Color palette perjuangan (X/ lachordablue)
Pada pertengahan abad ke-18, warna pink mulai dikenal dalam mode Barat sebagai simbol kemewahan dan kelas sosial. Bahkan, pada tahun 1757, produsen porselen Prancis bernama Sevres, menamakan ciptaannya "Rose Pompadour" karena Madame de Pompadour (salah satu selir Raja Louis XV) sangat menyukai warna ini.
Menariknya, pada masa awal, pink tidak diasosiasikan dengan perempuan, melainkan dianggap lebih cocok untuk anak laki-laki karena warnanya dianggap lebih pucat. Namun, memasuki abad ke-19, pink perlahan diasosiasikan dengan feminitas seiring laki-laki Barat lebih memilih warna gelap, sementara warna pastel diserahkan kepada perempuan.
Dalam buku Pink: The History of a Punk, Pretty, Powerful Color karya Valerie Steele, dijelaskan feminisasi warna pink mulai kuat pada periode itu karena pink dianggap sebagai ekspresi kelembutan. Dari simbol kemewahan, pink kemudian melekat juga pada kelas pekerja, termasuk penggunaannya oleh pekerja seks komersial pada masa industrialisasi.
Sepanjang 1900-an, arti pink terus bergeser hingga desainer Prancis Paul Poiret mengangkatnya kembali ke dunia kelas atas melalui koleksi gaunnya. Namun, pada tahun 1950-an, branding pascaperang Amerika membuat pink semakin lekat dengan identitas gender dan menjadi simbol hiperfeminitas untuk perempuan, sementara biru muda ditetapkan untuk laki-laki.