Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Apa Itu Performative Empathy dan Kenapa Identik dengan Politisi?

performative empathy
ilustrasi performative empathy (pexels.com/Asad Photo Maldives)
Intinya sih...
  • Politisi sering menggunakan performative empathy untuk membangun citra positif tanpa tindakan nyata.
  • Empati politisi sering berhenti pada ucapan tanpa perubahan nyata, membuat jarak emosional dengan masyarakat.
  • Ekspresi emosional politisi dijadikan panggung citra, tetapi kebijakan tidak selaras dengan emosi yang ditampilkan.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Performative empathy muncul ketika seseorang menampilkan rasa peduli yang terlihat lembut dan penuh perhatian, tetapi sebenarnya digerakkan kebutuhan menjaga citra, bukan memahami masalah yang sedang terjadi. Fenomena ini makin sering dibicarakan karena publik semakin terlatih membaca gestur, pilihan kata, dan pola komunikasi yang terasa dibuat-buat.

Kamu pasti pernah melihat momen di mana ekspresi peduli terasa seperti skrip yang dihafal, bukan reaksi spontan. Dari situ, tumbuh kecurigaan bahwa empati tidak lagi diperlakukan sebagai sikap moral, melainkan perangkat komunikasi politik. Lima sudut pandang berikut membantu kamu membaca fenomena ini secara lebih tajam.

1. Ungkapan empati jadi alat menyusun kesan positif

performative empathy
ilustrasi performative empathy (unsplash.com/History in HD)

Banyak politisi mengandalkan kalimat berkode empati untuk menegaskan kedekatan dengan masyarakat, meski sering kali terlihat jelas bahwa pemahaman mereka atas isu yang dibahas masih dangkal. Pola bahasanya berulang: suara direndahkan, frasa penuh kehangatan, dan tempo yang diatur supaya terlihat tulus di kamera. Namun ketika kalimat itu tidak sinkron dengan rekam jejak atau kebijakan yang mereka buat, publik langsung menangkap ironi di baliknya.

Kecurigaan muncul karena pengalaman publik mengingatkan bahwa ungkapan empati tanpa tindak lanjut biasanya hanya strategi memoles reputasi. Makin sering pola ini diulang, makin mudah orang melihat bahwa empati tersebut adalah teknik menata persepsi, bukan respons terhadap realitas. Kamu mungkin pernah menemui situasi ketika nada bicara terdengar lembut, tetapi substansi yang disampaikan tidak bergerak ke arah penyelesaian apa pun.

2. Empati diperlakukan seolah sudah menyelesaikan masalah

politisi
ilustrasi politisi (unsplash.com/Jorge Maya)

Di banyak momen krusial, politisi menyampaikan pernyataan simpatik yang dikemas rapi dan terkesan cukup, seolah kalimat itu sendiri sudah merupakan tindakan. Bentuk kepedulian yang berhenti pada ucapan seperti ini cepat menonjol karena menitikberatkan panggung, bukan penyelesaian. Begitu momentum berlalu tanpa perubahan nyata, empati tersebut otomatis terbaca sebagai performa.

Publik semakin peka membaca isyarat bahwa empati itu tidak ditujukan untuk bergerak menuju solusi. Sebagian orang menilai bahwa kalimat simpatik digunakan sebagai bantalan halus untuk menutupi ketidaksiapan menghadapi masalah yang lebih kompleks. Ketika hal ini berulang, jarak emosional antara masyarakat dan politisi makin terasa jelas. Situasi semacam ini mudah kamu kenali ketika empati muncul, tetapi tidak pernah muncul pergerakan yang menjawab kebutuhan di lapangan.

