[INFOGRAFIS] Sisi Gelap Gen Z dan Milenial. (IDN Times/Aditya Pratama)
Kasus perundungan mampu mengubah kondisi psikologis seseorang secara signifikan. Tindakan ini tidak hanya menyasar mental individu, namun juga memengaruhi keseharian hingga penurunan potensi akademik.
Mawar (bukan nama sebenarnya) bercerita tentang perundungan yang dialaminya saat masih duduk di bangku SMP. Remaja berusia 15 tahun tersebut mengaku dirundung oleh teman sebayanya dalam bentuk verbal. Hal ini membuat Mawar merasa sedih, marah, dan muncul keinginan untuk mengakhiri hidup.
Ia membagikan kisahnya, “Selain sedih, aku merasa marah, kayak merasa gak adil aja karena mereka mementingkan beauty privilege. Yang cantik diutamakan. Dari situ, aku sering disindir-sindir di sosial media. Akhirnya aku stres, terus banyak pikiran, terus aku sampai pengin bunuh diri.”
“Udah jauh dari keluarga, terus gak punya teman, di rumah juga sendiri, mau cerita ke orangtua gak mungkin. Ya udah, jadi apa-apa aku memendam sendiri,” tambahnya.
Menariknya, kisah Mawar telah marak terjadi. Hampir seluruh responden (88,3 persen) mengungkapkan bahwa mereka pernah menjadi korban perundungan dari teman-temannya. Bentuk perundungan yang paling sering terjadi adalah kekerasan verbal (83,3 persen), diikuti dengan penindasan fisik (27,8 persen), dan cyberbullying (27,8 persen). Tidak mengherankan, sekolah (84 persen) dan lingkungan pertemanan (37 persen) jadi tempat-tempat di mana perundungan paling sering terjadi.
Riset yang dilakukan oleh IDN Times semakin memperkuat pandangan bahwa perundungan bisa menimpa siapa saja dan dilakukan oleh siapa saja. Menariknya, kasus perundungan yang muncul akibat pola perilaku agresif justru paling sering terjadi di tempat yang seharusnya menjadi ruang aman bagi anak, yaitu sekolah.
Responden berinisial NN (25 tahun) mengalami perundungan oleh senior di sekolah. Ia mengalami pemerasan yang dilakukan oleh sekelompok orang. “Dampaknya jadi holding grudge against those people (menyimpan dendam terhadap orang-orang itu) dan jadi males aktif ekskul. Terus karena pemalakan itu udah jadi tradisi dan budaya selama belasan tahun di sekolah, somehow jadi tertanam juga kalau kegiatan kayak gitu tuh normal (which is not), dan merasa perlu melakukan hal yang sama ke adik kelas nanti,” akunya.
Kerap kali, kita melihat perundungan sebagai tindakan normal yang wajar menjadi bagian dari kehidupan. Mirisnya, perundungan justru menyebabkan gangguan serius secara psikologis, menurunnya kemampuan kognitif, serta timbulnya masalah self-regulation dan gangguan kesehatan fisik, seperti dikutip dari jurnal “Preventing Bullying through Science, Policy, and Practice”.
Konsekuensi serius dari perundungan juga dikonfirmasi oleh mayoritas responden survei yang kehilangan rasa percaya diri akibat menjadi korban bullying (75,3 persen). Efek negatifnya bisa bersifat jangka panjang karena munculnya ketidakpercayaan atau trust issue pada orang lain. Ironisnya, perundungan dapat mengakibatkan seseorang mengalami trauma (50 persen). Korban cenderung rentan mengalami gangguan mental (46,3 persen) dan merasa terisolasi (42,6 persen).
Informan berinisial SW asal Makassar membagikan pengalaman saat alami perundungan, “Aku pernah mengalami bullying saat bersekolah di salah satu SMA negeri yang cukup terkenal di Makassar. Rasanya benar-benar tidak enak. Hidupku terasa hampa, aku kehilangan semangat untuk pergi ke sekolah. Mereka mem-bully-ku lewat ucapan, menertawakanku, dan sering memanggil namaku dengan sebutan aneh yang bukan nama asliku. Akibatnya, aku kehilangan semangat untuk belajar, bahkan sekadar berangkat ke sekolah pun terasa berat. Aku sering menangis diam-diam setelah sampai di rumah. Saat itu, momen paling membahagiakan bagiku justru ketika tidak perlu masuk sekolah.”
