Kenapa Orang Tetap Beli Tiket Konser Mahal Meski Ekonomi Sedang Sulit?

Intinya sih...
Nonton konser bukan sekadar hiburan, tapi kebutuhan emosional dan pelarian dari tekanan hidup.
Penggemar merencanakan keuangan jangka panjang untuk membeli tiket konser demi menciptakan kenangan yang berharga.
Tekanan sosial dan akses teknologi membuat orang merasa perlu hadir meski risiko finansial tinggi.
Nonton konser bukan lagi sekadar hiburan, sebab bagi banyak orang, konser jadi ruang pelarian, bentuk ekspresi diri, bahkan pencapaian yang memberi rasa puas tersendiri. Namun ketika kondisi ekonomi sedang tidak stabil, muncul pertanyaan yang cukup masuk akal yakni mengapa masih banyak orang rela mengeluarkan uang jutaan rupiah demi tiket konser? Apalagi beberapa konser terjual habis hanya dalam hitungan menit, padahal harganya bukan main mahalnya.
Fenomena ini semakin mencolok ketika diperhatikan bersamaan dengan berita soal daya beli yang melemah, harga kebutuhan pokok naik, hingga banyak orang kesulitan memenuhi kebutuhan sehari-hari. Namun tetap saja, tiket konser laku keras seolah tidak ada yang berubah dari sisi finansial. Berikut lima sudut pandang untuk memahami mengapa banyak orang tetap memutuskan membeli tiket konser mahal, meski berada dalam tekanan ekonomi yang sulit.
1. Individu menentukan prioritas berdasarkan kepuasan emosional
Bagi sebagian orang, nonton konser bukan soal gaya hidup mewah, melainkan kebutuhan emosional yang mereka anggap penting untuk dijaga. Kehadiran di konser idolanya menjadi sumber kebahagiaan yang tidak bisa digantikan oleh hal lain, terutama saat hidup sedang penuh tekanan. Konser dianggap sebagai momen istimewa yang memberi mereka ruang bernapas dari rutinitas yang monoton dan melelahkan.
Keputusan membeli tiket konser sering kali berasal dari keinginan untuk menciptakan kenangan yang bertahan lama. Dalam kondisi sulit, orang cenderung mencari hal yang bisa membuat mereka merasa hidup, meskipun harus mengorbankan pengeluaran lain. Kepuasan itu menjadi nilai yang tak terukur dengan uang, sehingga mereka menganggapnya layak diperjuangkan.
2. Penggemar sudah mengelola keuangan mereka dengan perencanaan jangka panjang
Tidak semua orang yang datang ke konser, memutuskan membeli tiket secara mendadak. Ada yang sudah merencanakannya sejak jauh hari bahkan mungkin sudah menabung sedari mereka masih duduk di bangku sekolah karena sang idola tak kunjung datang lagi ke sini. Mereka menabung perlahan, memangkas pengeluaran lain, bahkan rela menghindari pembelian barang yang sebenarnya lebih fungsional demi menyiapkan dana konser. Ini bukan tindakan impulsif, melainkan bentuk perencanaan keuangan yang dilakukan atas keinginan pribadi.
Jadi walau terlihat nekat, sebenarnya banyak dari mereka sudah mengatur keuangan agar tetap stabil meski membeli tiket mahal. Mereka tahu bahwa konser ini hanya terjadi sesekali dan sudah menjadi agenda penting sejak lama. Untuk mereka, menyisihkan uang demi konser justru jadi motivasi finansial yang arahnya jelas.
3. Lingkungan sosial menciptakan pressure agar terlihat sebagai seorang ‘up to date’
Lingkungan sosial juga punya pengaruh besar dalam keputusan membeli tiket konser. Ketika media sosial dipenuhi unggahan teman-teman yang nonton konser dan membagikan momen-momen seru, muncul tekanan untuk ikut serta. Apalagi jika konser tersebut berstatus ‘langka’ atau hanya sekali dalam seumur hidup. Ketertinggalan akan membuat seseorang merasa tidak relate dengan banyak orang dari kacamata sosial.
Rasa takut tertinggal atau fear of missing out (FOMO) bisa membuat orang merasa harus tetap hadir meski kondisi keuangan sedang tidak ideal. Dalam masyarakat yang sangat terhubung secara digital, konser tidak lagi hanya dinikmati secara langsung, tetapi juga menjadi bagian dari narasi sosial yang dibagikan. Tanpa sadar, kebutuhan akan pengakuan dan keterlibatan jadi alasan yang kuat mengapa rela merogoh kocek yang dalam di tengah kondisi ekonomi yang tengah lesu seperti sekarang.
4. Teknologi mempermudah akses meski risiko finansial tinggi
Pilihan pembayaran yang beragam, termasuk cicilan dan layanan pinjaman instan, membuat akses ke tiket konser terasa lebih ringan di awal. Banyak platform yang menawarkan pay later atau buy now pay later sehingga seseorang tidak harus langsung membayar penuh. Ini memberi kesan “murah” dan membuat keputusan membeli terasa lebih mudah, meskipun efek jangka panjangnya bisa merugikan.
Sebagian orang mengambil risiko ini karena merasa tidak ingin melewatkan kesempatan langka. Mereka menganggap utang bisa dilunasi kemudian, tetapi pengalaman konser tidak akan datang dua kali. Sayangnya, keputusan ini bisa berdampak buruk terhadap kestabilan keuangan pribadi jika tidak disertai kemampuan membayar. Di sinilah terlihat bahwa akses yang mudah tidak selalu sejalan dengan kesiapan finansial yang sehat.
5. Realita membuktikan nilai konser lebih dari sekadar nominal
Harga tiket konser memang mahal, tapi bagi sebagian orang, nilainya dianggap sepadan dengan kepuasan yang mereka dapatkan. Bisa bertemu idola, bernyanyi bersama penggemar yang lain, dan merasakan energi ribuan orang dalam satu ruang adalah pengalaman yang sulit dijelaskan. Dalam situasi ekonomi yang membuat hidup terasa berat, pengalaman seperti ini bisa memberikan semangat baru dan memperbaiki kondisi mental.
Melihat konser sebagai sebuah investasi emosional mungkin terdengar berlebihan, tapi tidak bagi mereka yang benar-benar menghargai momen tersebut. Dalam hidup yang semakin terstandarisasi, konser menjadi ruang kebebasan yang personal dan penuh makna. Orang ingin merasa terkoneksi, menjadi bagian dari sesuatu yang besar, dan terkadang itu cukup untuk membuat mereka yakin keputusan mereka masuk akal.
Nonton konser tetap menjadi pilihan banyak orang meskipun tekanan ekonomi sedang terasa di berbagai lapisan masyarakat. Alasannya tidak sesederhana soal gaya hidup, tapi mencakup kebutuhan emosional, tekanan sosial, hingga akses teknologi yang mempermudah keputusan. Meski terlihat tidak masuk akal, keputusan ini sangat manusiawi ketika dilihat dari berbagai sisi.