnya ketika buku dan literatur bukan lagi sumber pengetahuan utama. Sebagian besar dari kita kini lebih suka mencari referensi dari media sosial, internet, dan tentunya platform AI seperti ChatGPT dan sebangsanya.

2. Anthem (Ayn Rand)

Anthem karya Ayn Rand (penguinrandomhouse.com)

Dalam Anthem, kamu akan diajak menyelami dunia yang mengutamakan kolektivitas di atas kepentingan individu. Terinspirasi regulasi yang berlaku di negara-negara komunis pada era Perang Dingin, novela karya Ayn Rand ternyata banyak mencerminkan peradaban manusia yang tak mengenal keberagaman dan kebebasan berpikir. 

Tidak ada hubungan langsung dengan AI, tetapi hilangnya proses berpikir secara bebas yang disenggol dalam novel tersebut juga secara perlahan muncul karena eksistensi AI. Platform kecerdasan buatan secara tak langsung menghilangkan proses riset manual yang butuh waktu. Mereka menawarkan hasil dan kesimpulan instan untuk penggunanya dan secara tak langsung mencerabut kemampuan kita untuk memaksimalkan nalar dan naluri. 

3. Brave New World (Aldous Huxley)

Brave New World karya Aldous Huxley (penguin.com.au)

Dalam semesta distopia buku Brave New World, Aldous Huxley menggambarkan kondisi ketika manusia tak perlu lagi diopresi untuk bisa diatur dan patuh terhadap penguasa. Mereka cukup dibuat nyaman dan terhibur agar tak punya kebutuhan untuk memprotes dan bertanya. Ironisnya, ini yang sedang terjadi sekarang lewat kehadiran media sosial.

Rakyat bisa didistraksi dan dijejali konten yang mengandung ide-ide tertentu. Tanpa kita sadar, keputusan dan selera kita pun akan mengikuti tren-tren tertentu. Tipe kecerdasan buatan yang dibahas disenggol di buku ini lebih ke teknologi algoritma yang bisa "mendikte" manusia untuk membuat keputusan sesuai penguasa akses dan penentu algoritma tersebut.

4. Frankenstein (Mary Shelley)

Frankenstein karya Mary Shelley (penguinrandomhouse.com)

Terbit perdana pada 1818, siapa sangka Frankenstein masih relevan sampai sekarang. Ia bisa jadi reimajinasi ekstrem ketika makhluk ciptaan manusia mencapai kapasitas maksimalnya. Akhir kisah Frankenstein memang suram dan tragis, seolah sedang mengingatkan umat manusia tentang potensi kisah serupa. 

Frankenstein bisa diibaratkan AI generatif yang diciptakan dengan level kecerdasan di atas rata-rata dan memiliki kemampuan untuk terus belajar tanpa batas yang jelas. Ketiadaan kontrol sampai mana kecerdasan ini bisa dimanipulasi dan dimanfaatkan bisa jadi senjata makan tuan untuk manusia. Ini sebuah analogi yang patut direnungkan. 

5. Sunrise on the Reaping (Suzanne Collins)

Sunrise on the Reaping karya Suzanne Collins (scholastic.co.uk)

Ada satu sekuens dalam novel prekuel kedua The Hunger Games yang berjudul Sunrise on the Reaping yang mengisyaratkan teknologi mirip AI. Ada alat yang memungkinkan manusia mencipta dan memanipulasi sesuatu. Alat ini pernah eksis pada masa lalu sebelum akhirnya dimusnahkan karena merusak peradaban manusia.

Sepertinya, alat yang dimaksud itu pula yang dipakai Capitol untuk mencipta berbagai senjata. Tujuannya memanipulasi mental para pemberontak, yang tergambar dalam buku Catching Fire, salah satu contohnya suara orang-orang terdekat mereka yang meminta tolong. Ini persis dengan yang bisa dilakukan kecerdasan buatan generatif memanfaatkan sampel suara, gambar, dan data apa pun yang tersedia. 

Teknologi kecerdasan buatan memang tak bisa dihindari, tetapi bukan berarti harus diterima mentah-mentah. Apalagi, sampai sekarang kita belum tahu dengan jelas apa dampak dan risikonya. Kita pun kadang ragu apakah AI itu etis atau tidak. Coba pikirkan kembali pendapatmu soal AI dengan membaca kelima cerita spekulatif di atas.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Yudha ‎
EditorYudha ‎
Follow Us