4 Perbedaan Sindrom Stockholm dan Trauma Bonding

Jangan sampai misleading, ya!

Pada 23 Agustus 1973, dua perampok bank di Stockholm, Swedia menyandera empat korban selama 131 jam. Setelah dibebaskan dari berbagai ancaman dan kekerasan, para korban menunjukkan sikap yang justru sangat suportif dengan si perampok. Contohnya, seorang perempuan dari korban yang disekap bertunangan dengan salah satu perampok, sementara seorang lainnya membentuk kampanye untuk membebaskan pelaku.

Para psikiatris menyelidiki anomali ini pada korban, yang kemudian dikenal dengan “Stockholm Syndrome”. Melansir Unfilteredd, sindrom ini sering kali disamakan dengan trauma bonding, yaitu kecenderungan seseorang untuk terikat dengan pelaku toxic relationship. Namun, sebenarnya kedua istilah ini berbeda, lho. Yuk, simak apa saja perbedaannya!

1. Awal mula hubungannya berbeda

4 Perbedaan Sindrom Stockholm dan Trauma Bondingilustrasi penyekapan yang menimbulkan sindrom Stockholm (pexels.com/RDNE Stock Project)

Pelaku dan korban pada sindrom Stockholm tidak memiliki hubungan sebelumnya. Korban dengan perampok di kejadian Stockholm tidaklah saling mengenal. Korban dalam keadaan takut dan tersiksa dengan kehadiran pelaku.

Sementara, korban trauma bonding sudah punya hubungan dengan pelakunya, seperti suami, kekasih, maupun saudara. Kekerasan pada trauma bonding cenderung tersirat dan diperkenalkan sedikit demi sedikit. Misalnya, ketika menjalin hubungan dengan seorang narsistik, korban akan mengalami fase love bombing sebelum akhirnya “dibuang” secara bertahap.

2. Beda situasi yang membentuknya 

4 Perbedaan Sindrom Stockholm dan Trauma Bondingilustrasi trauma masa kecil (pexels.com/RDNE project)

Korban sindrom Stockholm berada pada situasi antara hidup dan mati. Seluruh aspek kehidupannya bergantung pada si pelaku. Segala komunikasi dan informasi hanya berasal dari satu sumber.

Sementara itu, trauma bonding umumnya hanya mengancam aspek kehidupan tertentu, misalnya keharmonisan keluarga atau hubungan percintaan. Korban masih dapat memperoleh masukan dari orang lain. Namun, berbagai trauma menyebabkannya memiliki ikatan atau bonding dengan pelaku.

Misalnya, seorang perempuan memiliki masa kecil yang menyedihkan karena kedua orang tuanya bercerai. Ketika dewasa dan punya anak, ia akan berusaha keras mempertahankan rumah tangganya. Sekalipun, suaminya tukang pukul karena tidak ingin anaknya mengalami goncangan emosional seperti dirinya.

dm-player

Baca Juga: 6 Taktik Manipulasi Orang Narsistik, Love Bombing sampai Ghosting

3. Arah manipulasinya tidak sama 

4 Perbedaan Sindrom Stockholm dan Trauma Bondingilustrasi kekerasan yang menyebabkan trauma bonding (pexels.com/Mart Production)

Manipulasi yang terjadi pada korban sindrom Stockholm adalah keyakinan bahwa pelaku melakukan kejahatan karena terdesak. Misalnya, masalah ekonomi, kebutuhan keluarga, dan motif kemanusiaan lainnya. Hal ini menyebabkan korban merasa iba, percaya, dan sangat berempati dengannya.

Adapun pada trauma bonding, korban biasanya dimanipulasi sehingga korban menormalisasi adanya kekerasan, selingkuh, dan lainnya dalam hubungan dengan pelaku. Korban merasa perilaku buruk pelaku dikarenakan kesalahan dirinya. Misalnya, dengan bilang, “jangan salahkan suamiku. Ini salahku karena kurang perhatian padanya”. Padahal, suaminya ketahuan berselingkuh dan perbuatan tersebut seharusnya tidak disalahkan pada korban (dirinya sendiri).

4. Apa sikap akhirnya? 

4 Perbedaan Sindrom Stockholm dan Trauma Bondingilustrasi korban sindrom Stockholm (pexels.com/Gustavo Fring)

Korban sindrom Stockholm akan menaruh iba dan bersikap positif pada pelaku. Misalnya, korban kejadian 1973 menolak bekerja sama dengan otoritas setempat dalam memberikan kesaksian. Hal ini merupakan akumulasi dari manipulasi yang diberikan pelaku.

Sementara, korban trauma bonding bisa saja mengabaikan atau memutus hubungan dengan pelaku. Namun, ada keterkaitan yang membuat korban ingin mendapat perhatian dan kasih sayang lagi dari pelaku. Misalnya, ketika bertemu pria narsistik, korban yang sering dipukuli Ayahnya sewaktu kecil akan merasa menemukan sosok pria idaman yang sangat baik. Mulanya ia berada pada fase love bombing, hingga akhirnya si narsistik bosan, mulai melakukan adu domba, bahkan berselingkuh dari si korban. Sayangnya, penyiksaan tersebut malah membuatnya tidak ingin meninggalkan pelaku karena terus mengharapkan perubahan dari si narsistik.

Sindrom Stockholm dan trauma bonding memiliki inti perilaku yang mirip, yaitu menjadi “cinta” dengan orang yang membuatnya trauma. Namun sebagaimana perbedaan di atas, keduanya tidak bisa benar-benar disamakan. Semoga kita terhindar dari keadaan seperti ini, ya!

Baca Juga: 5 Cara Sederhana Membangun Bonding dengan Orang Lain

Salma Ainunnisa Photo Writer Salma Ainunnisa

Member IDN Times Community ini masih malu-malu menulis tentang dirinya

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Debby Utomo

Berita Terkini Lainnya