5 Kebijakan ini Jadi Tanda bahwa Kantormu Menerapkan Toxic Productivity

- 'Selalu sibuk' dianggap sebagai kebanggan, padahal bisa jadi tanda toxic productivity.
- Overperforming dijadikan norma, tekanan buat selalu 'lebih' bikin standar kerja makin gak realistis.
- Semua diukur dari target dan angka, karyawan merasa kayak mesin yang dipaksa output terus-menerus.
Di era hustle culture kayak sekarang, sibuk itu sering dianggap prestasi. Semakin padat jadwalmu, semakin kamu dipuji produktif. Padahal, gak semua produktivitas itu sehat. Ada lho yang namanya toxic productivity, yaitu kondisi ketika kita dipaksa, atau memaksa diri sendiri, buat terus bekerja tanpa kenal batas.
Sayangnya, banyak orang gak sadar kalau mereka sebenarnya sudah jadi korban toxic productivity di tempat kerja. Semua demi target, validasi, atau sekadar mengikuti tuntutan yang dibungkus seperti budaya kerja. Coba deh kenali 5 tanda berikut, mungkin saja tempat kerjamu menerapkan budaya ini.
1. 'Selalu sibuk' dianggap sebagai kebanggan

Produktif dan sibuk adalah dua hal yang berbeda. Kalau kamu merasa takut kelihatan malas jika gak sibuk tanpa memahami apa yang sebetulnya perlu kamu lakukan, itu bisa jadi tanda toxic productivity. Di kantor yang toxic productivity, kesibukan dijadikan tolok ukur utama. Istirahat dianggap kelemahan, padahal otak dan tubuh jelas butuh jeda. Hasilnya, karyawan merasa harus terlihat sibuk sepanjang waktu biar dianggap rajin.
Sibuk karena pekerjaan yang perlu dikerjakan adalah bentuk sikap bertanggung jawab. Tapi kalau harus sibuk dengan tuntutan yang gak realistis, lama-kelamaan bisa bikin capek mental dan fisik. Setiap ada jeda waktu, dituntut untuk ‘mencari’ pekerjaan yang bisa dikerjakan. Padahal produktivitas juga bisa ditingkatkan dengan training, evaluasi kualitas kerja, dan lain sebagainya. Jadi, kalau di tempat kerjamu kesibukan berlebihan selalu dirayakan, itu tanda bahaya yang gak boleh kamu abaikan.
2. Overperforming dijadikan norma

Di beberapa kantor, kerja sesuai jobdesc saja dianggap kurang. Karyawan dituntut buat selalu ‘lebih’, mau itu lebih cepat, lebih banyak, lebih sempurna, dan yang lainnya. Kalau diterapkan sesekali sebetulnya oke saja. Tapi kalau setiap hari? Itu sudah jadi toxic. Tekanan buat overperforming bikin standar kerja makin gak realistis.
Kamu jadi merasa bersalah kalau pulang tepat waktu atau gak buka laptop di akhir pekan. Padahal, punya batasan itu sehat dan penting. Kalau di kantormu semua orang selalu harus tampil maksimal tanpa jeda, kemungkinan besar itu budaya toxic productivity.
3. Semua diukur dari target dan angka

Toxic productivity sering muncul lewat sistem kerja yang cuma fokus ke angka. Berapa banyak tugas yang kamu selesaikan? Berapa jam kamu online? Berapa laporan yang masuk? Dan banyak angka-angka lainnya yang dijadikan target.
Angka memang penting, tapi kalau semua aspek kerja diukur pakai metrik kaku, sisi manusiawi jadi hilang. Karyawan pun jadi merasa kayak mesin yang dipaksa output terus-menerus. Kreativitas, inovasi, dan kepuasan kerja jadi nomor dua. Kalau di kantormu angka lebih dihargai daripada kualitas, bisa jadi itu tanda kamu lagi terjebak di tempat kerja yang toksik.
4. Gak ada batasan antara kantor dan kehidupan pribadi

Budaya ’always on’ alias selalu siap kerja 24/7 juga jadi ciri toxic productivity. Nerim notifikasi kerja masuk tengah malam atau balas email pas liburan, sering dianggap normal. Akhirnya, lama-lama, batas antara kerja dan kehidupan pribadi jadi kabur.
Akibatnya, kamu gak pernah benar-benar istirahat. Pikiran selalu terbebani, bahkan ketika kamu seharusnya quality time sama keluarga atau teman. Kalau kantor gak menghargai waktu pribadi karyawan, itu red flag besar yang perlu diwaspadai.
5. Wajib hadir meski gak produktif

Ada istilah wajib hadir meskipun gak produktif yang disebut presenteeism. Tandanya adalah kamu tetap harus masuk kerja walau lagi sakit, capek, atau nggak fit, dan fenomena ini sering dianggap bukti loyalitas. Padahal, penerapan tersebut malah bikin kesehatan fisik dan mental makin drop. Hadir secara fisik tapi gak bisa fokus jelas gak efektif. Sayangnya, budaya ini bikin orang merasa takut absen atau minta izin, karena khawatir dinilai kurang berdedikasi. Kalau kamu sering lihat orang di kantor tetap kerja meski kondisi gak memungkinkan, bisa jadi itu tanda toxic productivity yang membudaya di tempat kerja.
Produktivitas itu penting, tapi bukan segalanya. Kalau sampai harus mengorbankan kesehatan, relasi, bahkan kebahagiaan, itu sudah bukan produktif lagi, melainkan toksik. Kita perlu sadar kalau istirahat, slow down, dan punya batasan itu bukan kelemahan, tapi bagian dari keseimbangan hidup. Jadi, kalau kamu merasa tanda-tanda ini ada di tempat kerjamu, mungkin saatnya mulai refleksi. Kamu berhak punya kehidupan di luar kerja dan berhak merasa cukup tanpa harus selalu sibuk. Ingat, hidup bukan cuma tentang kerja keras, tapi juga tentang menjaga diri agar tetap utuh.