Ilustrasi idealis (pexels.com/Timur Weber)
Banyak orang tidak benar-benar tahu alasan di balik sikap teguh yang ditunjukkan oleh seorang idealis. Sikap idealis muncul dari refleksi panjang dan nilai mendalam, bukan sekadar keinginan untuk ‘berbeda’. Mereka hanya melihat permukaan: keras, kaku, atau sulit diajak kerja sama. Padahal, idealisme sering kali lahir dari pengalaman hidup, atau cita-cita besar yang ingin diwujudkan. Kurangnya empati dari lawan bicara juga dapat menambah jarak pemahaman.
Menurut Adam Grant dalam bukunya Think Again, orang idealis perlu belajar menyampaikan gagasan dengan empati agar lebih bisa diterima oleh lingkungan.
Dengan komunikasi yang baik, idealisme tidak akan terdengar memaksa, tapi justru menginspirasi. Sebab ketika orang lain paham motivasi di balik sikapmu, mereka lebih mungkin menghargai, bukan menghakimi.
Persepsi bahwa orang idealis sering dianggap keras kepala sering kali lahir dari miskomunikasi dan kurangnya pemahaman. Padahal, di balik sikap yang tampak “ngeyel”, ada niat kuat untuk menjaga nilai dan prinsip hidup.
Alih-alih buru-buru memberi label negatif, penting bagi kita untuk lebih dulu memahami motivasi dan cara berpikir mereka. Di sisi lain, orang idealis juga perlu belajar menyampaikan gagasannya dengan lebih empatik dan terbuka. Dengan begitu, idealisme bisa jadi kekuatan yang membangun, bukan malah menciptakan jarak dengan orang lain.