Di ujung timur Pulau Bali, jauh dari keramaian kafe-kafe Seminyak dan hiruk pikuk pariwisata, ada sebuah desa yang hidup berdampingan dengan sunyi. Desa Ban, namanya, sebuah wilayah kering di Kecamatan Kubu, Karangasem. Desa ini berdiri di antara gunung-gunung tinggi dan lahan tandus. Matahari terasa lebih dekat di sini, menyengat tanah yang retak dan menguras habis setiap tetes air yang disimpan warga.
Bagi penduduk desa ini, air bukan sesuatu yang tinggal diputar dari keran. Air bukan pula sesuatu yang bisa dibeli murah lewat galon isi ulang. Air adalah perjuangan. Air adalah waktu. Air adalah doa panjang yang diulang tiap musim kemarau.
Di tengah segala keterbatasan, seorang perawat honorer muda dari Klungkung, Reza Riyadi Pragita, datang membawa setitik harapan. Melalui program yang ia namai Sumber Air Untuk Sesama (SAUS), Reza mencoba melakukan hal yang terasa sederhana, tetapi mustahil bagi masyarakat Desa Ban: menghadirkan sumber air bersih yang lebih dekat dengan kehidupan warga.
