Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi malas belajar (pexels.com/Karolina Kaboompics)
ilustrasi malas belajar (pexels.com/Karolina Kaboompics)

Siapa saja yang perlu belajar? Tentu seharusnya semua orang senang belajar. Kegiatan ini bukan cuma buat anak sekolah atau mahasiswa. Baik tua atau muda dan pria maupun perempuan kudu berlomba-lomba dalam mencari ilmu. Sebab, berilmu akan membedakan manusia dari makhluk hidup lainnya.

Dengan ilmu pula manusia mampu mendatangkan banyak kebaikan untuk bumi dan seluruh isinya. Termasuk memberikan kesejahteraan pada makhluk hidup lain. Akan tetapi, semangat belajar pada orang dewasa justru kerap kali terjun bebas. Seolah-olah masa sekolah dan kuliah bertahun-tahun lamanya gagal menanamkan kecintaan terhadap aktivitas belajar.

Apakah kamu juga merasakannya? Bila iya, pikirkan baik-baik betapa sayangnya kehidupanmu. Dari total usiamu nanti, cuma kurang dari 20 tahun yang dipakai buat belajar di sekolah dan kampus. Selebihnya kamu bersikap masa bodoh terhadap pencarian ilmu. Enam hal ini menjadi penyebab keenggananmu merawat kebiasaan belajar.

1. Sudah capek bekerja

ilustrasi lelah bekerja (pexels.com/Andrea Piacquadio)

Bekerja seharian memang melelahkan. Apalagi bila kamu harus lembur atau ditugaskan ke luar kota. Sekembalinya dirimu di rumah, rasanya cuma ingin beristirahat. Begitu terus rutinitasmu sehingga belajar tak lagi mendapatkan tempat dalam hari-harimu. Khususnya, setelah dirimu berkeluarga.

Tugas besarmu adalah memastikan seluruh kebutuhan keluarga terpenuhi dengan baik. Pikiranmu dipenuhi cara-cara untuk memperoleh penghasilan. Belajar di usia ini dianggap tak mungkin lagi dilakukan. Namun, kamu lupa bahwa sulit untukmu memperoleh lebih banyak uang apabila kemauan belajar juga rendah.

Peningkatan pendapatan membutuhkan kemampuan kerja yang sepadan. Itu hanya bisa dicapai apabila dirimu tidak berhenti belajar dari berbagai sumber. Secapek-capeknya kamu bekerja, tentu sesekali ada waktu luang. Gunakan secara bijak agar di samping beristirahat, kamu juga masih sempat belajar barang sedikit.

2. Berpikir belajar sudah selesai setelah lulus sekolah atau kuliah

ilustrasi belajar (pexels.com/Nataliya Vaitkevich)

Dari SD sampai kuliah S1 kira-kira menghabiskan waktu 16 tahun. Karena masa belajar ini dilakukan secara berkesinambungan, rasanya memang melelahkan. Akan tetapi, bayangkan apabila proses belajarmu cuma berhenti di sini. Katakanlah ditambah masa PAUD dan TK, total masa pendidikanmu ialah 20 tahun.

Bila usiamu mencapai 70 tahun, berarti hanya kurang dari sepertiganya yang digunakan untuk mencari ilmu. 50 tahun kehidupanmu jauh dari ilmu. Memang ilmu gak hanya diperoleh dari bangku sekolah dan kuliah. Belajar sendiri dengan membaca buku serta pelatihan juga bisa. 

Terpenting pastikan setengah abad usiamu itu gak kosong sama sekali dari proses belajar. Jadilah pembaca yang tekun dan dengarkan pembicaraan orang-orang pandai. Kalau memungkinkan, ambil kuliah S2 bahkan S3. Jika pun dirimu sulit menempuhnya, tetaplah mencintai ilmu dengan belajar mandiri.

3. Mendewakan praktik, meremehkan teori

ilustrasi pusing belajar (pexels.com/Sarah Blocksidge)

Teori tanpa praktik memang menjadi tidak berguna. Akan tetapi, mendewakan praktik dan mengesampingkan teori bakal membuatmu tersandung-sandung. Kamu pasti akan sering sekali melakukan kesalahan sebelum berhasil mencapai kebenaran.

Masalahnya, belum tentu energimu cukup buat menghadapi kegagalan bertubi-tubi. Kalau karaktermu mudah menyerah pasti dirimu lebih suka stop mencoba sesuatu. Banyaknya kekeliruan itu bisa dipangkas dengan kamu terlebih dahulu mempelajari teori-teorinya. Baru setelahnya dipraktikkan.

Kalau ada hal-hal di lapangan yang menyimpang dari teori, ini akan menjadi pengetahuan baru untukmu. Boleh jadi ada kondisi tertentu yang membuat teori tidak berlaku. Namun, keseimbangan antara teori dan praktik penting guna mencapai pengetahuan yang lebih utuh.

