6 Alasan Orang Tidak Mencantumkan Titel dalam Keseharian, Low Profile?

- Menuliskan gelar di mana pun juga boleh
- Orang cenderung menetapkan tindakan berdasarkan penting atau gak penting bakal berpikir dua kali untuk mencantumkan titel.
- Gelar yang panjang bikin ribet saat seseorang hendak menuliskannya. Meski dia hafal, menuliskannya satu per satu butuh waktu lebih lama dibandingkan jika ia hanya mencantumkan nama lengkap.
Titel atau gelar akademik diperoleh dengan proses yang gak gampang. Kamu harus menempuh pendidikan tinggi selama beberapa tahun. Setelah dirimu menyelesaikan tugas akhir dan dinyatakan lulus baru menyandang titel tersebut. Dengan perjuangan meraih gelar pendidikan yang tak mudah wajar apabila kamu atau sebagian orang merasa harus menuliskan titel lengkap di depan dan atau belakang nama.
Bahkan dirimu mungkin pernah menemukan nama pemilik rekening bank saja ada gelar akademiknya. Demikian pula alamat dalam surat mencantumkan titel seolah-olah nama lengkap, alamat, serta nomor telepon belum cukup. Berkebalikan dengan mereka, tak sedikit pula orang yang justru hampir gak pernah melengkapi namanya dengan gelar.
Orang yang tidak tahu riwayat pendidikannya bisa-bisa mengira mereka tak berkuliah atau kuliah tapi gak selesai. Jangan salah, boleh jadi titel beberapa dari mereka malah lebih dari satu. Lalu kenapa mereka sengaja tidak menuliskan gelar itu? Di bawah ini penjelasan seseorang memilih tidak mencantumkan titel dalam keseharian. Semoga kamu gak pernah meremehkannya.
1. Merasa tak ada urgensinya

Orang yang cenderung menetapkan tindakan berdasarkan penting atau gak penting bakal berpikir dua kali untuk mencantumkan titel. Saat sebagian orang otomatis menuliskannya dengan rasa bangga, mereka memikirkan dulu ada atau tidaknya alasan yang mendesak.
Misalnya, apakah dengan mereka menambahkan titel bakal langsung memengaruhi cara pandang orang padanya? Bukankah gelar akademik juga hanya lebih diperhatikan di bidang akademik? Kalaupun mereka sedang melamar pekerjaan, riwayat pendidikan serta salinan ijazah sudah disertakan.
Dari situ penyeleksi berkas telah tahu pendidikan terakhir serta titelnya. Mereka tak perlu menambahkan gelar di belakang nama pun tidak apa-apa. Apalagi setelah mereka diterima bekerja, kemampuan kerja yang lebih dilihat daripada gelar. Jika di dunia kerja saja mereka gak terlalu mementingkan pencantuman gelar, lebih-lebih dalam urusan lain. Seperti mengisi data warga atau saat kasih alamat rumah buat surat-menyurat.
2. Tidak ingin tampil mencolok

Terlihat mencolok tidak melulu karena pakaian, perhiasan berlebihan, dan semacamnya. Masalah penambahan gelar di depan dan atau belakang nama juga bisa bikin seseorang tampak lain daripada yang lain. Terutama saat orang-orang di sekitarnya berpendidikan di bawahnya.
Dia yang bergelar macam-macam menjadi menarik perhatian orang. Tentu ada orang yang bangga jika berada dalam situasi begini. Tapi ada pula orang yang justru seperti malu sendiri setiap mendapatkan perhatian lebih. Ia tidak mau terkesan si paling sarjana, magister, atau doktor.
Dirinya lebih nyaman terlihat setara dengan orang-orang di sekitarnya saja. Duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi. Urusan titelnya yang terukir hitam di atas putih biar hanya diketahui oleh orang terdekat atau pihak yang memiliki kepentingan langsung. Kalau dia gak menjadi sorotan, berada di mana saja dan bersama siapa pun terasa lebih nyaman.
3. Bangga, tapi tak mau membanggakan diri

