ilustrasi media sosial (unsplash.com/RobHampson)
Individu yang terlalu menggantungkan persepsi diri pada respons eksternal jadi lebih mudah terbawa arus, nilai dirinya bergantung pada pendapat orang lain. Ketergantungan akan validasi eksternal yang didapatkan di media sosial tak hanya menganggu ketenangan batin, tapi juga menjauhkan individu dari jati dirinya.
"Betul, biasanya orang-orang membutuhkan validasi eksternal untuk menaikkan value dirinya. Saat dia mendapatkan likes, saat ada orang memberi feedback positif, itu akhirnya bisa membuat dia memandang dirinya dengan cara yang positif juga. Tapi memang secara jangka panjang dampaknya adalah selalu bergantung sama orang lain. Di mana kalau akhirnya dia dapat banyak likes berarti kan sebenarnya fine gitu ya, tapi kalau di masa-masa tertentu nggak ada likes nih, let's say sebenarnya karena sistem error, tapi dia menganggap itu sebagai wah ini saya lagi jelek, saya kayaknya salah untuk nge-post kayak gini," jelas Hersa.
Ia menambahkan, "Orang yang seperti ini jadinya sangat terbawa 'arus lingkungan', di mana kalau lingkungannya memberi feedback dia oke, kalau nggak dia jadinya down gitu. Nah ini tingkat ketergantungan yang akhirnya kurang sehat juga buat dia karena dia jadinya membutuhkan orang lain di saat kita gak bisa mengontrol orang lain".
Tanpa disadari, validasi eksternal ini perlahan membentuk persepsi diri seseorang, menempatkan harga diri pada penilaian orang luar. Ketergantungan ini membuat kita kehilangan koneksi dengan nilai-nilai pribadi, membuat seseorang kehilangan identitas personal karena berupaya menjadi orang lain. Hersa sampaikan, orang yang telah terjebak dalam siklus ini perlu lebih memahami diri sendiri.
"Untuk menghadapinya gimana, penting banget untuk dicari root cause-nya, kenapa akhirnya dia jadi sangat membutuhkan validasi eksternal. Contohnya, apakah ada isu-isu tertentu dari masa kecilnya, dari cara orangtua mendidiknya, cara dia menilai dirinya, dinamikannya itu seperti apa, untuk akhirnya kita tahu oke root cause-nya di sisi mana, dan jalan keluarnya tuh apa gitu. Dan ini biasanya bisa terjadi saat ada sesi dengan psikolog, karena kan ini sifatnya sangat personal dan sangat subjektif, jadi bisa beda-beda di tiap orang pengalaman apa yang mendasari dia untuk akhirnya sangat butuh validasi eksternal."
Sebagai solusi, Hersa menyarankan agar generasi muda mengidentifikasi mengapa memerlukan validasi eksternal. Ubah cara pandang dan perspektif dengan lebih mengenal pribadi masing-masing.
"Penting bagi kita meng-identify kenapa akhirnya kita membutuhkan itu. Apa yang kita cari sih dari validasi orang lain? Kalau yang kita cari adalah feedback positif misalnya, kita merasa lebih tenang saat ada feedback positif, penting banget untuk kita justru melatih memberikan feedback positif itu justru sumbernya dari diri kita sendiri. Jadi, apa yang kita butuhkan di orang lain, penting banget untuk mencari caranya gimana supaya kebutuhan itu bisa di-fulfill dari diri kita sendiri, supaya chance kita tergantung sama orang lain itu bisa menjadi terputus. Kita bisa merasa positif tanpa membutuhkan bantuan orang lain dan itu udah cukup dengan diri kita sendiri. Jadi, di-switch dari yang tadinya kita mencari external validation, menjadi kita mencari internal validation atau dari diri sendiri," tutup Hersa.