Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi pencatatan keuangan (pexels.com/SHVETS production)

Bagi orang yang sudah terbiasa mencatat pemasukan dan pengeluaran tentu merasa mudah. Apalagi kalau manfaatnya telah dirasakan secara langsung. Keuangan menjadi lebih sehat dan tidak ada lagi drama tanggal tua yang menyiksa.

Kamu pasti tambah semangat untuk terus melakukan pencatatan keuangan. Bahkan anak pun diajari buat melakukannya juga dengan uang saku sebagai pendapatan. Akan tetapi, bila dirimu baru mencobanya wajar kalau timbul sejumlah kendala.

Masalah yang umum terjadi ketika seseorang baru membiasakan diri mencatat pemasukan dan pengeluaran adalah lupa. Kamu sudah membeli ini itu tetapi tidak segera menulisnya sehingga lupa. Selain itu, muncul lima perasaan berikut yang membuatmu sampai gak bisa tidur saking kepikiran.

1. Sedih, ternyata total pendapatan gak sebesar bayangan

ilustrasi pencatatan keuangan (pexels.com/Kindel Media)

Ini kerap terjadi pada pekerja lepas yang pendapatannya tidak menentu. Untuk karyawan dengan gaji tetap total pemasukannya jelas. Perbedaan total penghasilan di setiap bulan gak terlalu besar. Paling cuma dipengaruhi perbedaan bonus.

Sementara bagi freelancer, pendapatan naik turun seperti roller coaster. Jika selama ini dirimu tidak mencatatnya, kamu hanya mengandalkan ingatan serta perkiraan. Seperti rata-rata penghasilanmu sekitar 3 juta rupiah per bulan.

Tapi siapa yang bisa memastikannya apabila pencatatan yang teliti tidak pernah dilakukan? Sekarang saat kamu memulainya, perasaanmu langsung memburuk mengetahui pendapatan ternyata lebih kecil. Memang ada kalanya pemasukanmu sebesar 3 juta rupiah bahkan lebih.

Sayangnya, penghasilanmu lebih sering di angka 2 juta rupiah saja. Rasanya seperti kamu sudah lama merasa cukup kaya sebagai pekerja lepas. Tetapi ternyata pendapatan masih pas-pasan sekali. Fakta ini dapat menghancurkan kepercayaan dirimu.

2. Tambah miris ketika pengeluaran melebihi pemasukan

ilustrasi pencatatan keuangan (pexels.com/Jakub Zerdzicki)

Pencatatan pemasukan yang belum diotak-atik saja sudah bisa bikin tertekan. Apalagi tiba waktunya mencatat pengeluaran sampai detail. Setelah beberapa hari, kamu menyadari betapa uang yang dibelanjakan tidak sebanding dengan rata-rata pendapatan per hari.

Dirimu menjadi cemas. Padahal masih banyak tanggal serta belanja yang kudu ditulis. Tidak boleh ada kebohongan. Seperti aslinya kamu mengeluarkan uang sampai 100 ribu hari ini, tapi cuma dicatat 50 ribu rupiah.

Tujuannya agar perasaanmu lebih baik. Namun, cara seperti ini tidak membuat dompetmu lebih penuh. Kamu harus transparan pada diri sendiri. Sekalipun masih banyak hari yang menunjukkan belanja berlebihan, dari sini dirimu bakal belajar lebih bijak mengelola keuangan.

3. Tidak yakin bulan depan akan lebih baik

ilustrasi pencatatan keuangan (pexels.com/Photo By: Kaboompics.com)

Kalau pencatatan keuangan bulan pertama minus, kamu masih termotivasi agar bulan depan lebih baik. Tapi jika dalam beberapa bulan tampak keuanganmu tidak sehat terus, rasanya dirimu ingin menyerah. Kamu makin gak yakin metode pencatatan pemasukan dan pengeluaran efektif untuk menyehatkan keuanganmu.

Memang mengubah keuangan yang berantakan menjadi lebih rapi dan surplus butuh waktu. Tidak gampang mengatur ulang kebiasan-kebiasaanmu dalam berbelanja. Dirimu juga berhadapan dengan realitas pendapatan yang pas-pasan.

Plus situasi ekonomi sedang lesu. Maka jangan mengukur keberhasilanmu mengelola uang hanya dengan bulan ini masih minus atau telah ada sisa. Contohnya, bulan pertama tercatat keuanganmu minus 500 ribu rupiah dan bulan kedua minus lagi 400 ribu rupiah. Artinya, sudah ada perbaikan meski keuanganmu belum sehat. Jangan berhenti melakukan pencatatan keuangan sebagai bentuk kontrol diri.

4. Ingin berhenti melakukan pencatatan

ilustrasi pencatatan keuangan (pexels.com/cottonbro studio)

Dengan berbagai perasaan tak nyaman di atas, berhenti mencatat keuangan sering dilakukan orang. Dalihnya, gak telaten atau merasa itu percuma. Masalahnya bukan di kedisiplinan, melainkan pendapatannya memang kurang. Alur uang masuk dan keluar makin dicatat sampai detail malah makin bikin stres.

Lebih baik menikmati hidup dengan asal memakai uang selama uangnya masih ada. Bila uang telah habis berarti berpuasa, utang, atau menjual barang-barang. Sikap menyerah begini jangan ditiru sekalipun kamu merasa capek.

Pencatatan uang masuk dan keluar merupakan bentuk pengawasan. Berhenti melakukannya sama dengan dirimu hendak tutup mata apa pun yang terjadi. Terpenting kamu tetap menjalani hari sesuai apa yang menurutmu nyaman. Namun, nanti tahu-tahu dirimu terjatuh ke jurang kesulitan finansial yang dalam.

5. Kesal orang-orang seperti mudah sekali kasih tips budgeting

ilustrasi pencatatan keuangan (pexels.com/olia danilevich)

Dirimu baru di tahap mencatat keuangan saja sudah kewalahan dan merasa stres. Tapi di luar sana banyak orang dengan gampangnya menyarankan aneka cara mengelola pendapatan. Mulai metode 50:30:20 hingga detail jatah beli gas, kuota internet, dan sebagainya.

Berhubung dirimu lagi pusing melihat hasil pencatatan keuangan yang masih morat-marit, semua itu terasa omong kosong. Kamu berpikir apa yang disampaikan mereka hanya teori. Gampang dikatakan atau dituliskan, tetapi hampir mustahil diterapkan.

Apalagi dalam situasi penghasilanmu masih terbilang kecil. Memang kadang tips keuangan dengan keadaanmu kurang nyambung. Namun, tidak ada gunanya kesal sendiri lalu anti dinasihati seputar finansial.

Toh, dalam praktiknya dirimu dapat lebih fleksibel soal ini. Kamu mau memakai 80 persen penghasilan untuk biaya hidup juga tak apa-apa. Dengan catatan, pendapatanmu memang minim dibandingkan tanggungan. Asal keuanganmu gak minus lagi juga sudah bagus.

Pencatatan keuangan bisa terasa seperti pukulan telak buatmu yang selama ini jorjoran memakai pendapatan. Namun, jangan berhenti melakukannya. Lihat angka-angkanya. Dari situ kamu bakal lebih terdorong untuk meningkatkan kendali diri saat menggunakan uang. Bahkan memotivasimu buat mencari tambahan penghasilan.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team