4. Kurangnya kebiasaan belajar dalam keluarga

ilustrasi belajar (pexels.com/Yan Krukau)

Sedikit banyak kamu adalah apa yang ditanamkan dalam keluargamu. Artinya, caramu dibesarkan oleh kedua orangtua sangat berpengaruh terhadap kesukaanmu belajar di kemudian hari. Memang ada pula orang yang semangat belajarnya tinggi sekalipun pendidikan orangtuanya kurang.

Begitu pula sebaliknya, terdapat orangtua yang mencapai gelar akademik tertinggi tetapi anaknya malah malas sekali bersekolah. Namun demikian, kebanyakan orang terbentuk oleh kebiasaan-kebiasaan di lingkungan keluarganya. Jika sejak kamu kecil telah akrab dengan suasana belajar di rumah, maka sampai dirimu dewasa pun belajar terasa sebagai kebutuhan.

Namun, jangan sedih apabila kamu ingin berubah menjadi lebih suka belajar sekalipun sejak kecil gak didorong untuk lebih tekun. Dengan keinginan yang kuat, kamu bisa mengubah diri sendiri dan memulai kebiasaan baru untuk belajar. Mendekatlah pada orang-orang yang semangat belajarnya tinggi buat meningkatkan dan menjaga motivasimu.

5. Gak tahu mau belajar apa dan tujuannya

ilustrasi berbaring (pexels.com/Arina Krasnikova)

Penting buat mengetahui minatmu untuk menjaga semangat belajarmu. Walaupun kamu sudah menyelesaikan kuliah, ketidaktahuan akan minat membuatmu berhenti belajar. Rasanya gak ada bidang yang cukup menarik untuk dicari tahu. Maka kamu memilih buat sekadar bekerja guna memperoleh uang.

Tentu saja setiap orang sebetulnya mempunyai minat di bidang tertentu. Kurangnya pemahaman akan minat diri disebabkan oleh banyak hal. Seperti kurangnya eksplorasi sejak masa kecil dan orangtua terlalu memengaruhimu dalam memilih bidang studi. Kabar baiknya, tak ada kata terlambat buat menggali minatmu yang sesungguhnya.

Cukup bersikaplah sepolos mungkin seakan-akan dirimu belum pernah diarahkan ke bidang tertentu oleh siapa pun. Tidak ada keharusan untukmu menyukai suatu bidang. Rasakan ketertarikanmu secara alami akan jatuh di bidang apa. Kemudian ikuti saja dengan mempelajarinya sedikit demi sedikit. Ketika kamu tambah nyaman, proses belajarmu pun otomatis akan lebih intensif.

Tujuan belajar juga bukan sekadar untuk mencari gelar, pekerjaan, dan ujung-ujungnya uang. Belajar lebih buat menambah kapasitas dirimu. Sayang bila daya tampungmu akan ilmu tidak diisi sampai maksimal. Ilmu juga membuatmu lebih bijaksana dalam mengambil berbagai keputusan. Dengan ilmu, kamu pun dapat mendidik anak-anak dengan lebih baik.

6. Pengalaman tak menyenangkan semasa sekolah atau kuliah

ilustrasi pusing belajar (pexels.com/Resume Genius)

Reaksi orang atas pengalaman yang tidak menyenangkan ketika bersekolah atau berkuliah tidak sama. Ada orang yang tetap termotivasi untuk belajar meski pernah dimarahi pengajar atau merasa studinya dipersulit. Bahkan dengan pengalaman yang sama, beberapa orang menjadi jauh lebih termotivasi untuk membuktikan kepandaiannya.

Akan tetapi, ada pula orang yang sepertimu. Lebih mudah merasa trauma lantas sebisa mungkin menghindari hal-hal yang mengingatkanmu pada trauma tersebut. Dirimu menjadi enggan belajar karena itu membawamu kembali ke kenangan buruk di masa lalu.

Bila hal ini dibiarkan, pengembangan dirimu menjadi terhambat. Padahal, jalur untuk meraih ilmu banyak sekali. Kecil kemungkinan kamu kembali mengalami peristiwa serupa apabila jalan yang dipilih untuk mencari ilmu berbeda. Misalnya, dulu dirimu dimarahi habis-habisan oleh dosen di suatu kampus.

Sekarang bila kamu hendak berkuliah lagi, carilah kampus yang pengajarnya terkenal gak segalak itu. Minimal, dirimu tak perlu membenci kegiatan belajarnya. Tetaplah mencari ilmu dengan rajin membaca buku atau membayar kursus dengan pengajar yang benar-benar sabar dalam mendampingimu belajar.

Jangan membatasi masa belajarmu sehingga setelah kamu bekerja merasa tak perlu lagi melakukannya. Jadikan belajar sebagai kewajiban, kebutuhan, sekaligus kesenangan. Duniamu akan terasa jauh lebih luas dengan dirimu senantiasa mencintai ilmu.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team

EditorInaf Mei