Akibat psikologis yang dirasakan SW dianggap valid oleh mayoritas informan. Mereka juga mengaku dominan mengalami ketidakstabilan emosi saat menghadapi perundungan. Perasaan tidak nyaman seperti hilangnya rasa percaya diri (74,1 persen), anxiety (66,7 persen), serta marah dan frustasi (49,4 persen), menghantui kehidupan mereka selama periode perundungan.
Dinamika emosi yang dialami oleh korban memengaruhi bagaimana mereka merespons tindakan tersebut. Perasaan atau dampak negatif membuat korban cenderung insecure, menarik diri, hingga tidak berani mengungkapkan hal yang sebenarnya terjadi.
Hal itu dinyatakan melalui jurnal “Shutting-up or Speaking-up: Navigating the Invisible Line between Voice and Silence in Workplace Bullying (2017)” bahwa rasa malu dan takut dicap buruk jadi alasan mengapa para pekerja yang mengalami perundungan memilih diam dan tidak melaporkan tindakan bullying tersebut. Paparan dalam jurnal tersebut menyatakan bahwa korban perundungan kerap berpikir bahwa tidak akan ada yang percaya. Mereka memilih ketakutan terhadap labelling dari orang lain sehingga memilih menghindar dan tidak berbagi informasi.
Slonje dan Smith dalam jurnal “The Impact of Cyberbullying on Adolescent Health” juga menyatakan 50 persen korban cyberbullying tidak memberitahu siapa pun tentang pengalaman perundungan mereka. Daripada memberi tahu orang dewasa, 35,4 persen informan dalam riset tersebut lebih memilih mengutarakan pengalaman cyberbullying kepada teman.
Kondisi serupa juga dialami oleh masyarakat Indonesia. Riset IDN Times memaparkan bahwa ada 2 dari 3 generasi muda yang menjadi korban perundungan lebih banyak menjauh atau menghindar saat berjuang mengatasi kasus tersebut. Sejalan dengan tingkat pelaporan yang terbilang rendah (22,8 persen), responden juga mencatat lebih memilih untuk memendam atau menyimpan krisis yang dialaminya (48,1 persen).
“First thing first, kalau aku pribadi, aku memilih untuk menjauhkan diri dan menghindarkan diri aku dari tempat itu. Aku pribadi memilih untuk menjauhkan diri untuk menghindari tempat itu dan juga aku lebih menutup diri buat gak main sama anak-anak (yang pernah merundung). Aku gak mau ketemu lagi biar kasarnya aku membiarkan waktu yang menyembuhkan. Aku berharap aja semua orang lupa sama momen itu karena aku main dewasa kan, gak sama kayak waktu aku kecil. Jadi, harusnya orang-orang lupa, udah gak inget sama kejadian itu," ujar JT (24 tahun) yang dirundung oleh orang asing di ruang publik.
Menariknya, Gen Z dan Milenial berupaya untuk lepas dari kasus perundungan dengan keluar dari lingkungan toxic yang merugikannya (40,7 persen). Sementara, masih banyak korban yang menunjukkan keberaniannya dengan melawan (26,5 persen). Di sisi lain, Gen Z dan Milenial juga menggalakkan tindakan preventif dengan menyebarkan awareness (mendukung korban, memberi pemahaman tentang bullying, memberi contoh perilaku yang baik).
“Pandangan saya mengenai perundungan adalah suatu hal yang sangat penting untuk kita lawan dan jauhi. Pem-bully-an adalah sikap yang menunjukkan ketidakdewasaan seseorang dalam berpikir karena ia merasa lebih baik dari orang lain atau mungkin jika ia hanya sekedar ikut-ikutan, maka semakin jelek lagi perilakunya dan menunjukkan bahwa pelakunya adalah orang yang bodoh secara logika. Akan tetapi, kita juga harus mempertimbangkan alasan mereka melakukan pem-bully-an di media sosial karena bisa saja ia adalah seseorang yang menjadi korban pem-bully-an di real life,” tulis IN, remaja perempuan berdomisili di Pulau Sumatera.