Hanya karena seseorang tidak mencantumkan gelarnya dalam banyak kesempatan, bukan artinya ia tak bangga. Dia tetap bangga serta mensyukuri proses dan hasil belajarnya. Namun, ia sangat hati-hati agar tidak terjatuh dalam sikap membanggakan diri.
Sebab meski dia sendiri sebenarnya gak bermaksud pamer dengan mencantumkan gelar, pujian dari orang yang membacanya bisa bikin lupa diri. Terlebih bila dari gelarnya saja sudah terlihat betapa sulit proses pendidikan yang dilaluinya. Gak banyak orang yang bisa memperoleh titel itu.
Nanti sambil mereka mengobrol tanpa terasa pemilik titel membanggakan kemampuannya. Rasa bangga dalam diri atas pencapaian akademik tentu ada. Akan tetapi, dia tak mau kebanggaan tersebut malah berakibat kurang baik terhadap kualitas dirinya. Meski proses pendidikannya penuh tantangan, tantangan terbesar sesungguhnya ialah menjaga sikap rendah hati.
4. Gelar juga bisa menjadi beban mental

Beban mental yang dimaksud misalnya, saat pekerjaannya tidak sesuai dengan gelar pendidikannya. Bisa sekadar bidangnya yang berbeda atau pekerjaannya dianggap hanya membutuhkan syarat pendidikan yang lebih rendah. Misalnya, seseorang bergelar sarjana tetapi pekerjaannya biasa dilakoni lulusan SMA.
Atau, sarjana psikologi tetapi malah menulis sastra. Meski secara pribadi dia menikmati pilihannya dan tetap bisa hidup layak, komentar orang-orang dapat menekan mental. Ia akan merasa salah mengambil pilihan hidup, cemas jangan-jangan masa depannya suram, dan sebagainya.
Lebih enak buatnya kalau latar belakang pendidikan tidak diketahui banyak orang. Dia dapat mengambil berbagai keputusan hidup tanpa terbebani pandangan orang yang selalu membawa-bawa titelnya. Seakan-akan gelar akademik adalah segalanya dalam hidup.
5. Ingin dikenal dari kepribadiannya saja

Keinginan ini muncul sebab dia merasa kepribadian lebih tepat menggambarkan dirinya daripada sekadar titel. Contohnya, cuma gara-gara gelarnya sarjana psikologi lalu orang berpikir ia pasti selalu bisa menjadi teman mengobrol yang menyenangkan. Dia bakal sabar sekali dicurhati apa pun.
Faktanya, kepribadiannya mungkin pemalu, sedikit bicara, atau agak kurang sabar mendengarkan orang lain berkeluh kesah. Dia tegas serta tak menyukai segala hal yang bertele-tele. Kesabarannya hanya berlaku dalam ruang konsultasi dengan klien. Tapi tidak dalam kesehariannya di luar itu.
Kalau orang-orang di sekeliling terlalu fokus pada titelnya, karakternya bisa disalahpahami. Nanti mereka kecewa saat mengetahui sifat aslinya yang berbeda dari ekspektasi. Orang yang ingin diterima dengan apa adanya lebih suka menanggalkan atribut-atribut termasuk titelnya.
6. Gelar terlalu panjang atau justru lebih pendek dari orang-orang di sekitar

Gelar yang panjang bikin ribet saat seseorang hendak menuliskannya. Meski dia hafal, menuliskannya satu per satu butuh waktu lebih lama dibandingkan jika ia hanya mencantumkan nama lengkap. Pun orang yang membacanya belum tentu mengerti kepanjangan setiap titel tersebut.
Makin merepotkan apabila gelarnya akan dituliskan oleh orang lain. Contohnya, saat ada pihak-pihak yang mengundangnya untuk suatu acara. Untuk mencegah kesalahan dalam penulisan titel, dia mesti memberi contoh. Bayangkan jika undangannya cukup banyak, ia malah repot sendiri memeriksa dan mengoreksi kalau ada kesalahan penulisan gelar.
Tak hanya titel panjang yang bikin beberapa orang enggan menuliskannya bila tak terlalu diperlukan. Gelar yang pendek terkadang juga bikin orang merasa sekalian tak usah mencantumkannya. Apalagi orang-orang di sekitarnya memiliki latar belakang pendidikan yang lebih tinggi. Ada perasaan kurang percaya diri buatnya membawa-bawa satu gelar saja di belakang nama.
Tidak mencantumkan titel dalam keseharian atau menggunakan titel, orang yang sudah menyelesaikan studi di perguruan tinggi dan dinyatakan lulus otomatis menyandangnya. Maka tanpa gelar akademis ditulis dalam keseharian pun, riwayat pendidikannya tak lantas gugur. Ini sepenuhnya pilihan pribadi orang yang bersangkutan. Bagaimana denganmu, suka mencantumkan gelar atau tidak?