3. Ekspresi emosional dijadikan panggung citra

performative empathy
ilustrasi performative empathy (commons.wikimedia.org/Silar)

Dalam isu yang sensitif, momen ketika politisi menahan air mata, menghela napas panjang, atau menunjukkan raut prihatin sering menjadi sorotan utama media. Ekspresi itu dibingkai sebagai tanda kedalaman empati, tetapi publik tidak buta sebab mereka membandingkan ekspresi tersebut dengan keputusan yang dibuat setelah kamera dimatikan. Ketika kebijakan tidak sejalan dengan emosi yang tadi ditampilkan, nilai empati itu runtuh dalam sekejap.

Tak sedikit politisi memanfaatkan momen emosional untuk memperhalus pesan politik atau mengamankan hubungan dengan kelompok tertentu. Ekspresi bisa efektif membangun kedekatan, tetapi kehilangan makna ketika hanya diperlakukan sebagai dekorasi. Kamu mungkin pernah melihat adegan menyentuh hati yang viral, tetapi beberapa hari kemudian tidak ada jejak nyata yang menunjukkan bahwa ekspresi itu berpengaruh pada keputusan apa pun.

4. Empati dijadikan penahan kritik

politisi
ilustrasi politisi (pexels.com/RDNE Stock project)

Ketika kritik publik menguat, politisi kerap mengganti nada bicara menjadi lebih lembut untuk menurunkan tensi. Empati yang muncul secara mendadak setelah gelombang kritik biasanya mudah terbaca sebagai respons defensif. Pergeseran nada yang terlalu cepat justru memunculkan pertanyaan apakah empati itu muncul karena melihat beban masyarakat, atau karena tekanan opini publik?

Ketika isu yang dipersoalkan tidak ditindaklanjuti, dan kritik kembali terdengar setelah euforia empati mereda, masyarakat menyimpulkan bahwa empati itu bukan jembatan menuju penyelesaian, tetapi instrumen penunda. Dari sinilah muncul persepsi bahwa empati digunakan untuk menggeser fokus, bukan menjernihkan masalah. Kamu mungkin mengenali pola ketika percakapan tiba-tiba menjadi lembut padahal persoalan inti belum disentuh.

5. Empati dipakai untuk pencitraan

performative empathy
ilustrasi performative empathy (pexels.com/Asad Photo Maldives)

Banyak politisi mengatakan bahwa mereka mengerti keadaan masyarakat, tetapi pemahaman itu sering tidak disertai interaksi langsung atau data yang memadai. Frasa semacam itu terdengar aman, tetapi tidak menjelaskan apa pun mengenai realitas yang dihadapi warga. Ketika pola ini muncul dalam berbagai kesempatan, publik melihatnya sebagai upaya membangun kedekatan instan tanpa fondasi pengetahuan yang layak.

Situasinya menjadi kontradiktif ketika solusi yang ditawarkan justru jauh dari konteks sehari-hari masyarakat. Pada titik ini, empati yang disampaikan terasa kosong karena tidak menyinggung pengalaman nyata warga. Kamu pasti pernah merasakan momen ketika pernyataan empati terasa dingin karena tidak ada satu pun dari isi kalimat itu yang selaras dengan pengalamanmu sehari-hari.

Performative empathy mudah sekali dikenali karena publik semakin kritis membaca apakah empati yang ditampilkan lahir dari kebutuhan menjaga citra atau dari keinginan memahami keadaan. Kemampuan publik membedakan keduanya membuat fenomena ini semakin terlihat. Kamu sendiri, dari semua bentuk empati yang pernah kamu lihat, mana yang menurutmu terasa paling jujur?

Referensi:

“MASROOR: On performative empathy” Yale News. Diakses pada Desember 2025

“Dear Leaders: A Candid Note on Performative Empathy” INBusiness. Diakses pada Desember 2025

“Performing Political Empathy” Oxford Academic. Diakses pada Desember 2025

“Editorial: Political empathy is performative and temporary” Debate. Diakses pada Desember 2025

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Debby Utomo
EditorDebby Utomo
Follow Us

Latest in Life

See More

Apa Itu Performative Empathy dan Kenapa Identik dengan Politisi?

04 Des 2025, 18:28 WIBLife